Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah mengalami konflik berkepanjangan dengan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta pada tahun 1950-an. Konon percekcokan antara organisasi yang saling berseberangan ini terjadi akibat berebut massa aksi.
Muhammadiyah punya basis kuat di Kotagede. Akan tetapi eksistensi organisasi agama tertua di Yogyakarta tersebut merasa terganggu dengan kehadiran PKI yang semakin kuat di daerah Muhammadiyah.
Para kyai di Muhammadiyah khawatir hal ini terus menyebar, oleh sebab itu mereka berusaha mengusir dan mencegah meluasnya PKI di Yogyakarta. Caranya dengan mengambil alih massa aksi agar aktif dalam keorganisasian Muhammadiyah.
Akan tetapi upaya tersebut tak berjalan dengan mulus. Dominasi masyarakat dari kalangan buruh perak di Kotagede lebih banyak memilih PKI ketimbang Muhammadiyah.
Akibatnya hampir seluruh pengrajin logam putih ini jadi anggota aktif PKI, minimal jadi simpatisan onderbouw PKI yang berafiliasi dengan organisasi buruh.
Sejarah Awal Konflik PKI dan Muhammadiyah dalam Perebutan Massa Aksi
Keberhasilan PKI memperoleh massa aksi di Kotagede merupakan hasil dari persiapan politik yang matang. Sebab partai yang saat itu pecahan dari Syarikat Islam merah telah merancang strategi mobilitas PKI menyasar kaum buruh dan pedagang di pasar Kotagede.
Bagi PKI tidak perlu waktu yang lama untuk menguasai basis Muhammadiyah yang hijau jadi merah komunis. Sebab kaum komunis tahu persis kondisi sosial di Kotagede memperlihatkan perkumpulan kaum buruh yang haus akan pembelaan.
Muhammadiyah hanya perhatian pada kelompok sosial pedagang, tapi tidak dengan kelompok sosial yang berasal dari buruh.
Oleh sebab itu, ketika PKI datang dan mempengaruhi Kotagede, kebanyakan kaum buruh perak yang mendaftar dan jadi simpatisan partai palu arit tersebut.
Baca Juga: Sejarah Hizbul Wathan, Gerakan Pandu Semi Militer Muhammadiyah
Akibatnya dua kubu pergerakan Nasional ini jadi ricuh. Mereka saling bersaing untuk mendapatkan aksi massa.
Selain itu, Mitsuo Nakamura dalam bukunya berjudul “Bulan Sabit di Atas Pohon Beringin” (2017) mengatakan, gejolak tersebut gambaran dari kemajuan politik dan perasaan berbagi demokrasi dari kalangan Bumiputera.
Namun PKI sering melakukan kelicikan dalam proses berdemokrasi. Salah satu bentuk liciknya yaitu melakukan sabotase pada anggota Muhammadiyah.
Selain melakukan sabotase tak jarang PKI juga mengintimidasi lawan politiknya. Bahkan PKI sempat mewacanakan kuburan massal untuk lawan politik dari Muhammadiyah yang membangkangi PKI.
Alhasil peristiwa ini semakin memanas. Terlebih saat itu Muhammadiyah juga memiliki organisasi otonom (Ortom) kepemudaan yang masih belajar mengontrol emosi. Sebut saja Hizbul Wathan (gerakan kepanduan semi militer Muhammadiyah) dan Nasyiatul Asiyiyah (gerakan kepemudaan puteri Muhammadiyah).
Kisah Gerwani Vs Nasyiatul Aisyiyah di Kotagede
Menurut majalah Suara Muhammadiyah bertajuk “Pedoman PP Muhammadijah, Ulang Tahun Muhammadijah ke-53: Perkuat Organisasi, Bantu ABRI Tumpas Gestapu Keakar-akarnja” Edisi No. 7-8, 37 Oktober 1965, Gerwani pernah melakukan sabotase politik pada Nasyiatul Aisyiyah.
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) merupakan organisasi kepemudaan wanita (Onderbouw) PKI yang sering memicu terjadinya kerusuhan. Salah satunya menimpa Nasyiatul Aisyiyah di Kotagede.
Organisasi otonom Muhammadiyah yang penuh dengan citra seorang perempuan cerdas dan berkepribadian Islam pernah mengalami tekanan dari Gerwani.
Wanita kiri itu sempat mengintimidasi perempuan Muhammadiyah karena agenda pengajiannya mengganggu kegiatan organisasi wanita PKI.
Menurut pengakuan Hj. Zutriyah (Mantan Anggota Nasyiatul Aisyiyah di Kotagede) Gerwani sempat melakukan sabotase kegiatan Nasyiatul Aisyiyah. Mereka sering mengganggu waktu-waktu Nasyiatul Aisyiyah saat menggelar pengajian.
Baca Juga: Museum Muhammadiyah, Upaya Menggali Tokoh Nasional dalam Sejarah Islam yang Terlupakan
Gerwani suka berteriak tidak jelas bahkan melemparkan batu ke arah mushola. Selain itu Gerwani juga suka mengajak rapat bersama keorganisasian wanita di seluruh Yogyakarta pada jam waktu salat.
Mereka sengaja agar seluruh anggota Nasyiatul Aisyiyah tidak ikut dalam agenda rapat tersebut.
Selain itu Gerwani juga pernah meneror wanita dan suami dari pada anggota Nasyiatul Aisyiyah itu sendiri.
Teror Gerwani tak main-main, mereka berani mengatakan pembunuhan pada siapapun yang merendahkan organisasinya. Zutriyah mengaku suami dan kakaknya masuk dalam daftar teror tersebut.
Namun karena saat itu keluarganya berasal dari petinggi Muhammadiyah di Kotagede, Gerwani dan Pemuda Rakyat tidak jadi memasukkan mereka dalam daftar nama orang-orang berbahaya yang akan mereka bunuh dari organisasi Muhammadiyah.
Pasca PKI “Bangkrut” Tahun 1965
Pada tahun 1965 organisasi Muhammadiyah di seluruh Indonesia sepakat membentuk (ortom) baru bernama Komando Kesiapsiagaan Anggota Muhammadiyah (KOKAM).
Tujuannya untuk mengantisipasi keributan akibat konflik massa aksi Muhammadiyah dengan PKI.
Ketika organisasi otonom ini terbentuk malam gelap 1 Oktober 1965 meletus peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Akibatnya KOKAM mulai menjadi organisasi aktif dan membuktikan relevansinya saat itu.
Satu hari setelah meletus pemberontakan (G30S) negara menyatakan PKI adalah pelaku telak dari kerusuhan tersebut. Akibatnya seluruh massa mengamuk kantor-kantor pusat PKI di Jakarta.
Begitu pun di Yogyakarta dan di Kotagede. Seluruh keanggotaan PKI di sana mendadak berhenti, membisu, dan tak tahu lari ke mana. Tiba-tiba menghilang dan meloloskan diri. Kendati tak semua, ada beberapa anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat yang tertangkap.
Militer kemudian mengumpulkan mereka di Kodim terdekat. Tujuannya menahan seluruh anggota atau simpatisan PKI agar tidak terjadi perang antar bangsa. Militer mengamankan PKI dari amuk massa.
Baca Juga: Penolong Kesengsaraan Oemoem: Badan Sosial Muhammadiyah, Lahir karena Bencana Alam
Nasyiatul Aisyiyah yang dahulu pernah bersinggungan dengan Gerwani turut serta membimbing tahanan politik karena terlibat kasus G30S/PKI 1965.
Nasyiatul Aisyiyah tidak benci dan dendam pada mereka, organisasi otonom wanita Muhammadiyah tersebut justru ikut menyantuni mereka dan membinanya ke jalur yang benar.
Mereka turut melindungi dan menyantuni anak-anak eks-tapol. Selain itu anggota Nasyiatul Aisyiyah juga pernah menampung mantan Gerwani jadi anggota Nasyiatul Aisyiyah. Dalam organisasi ini para senior Nasyiatul Aisyiyah mengarahkan mereka pada jalan yang Islami.
Mantan Gerwani ini pun cenderung berdosa dan ingin bertaubat, mereka merasa bersyukur karena rival politiknya dahulu begitu legowo. Mereka masih menerima kejahatan Gerwani, bahkan mendidik dan mengajak ke jalan yang benar. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)