Katolik Kejawen di Indonesia tidak muncul begitu saja. Catatan sejarah Indonesia mengungkap, tradisi tersebut muncul pada awal abad ke-19 saat orang-orang Eropa termasuk Belanda menetap permanen di Indonesia.
Mereka rela pindah untuk meneruskan petilasan kongsi dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang masih utuh setelah sebelumnya menyatakan bangkrut pada tahun 1800.
Pertambahan orang-orang Belanda ke Indonesia sejak saat itu pun terus mengalami peningkatan. Apalagi setelah peraturan dunia membuka jalur Terusan Suez pada tahun 1869-1870 yang menghubungkan transportasi air dari Eropa ke Asia.
Banyak istri dan anak-anak para pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ikut menetap di Indonesia. Konon angka penduduk ini hampir mendominasi golongan pendatang Timur Asing yang kala itu sudah lebih awal ada di Indonesia.
Baca Juga: Koran Doenia Bergerak, Corong Pribumi Suarakan Kemerdekaan
Seiring dengan kedatangan orang-orang Belanda di Indonesia, para pribumi secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan hidup orang-orang Eropa.
Begitu pun mereka, bahkan sampai ada perkawinan dari dua golongan ras yang berbeda. Mereka kemudian beranak pinak dan melahirkan keturunan Indo-Eropa.
Dari perkawinan dan kebiasaan saling mempengaruhi kebudayaan lahir pula Enkuluturasi tradisi yang berasal dari perpaduan adat istiadat pribumi dengan aturan agama Katolik orang-orang Eropa.
Dari sini pula awal munculnya golongan Katolik Kejawen yang tumbuh subur di Jawa Tengah pada awal abad ke-19.
Sejarah Tradisi Katolik Kejawen di Indonesia, Hasil Enkulturasi Indo-Eropa
Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang saling berbeda.
Proses peleburan dua kebiasaan dari bangsa yang berbeda telah nampak pada orang-orang Belanda di Indonesia. Begitu juga sebaliknya orang-orang Indonesia dengan Belanda.
Menurut Djoko Soekiman dalam buku berjudul ”Kebudayaan Indisi: Zaman Kompeni sampai Revolusi” (2011), proses enkulturasi kebudayaan Eropa-Indonesia melahirkan kebudayaan baru yang begitu epic.
Pasalnya dua kebudayaan melebur jadi satu tidak mengalami reaksi frontal. Sebaliknya, dua kebudayaan tersebut cenderung saling menerima satu sama lainnya.
Mendiang sejarawan Universitas Gadjah Mada ini juga mengatakan, banyak hasil enkulturasi kebudayaan Eropa-Indonesia. Ia kemudian menyebut perpaduan budaya ini dengan sebutan “Kebudayaan Indis”.
Salah satu hasil enkulturasi dari Kebudayaan Indis adalah lahirnya kelompok Katolik Kejawen di Indonesia, tepatnya di Jawa Tengah. Kultur religi orang Eropa berhasil menerima kebudayaan mistik Jawa menjadi sebuah pemurnian rohani.
Mereka melakukan sinkretisme untuk menegakkan agama Katolik sebagai bagian dari misi persebaran (gospel).
Adapun hasil dari adanya kelompok Katolik Kejawen bisa kita lihat dari material peninggalan yang menghiasi pilar-pilar gereja di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Di Gereja Ganjuran Yogyakarta misalnya, bangunan Katolik bersejarah ini menyimpan banyak sekali material ciptaan kelompok Katolik Kejawen.
Baca Juga: Raden Mas Panji Sosrokartono, Kakak R.A Kartini yang Kuasai Banyak Bahasa
Seperti patung-patung rohani, bangunan gereja yang sederhana, dan pengirim musik memakai instrumen Jawa tidak seperti yang ada di Eropa. Agamawannya pun campur, ada orang Belanda dan pribumi, mereka sama-sama bersinergi dalam melayani jemaat.
Mengubah Orkestra Religi Katolik Barat dengan Gamelan
Di Gereja Ganjuran orchestra religi Katolik Barat berubah menjadi orchestra tradisionalis Jawa dengan instrumen musik gamelan.
Menurut ahli Javanologi Belanda, Dr. Joseph Schumutzer, Gereja Ganjuran merupakan salah bukti keberhasilan enkulturasi Indo-Eropa.
Gereja yang sudah berdiri sejak 14 April 1924 tersebut tampaknya telah menyimpan berbagai memori kesejarahan yang kuat. Seperti dinamika perubahan budaya dari Katolik Barat menjadi Katolik Kejawen.
Instrumen musik religi di Gereja Ganjuran yang mengikutsertakan gamelan terdengar lebih magis dari sebelumnya.
Karena hal itu, para pribumi yang belum punya agama memilih Katolik Kejawen untuk pedoman hidupnya. Mereka merasa ada semacam panggilan batin yang mistik tatkala mendengar orchestra gereja dengan menggunakan gamelan Jawa.
Masih menurut Djoko Soekiman, pelopor menggunakan gamelan untuk mengiringi ritual upacara keagamaan Katolik di gereja Jawa yaitu pastur Belanda bernama, Philip van Akheren.
Para peneliti Javanologi termasuk Djoko menyebutnya sebagai pelaku enkulturasi Eropa-Indo yang sukses.
Selain dalam orchestra gamelan Jawa, bukti enkulturasi budaya Katolik Jawa juga terlihat dari beberapa bangunan Gereja dengan patung-patungnya, bangunan yayasan Katolik, Rumah Sakit Katolik, dan rumah-rumah Susteran lainnya di Jawa Tengah.
Semua bangunan tersebut menyimpan banyak material yang bersifat sinkretis. Hal ini terjadi karena ada bangunan-bangunan Katolik tersebut dekat dengan sifat-sifat kepribadian orang Jawa.
Membentuk Budaya Baru dalam Kesenian Jawa
Lahirnya Katolik Kejawen di Indonesia telah membantu adanya pembentukan budaya baru dalam kesenian Jawa. Djoko Soekiman menyebut istilah ini dengan sebutan “Citra dalam Gaya” atau dalam bahasa belandanya “Stijlgevoel”.
Salah satu kesenian Jawa yang terpengaruh oleh kebudayaan Katolik Kejawen antara lain yaitu patung, musik, dan teater (seni pertunjukan modern) di gereja-gereja Jawa. Rata-rata karya seni tersebut lahir dari imajinasi kolektif golongan Katolik Kejawen.
Mereka berhasil menampung ide-ide enkulturasi dalam visualisasi karya seni. Visualisasi nyata kesenian tersebut seperti Patung Kristus dan beberapa patung malaikat, dan figur-figur mistikus lain yang berasal dari mitologi Katolik klasik di Barat.
Baca Juga: Sejarah Tarakan, Kota Minyak Hindia Belanda
Karya seni mereka cenderung mengikuti gaya dan alur kebudayaan Hindu-Budha. Aliran kebudayaan Jawa begitu kuat terpengaruh oleh dua zaman tersebut.
Barangkali ini karena dua zaman di atas merupakan periode awal manusia Jawa mengenal kepercayaan setelah sebelumnya merupakan penganut aliran Animisme-Dinamisme.
Terakhir yang paling mengesankan yaitu, pada zaman ini terdapat salah seorang seniman Katolik Kejawen yang membuat patung Malaikat Bersayap khas dengan pernak-pernik kebudayaan Jawa.
Patung ini merupakan salah satu material bersejarah yang menghiasi gereja Katolik di Yogyakarta. Apabila kita sempat melihat patung ini, maka kita akan merasa pembuktian enkulturasi tersebut nyata.
Sebab dalam patung itu terdapat peleburan gaya kesenian Yunani-Romawi dengan Jawa. Senimannya sengaja membuat patung ini sedang menyembah layaknya kebiasaan budaya Jawa ketika berhadapan dengan sang Pencipta. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)