Sejarah hukuman mati zaman kolonial Belanda menyeramkan, tidak ada kata-kata manusiawi yang ada hanyalah kisah-kisah sadis dan keji yang menyertainya. Para terpidana mati harus rela tubuhnya mengalami siksaan parah, bahkan mereka harus ikhlas mengalami sakaratul maut lebih dari satu minggu lamanya.
Sebab ketika pemerintah kolonial memutuskan untuk mengeksekusi mati seorang terpidana, maka tidak akan terjadi dalam waktu yang cepat. Para algojo akan menyiksa mereka terlebih dahulu hingga ada arahan dan aba-aba untuk membunuhnya.
Proses hukuman mati ini dilakukan seperti memperlakukan babi yang terbunuh akibat perburuan liar. Para pemburu biasanya akan menusuk babi dari atas tembus ke bawah untuk memudahkan pengangkutannya, begitupun dengan terpidana mati zaman kolonial. Mereka diperlakukan sama layaknya seekor babi yang mati di buru.
Baca Juga: Sejarah Eksekusi Terkejam di Indonesia: Terpidana Mati Sekarat 8 Hari
Selain memperlakukan terpidana mati dengan cara yang sadis, orang-orang Belanda di Nusantara juga pernah memperlakukan terpidana mati dengan cara yang keji.
Salah satunya ketika terpidana mati sudah ditusuk dari atas ke bawah, jasadnya yang masih sekarat itu ditaruh dan dipertontonkan di Alun-alun yang luas.
Sejarah Hukuman Mati Zaman Kolonial Belanda Tersadis Pernah Menimpa Rakyat Makassar
Hukuman mati tersadis pernah menimpa rakyat Makassar. Menurut beberapa laporan kolonial orang Makassar yang dihukum mati ini karena telah membunuh orang Belanda yang merupakan tuannya.
Ya korban hukuman mati zaman Belanda ini merupakan seorang budak. Menurut JJ Stockdale dalam bukunya berjudul “The Island of Java” (2014), sebelum diputuskan jadi terpidana hukuman mati, budak Makassar itu mengalami berbagai tekanan yang menyebabkannya depresi.
Kadang teriak-teriak di dalam sel dan tidak tahu apa penyebabnya. Stockdale mencatat teriakan itu karena proses interogasi kolonial yang represif.
Barangkali terdapat kekerasan fisik dalam sel tahanan yang dilakukan oleh pemangku hukum Belanda yang keji.
Setelah para korban mengakui seluruh kesalahannya, maka hakim di pengadilan kolonial memutuskan untuk menghukum mati tersangka.
Sebelumnya tidak diberi tahu kapan ia akan mati, hanya saja setiap hari ada algojo yang terus datang dan sengaja lewat depan sel tahanannya untuk membayang-banyangi si tersangka.
Baru setelah hakim memutuskan tanggal dan hari hukuman mati ini disahkan, maka eksekusi oleh algojo akan segera dilakukan.
Mereka tidak menembak dan memancung kepala tersangka, jauh lebih kejam dan sadis para algojo ini menusukkan sebilah bambu runcing dari atas mulutnya yang tembus hingga ke dubur paling bawah.
Kebanyakan ada yang masih sekarat dan belum dicabut nyawanya secara penuh. Alhasil mereka teriak-teriak kesakitan dan dipertontonkan oleh Belanda di alun-alun tempat eksekusi mati itu dilaksanakan.
Adapun tujuan dipertontonkannya eksekusi mati ini antara lain untuk memberikan efek jera. Tidak ada lagi kejahatan yang terjadi, semua tindakan kriminal akan berakhir sama.
Baca Juga: Sejarah Pemberontakan PKI 1926, Pelakunya Digantung di Alun-alun Ciamis
Hukuman mati dirasa pantas untuk mewakili rasa sakit keluarga akibat kehilangan salah seorang anggota rumah tangganya karena tewas terbunuh. Menurut Stockdale peristiwa hukuman mati orang Makassar terjadi pada tahun 1769.
Nyawa Dibalas dengan Nyawa
Perilaku sadar orang Belanda di Nusantara saat menghukum mati tersangka pembunuhan merupakan tradisi hukum rimba di Eropa yang masih populer hingga awal abad ke-19.
Mereka terbiasa membunuh pelaku pembunuhan, seperti istilah Nyawa Dibalas dengan Nyawa atau Darah Ditebus dengan Darah.
Menurut kebudayaan masyarakat Eropa kemanusiaan itu punya hak untuk hidup. Apabila ada seseorang yang membatasi hak mutlak ini maka hukumannya berat yakni, sama-sama mencabut hak hidupnya dengan cara dipenggal.
Kendati pun demikian pengamat sejarah awal abad ke-18 JJ Stockdale mengatakan hukuman mati pada zaman tersebut merupakan cara kolonial Belanda untuk menciptakan situasi panas di negeri jajahan.
Mereka secara tidak langsung menunjukan “taring” untuk mengintimidasi pribumi sehingga muncul dominasi sosial.
Terlepas dari pengamatan Stockdale yang ilmiah, hukum rimba orang-orang Eropa yang paling relevan lah penyebab munculnya hukuman mati pada pribumi secara sadis dan keji.
Menurut kepercayaan hukum orang Eropa pembunuhan merupakan level tertinggi hukum dan paling tidak bisa “dimaafkan” apalagi sampai “memaafkan”.
Algojo Pribumi
Stockdale yang mengatakan hukuman mati yang dilakukan oleh pribumi pada pribumi merupakan bagian dari politik devide et impera kolonial masa awal.
Politik adu domba ini berdasarkan pada alasan adanya kebencian terhadap satu golongan di sebuah daratan yang sama.
Baca Juga: Profil Njono Prawiro, Gembong PKI Asal Cilacap yang Divonis Mati
Ya Belanda sengaja menaruh algojo pribumi untuk membunuh saudaranya se-bangsa dan se-tanah air. Mereka sengaja dibuat tercerai berai, bahkan Belanda akan senang apabila di antara mereka ada yang konflik dan menimbulkan korban jiwa.
Peristiwa ini pernah terjadi di Batavia pada tahun 1700-an awal. Kala itu algojo pribumi teridentifikasi oleh keluarga tersangka, akibatnya sebagian keluarga tersangka menyerang pelaksana hukuman mati ini hingga menyatakan perang antar kelompok.
Belanda pun tepuk tangan, mereka nampak senang dan merasa puas karena usaha mengadu domba antar suku ini berhasil.
Peristiwa ini terus terjadi hingga awal abad ke-19. Meskipun demikian hampir seluruh rakyat saat itu tidak menyadari bahwa kebijakan hukuman mati zaman Belanda sama seperti politik adu domba yang menyesatkan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)