Kampanye Satu Keluarga Satu Anak merupakan sebuah propaganda politik kaum reformis secara otoriter untuk menekan angka kelahiran yang membludak di Cina. Slogan tersebut pertama kali muncul di Provinsi Guangdong pada tahun 1979.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan slogan tersebut, sama seperti program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia pada zaman pemerintahan Suharto, “Dua Anak Lebih Baik”. Namun bedanya di Cina kebijakan itu diterapkan secara represif.
Artinya ketika ada yang melanggar peraturan ini maka yang bersangkutan akan terkena hukuman. Makanya sebelum pasangan suami istri menikah, pemerintah Cina akan menanyakan jenis kontrasepsi apa yang akan dipilih pasca melahirkan anak pertama.
Baca Juga: Sejarah Pembunuhan Sadis di Amerika Serikat, Krismon Jadi Penyebabnya
Apabila pasangan suami istri ini menolak punya anak satu, maka siap-siap dengan tindakan represif pemerintah seperti menggugurkan kandungan dengan cara aborsi paksa.
Meskipun usia kandungan sudah di atas 9 bulan usia kehamilan, karena adanya pelanggaran yang telah disepakati sebelumnya, maka sang ibu harus rela bayinya dibunuh secara keji.
Meskipun banyak ditentang oleh dunia internasional praktik haram ini tetap berjalan hingga pertengahan tahun 1990. Cina terus menginginkan keseimbangan sosial dengan menekan laju pertumbuhan penduduk.
Latar Belakang Lahirnya Kampanye Satu Keluarga Satu Anak
Konon lahirnya kampanye Satu Keluarga Satu Anak ini berasal dari program pemimpin RRC (Republik Rakyat Cina) yang seorang komunis sejati bernama Mao Zedong. Program tersebut antara lain mencetuskan pengembangan jumlah masyarakat Cina di seluruh dunia.
Hal ini dilakukan untuk mewujudkan ambisi Cina menguasai dunia. Apabila rakyat Cina berkembang di mana-mana maka dengan cepat mereka bisa mendominasi dunia dalam waktu yang relatif singkat.
Namun cita-cita ini tidak berhasil, Mao justru menciptakan masyarakat Cina yang tidak seimbang. Kurang lebih ada 1,2 miliar rakyat Cina yang bertebaran di seluruh dunia. Mereka jadi beban pemerintah sepeninggal Mao pada tahun 1976.
Pemerintahan Cina akhirnya diambil alih oleh kaum reformis pada tahun 1978 dan menciptakan situasi politik yang lebih lunak dari sebelumnya. Namun ada satu kebijakan yang dianggap dunia begitu kejam.
Menurut Gatot Triyono dalam Majalah Gatra tanggal 21 Januari 1995 berjudul, ”Surat Izin Hamil”, pemerintah Cina secara otoriter dan represif membuat kebijakan program KB dengan istilah “Satu Keluarga Satu Anak”.
Baca Juga: Profil John Lennon, Musisi Legendaris yang Berakhir Tragis
Kebijakan satu anak dalam satu keluarga bermaksud untuk menekan angka fertilitas di Cina warisan Mao Zedong. Pemerintah Reformis tidak menginginkan beban penduduk yang begitu memuncak bisa jadi risiko keruntuhan ekonomi negaranya.
Alhasil program kampanye “Satu Keluarga Satu Anak” harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Cina di manapun mereka berada. Mereka mau tidak mau harus melaksanakan propaganda hitam ini untuk membuat negara komunis ini memiliki keseimbangan ekonomi.
Akibatnya seluruh rakyat Cina yang ada di dunia merasa tertekan. Mereka takut apabila tiba-tiba hamil lagi dan memiliki anak lebih dari satu. Mereka belum siap melakukan aborsi secara paksa.
Peristiwa ini terus membayang-bayangi wanita calon ibu yang hendak menikah dan bercita-cita memiliki anak yang banyak.
Kampanye Hitam Pembunuh Bayi
Salah satu penulis best seller sekaligus peneliti antropologi dari Stanford University bernama Mosher pernah mengatakan propaganda “Satu Keluarga Satu Anak” itu merupakan “Kampanye Hitam Pembunuh Bayi” di Cina.
Pernyataan keluar seiring dengan penelitiannya di Cina pada tahun 1980-an. Menurut Mosher sejak kepemimpinan kaum reformis, Cina kerap menerapkan peraturan-peraturan yang melawan kehendak kodrati.
Salah satunya menghalalkan pembunuhan bayi sejak dalam kandungan untuk menekan angka kelahiran yang memuncak.
Kesaksian Mosher pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ibu-ibu muda yang sedang hamil kedua harus menjalani aborsi di klinik milik pemerintah Cina.
Para dokter kandungan reformis Cina bekerja mengaborsi mereka dengan cara sadis. Mereka memaksa dan menjerat kedua kaki dan tangan sang ibu supaya tidak berontak saat calon bayi tercintanya dibunuh melalui “metode pengguguran paksa”.
Mosher menceritakan betapa banyak darah yang berhamburan di ruangan aborsi. Bahkan ia tak kuasa menahan tangisan ketika jasad bayi hasil aborsi paksa itu dibuang ke tempat sampah yang berada tak jauh dari ruang praktek dokter.
Untuk mengabadikan momen ini secara humanis, peneliti antropologi dari Amerika Serikat ini kemudian menuliskan pengalamannya tersebut dalam sebuah buku berjudul “Broken Earth”.
Semenjak buku ini terbit dan menyebar ke berbagai pergaulan intelektual dunia, kampanye gelap pembunuh bayi di Cina ini banyak ditentang terbuka oleh masyarakat dunia.
Hukum internasional bahkan mengecam perbuatan ini karena melanggar hak asasi manusia, terutama melanggar hak untuk hidup.
Dampaknya Mosher yang kala itu sedang melakukan penelitian di Guangdong untuk menyelesaikan studi doktoralnya ini dipecat.
Almamater tercintanya ditekan oleh pemerintah Cina untuk mengeluarkan Mosher dari Stanford University. Karena tidak ingin kehilangan kerjasama, akhirnya pihak kampus “menendang” Mosher keluar.
Kini ia menjadi seorang peneliti independen yang sangat humanis. Selain itu namanya terkenal menjadi penulis hebat dan kerap menulis perlawanan-perlawanan untuk Cina.
Mosher tumbuh jadi malaikat penolong untuk keluarga di Cina yang bercita-cita ingin punya anak lebih dari satu orang.
Dampak Kesewenang-wenangan Politik Mao
Lahirnya kampanye Satu Keluarga Satu Anak ini merupakan dampak dari kebijakan politik Mao yang sewenang-wenang.
Cita-cita politik komunisme yang utopis tidak mempertimbangkan bagaimana jika angka fertilitas di Cina membludak dan tak bisa terkendalikan.
Baca Juga: Kedudukan Wanita Jepang Pasca PD II, Bangkit dari Dominasi Patriaki
Saat itu Mao Zedong hanya terpaku pada ambisi menguasai dunia yang berlebihan. Oleh sebab itu mungkin menurutnya penambahan jumlah penduduk Cina di seluruh dunia merupakan pondasi awal negerinya untuk tampil jadi penguasa dunia.
Namun semua pertimbangan-pertimbangan kemaki itu salah. Mao justru kalah dan wafat sebelum semua cita-citanya tercapai. Sebelumnya cita-cita besar sang pemimpin komunis Cina juga sudah diprediksi akan gagal.
Sebab seperti strategi politik gagal lainnya, Mao pernah mengalami keterpurukan akibat program politik “Lompatan Jauh ke Depan” (1957-1959). Seluruh rakyat Cina jadi korban kebijakan yang dipaksakan tersebut. Mereka menghadapi wabah kelaparan dari tahun 1959-1963.
Oleh karena itu ketika Mao meninggal dunia kaum reformis mengambil alih Cina. Mereka merehabilitasi seluruh kebijakan-kebijakan Mao yang dianggap akan gagal. Salah satunya mengampanyekan propaganda gelap “Satu Keluarga Satu Anak”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)