Soegijapranata merupakan profil pemimpin Katolik di Indonesia pertama dari golongan pribumi. Sebelumnya ia merupakan Vikaris Apostolik di Semarang yaitu pemimpin Katolik utusan Roma yang belum punya Keuskupan.
Watak yang jujur dan rendah hati membuat Soegija menjadi perhatian banyak orang. Terutama umat Katolik di seluruh Indonesia.
Selain karena keilmuan agama Katolik yang kuat, keberpihakan bangsa pribumi pada Soegija terjadi akibat ia seorang Uskup Agung yang pro-Nasionalis.
Ucapan keberpihakan Soegija pada golongan nasional terlihat saat ia menyebut “100% Katolik, 100% Indonesia”.
Baca Juga: Raden Mas Panji Sosrokartono, Kakak R.A Kartini yang Kuasai Banyak Bahasa
Slogan tersebut mendadak heboh, mengingat saat itu Indonesia sedang mengalami dampak Perang Dunia II pada zaman Pendudukan Jepang. Belum ada yang berani mengungkapkan slogan-slogan ke-Indonesia-an selain Soegija.
Sebagian besar rakyat di Semarang selain mengenal Soegija sebagai Uskup Agung, tetapi juga mereka anggap Soegija sebagai seorang agamawan yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun banyak terpaan masalah pada zaman pendudukan Jepang, Soegijapranata berhasil bekerjasama baik menciptakan kerukunan bersosial antara pribumi dan tentara bersamurai panjang.
Salah satu yang ia lakukan untuk memperdamai keadaan antara lain dengan membantu penyediaan rumah sakit untuk pelayanan medis Jepang dan pribumi.
Soegija bersama teman di Keuskupan MGR Willekens, SJ., menginisiasi agar rumah sakit Katolik, St. Carolus di Semarang terus beroperasi.
Jepang tidak boleh mengalihfungsikan rumah sakit ini sebagai bangunan penampung logistik dan keperluan perang. Sebab rumah sakit St. Carolus adalah tempat darurat melayani masyarakat yang jadi pesakitan.
Profil Soegijapranata, Sang Uskup Agung Pro-Nasionalis
Menurut Flank Flinn K dalam buku berjudul, “Soegijapranata, Albert (Albertus Soegijapranata)” (2010), Soegijapranata lahir pada tanggal 25 November 1896. Ayahnya seorang abdi dalem di Keraton Kasunanan Surakarta.
Sejak kecil hingga dewasa Soegija terdidik oleh tata krama keluarga Kejawen. Meskipun sebagian mengatakan keluarga Soegija seorang Kejawen tetapi pada kenyataannya ayah dan ibu Soegija merupakan umat Katolik yang taat.
Karena ketaatan mereka dalam Katolik juga yang membuat Soegija bisa menjabat sebagai Uskup Agung dari golongan pribumi pertama sepanjang sejarah Indonesia.
Hal ini bermula dari kesepakatan ayah dan ibunya untuk memasukkan Soegija ke dalam sekolah Katolik.
Awalnya Soegija mendapat nama baptis Albertus Magnus dari seorang Pastur terkenal saat itu Maltens, SJ., pembaptisan ini terjadi ketika guru Katoliknya menyatakan lulus dari sekolah Xaverius. Dari sinilah awal mula Soegija mendalami ajaran Katolik.
Semenjak lulus dari sekolah Xaverius keinginan Soegija muda berbeda dengan teman-teman lainnya. Jika teman-teman Soegija ingin melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi dengan jurusan Hukum, Sains, Humaniora, dan Teknik, Soegija justru malah mengambil jurusan Kepastoran tahun 1916.
Tak lama setelah lulus dari sekolah tersebut Soegija kemudian menjadi pemimpin imamat umat Katolik di Semarang dan sempat belajar kefilsafatan Katolik di Gymnasium Uden Belanda.
Baca Juga: Panda Nababan, Politikus Senior Bantu Artidjo Alkostar Jadi Hakim Agung
Di sana ia belajar tentang agama Katolik secara mendalam. Adapun selama tinggal di Belanda Soegija berada di bawah pengawasan Ordo Salib Suci (OSC).
Kendati belajar di Belanda jiwa kepribumian Soegija tak luntur. Ia malah mengembangkan beberapa pemikiran kebangsaan ketika berada di Belanda.
Ia telah menunjukan sikap-sikap cinta tanah air dengan menulis berbagai khotbah tentang filsafat menjadi seorang Nasionalis.
Mengajarkan Katolik Berdasarkan Adat Budaya “Ketimuran”
Sepulang dari Belanda dalam menuntut ilmu kepasturan, seorang Uskup di Maastricht bernama Roermond mengangkat Soegija menjadi seorang Uskup Agung pada tahun 1931. Setelah dua tahun peristiwa pentasbihan itu berlalu, Soegija pulang ke Indonesia.
Di Indonesia ia menjadi Uskup Agung pertama dari golongan pribumi yang bertugas di Gereja Katolik Bintaran.
Setahun kemudian perkumpulan Pastur di seluruh Indonesia sepakat mengangkat Soegija jadi Pastur Paroki dan Vikaris Apostolik yang merangkap jadi seorang Uskup Agung.
Selain terkenang baik menjadi Uskup Agung, profil Soegijapranata juga pernah menjadi Pastur yang mengajarkan agama Katolik berdasarkan pada adat dan budaya “ketimuran”.
Tujuannya agar masyarakat paham dengan agama Katolik terutama supaya tidak lagi menyalah artikan Katolik sebagai agama Barat.
Sebab ternyata ketika Katolik memangku budaya ketimuran, masyarakat ikut memberkati dan banyak menaruh simpati pada agama tersebut.
Selain itu hal ini terjadi akibat adanya enkulturasi antara budaya Indo-Eropa yang sudah lama terjadi.
Berpuluh-puluh tahun ke belakang lamanya bahkan sudah membentuk budaya baru lagi. Seperti menciptakan budaya Katolik-Kejawen di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Baca Juga: Sejarah Katolik Kejawen di Indonesia, Bukti Enkulturasi Budaya Indo-Eropa
Proses enkulturasi yang berhasil ini menjadi sebuah tumpuan dasar bagi Soegija untuk meneruskannya ke regenerasi Katolik di Indonesia.
Sebab selain menjadi agamawan, Soegija juga ingin menjadi seorang negarawan yang memiliki jiwa Nasionalisme tinggi dan kuat.
Uskup Agung Penebar Kedamaian
Ketika pasukan Sekutu datang ke Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945, Soegijapranata menjadi tokoh masyarakat yang menghadapi kekejaman perang mewakili pejuang Republik Indonesia.
Meskipun saat itu ia pernah menjadi bagian dari Belanda, Soegija kini justru menolak kehadiran mantan penjajah tersebut berdaulat kembali di Indonesia.
Negara ini sudah merdeka, Sukarno dan Hatta adalah proklamator yang mengumandangkan kemerdekaan Republik tersebut pada 17 Agustus 1945. Dengan alasan apapun Belanda seharusnya malu kembali ke Indonesia.
Dunia menilai aksi agresi militer Belanda dari tahun 1947-1949 merupakan tindakan melanggar HAM.
Mendengar pendapat ini Soegija lantas berbuat sesuatu yang bersifat memperdamai keadaan. Ia kemudian mengusulkan agar pasukan Sekutu yang membonceng Belanda saling ber gencatan senjata dengan pejuang Republik. Soegija mengusulkan ini pada pemerintah pusat di Jakarta.
Ia mengutus perwakilan gereja Katolik di Semarang bertemu dengan Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Usulan Soegija berdasar pada keprihatinan dampak dari perang yang mengakibatkan banyak korban. Apalagi kaum wanita yang masih punya anak kecil. Mereka kerap jadi korban meninggal karena bom dan peluru nyasar pertempuran di Semarang.
Menerima desakan itu akhirnya Sutan Sjahrir turun tangan. Ia mengutus perwakilannya datang ke Semarang untuk meninjau keadaan.
Setelah tahu pasti keadaan di sana kacau ia pun langsung mengadakan pertemuan untuk menyetujui gencatan senjata dengan Belanda.
Peristiwa ini sungguh heroik. Banyak warga Semarang yang bangga pada profil seorang Soegijapranata. Selain menghormatinya sebagai Uskup Agung, rakyat di Kota Pelabuhan Utara Jawa ini juga tunduk karena ia seorang pahlawan.
Hal ini sebagaimana mengutip pendapat Anhar Gonggong dalam buku berjudul, “Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ-Antara Gereja dan Negara” (1993). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)