Profil Kyai Sadrach sangat menarik untuk kita ulas. Dalam sejarah Indonesia, Ia merupakan salah satu tokoh Kristen berpengaruh pada awal abad ke-20.
Sadrach selain berprofesi menjadi penginjil, juga sebagai umat nasrani yang taat dan religius.
Perjalanan kekristenannya tak luput dari tekad perjuangan yang keras. Kyai Sadrach pernah mendapat ancaman dari Belanda akibat memiliki gelar imamat: “Kyai”.
Gelar ini berasal dari pemberian mantan santri-santri di pesantren pedalaman yang ada di Jawa Tengah.
Baca juga: Profil Haji Misbach, Penganut Ajaran Komunisme di Masa Kolonial
Konon Belanda mengkhawatirkan gelar tersebut bisa membuat banyak orang Kristen tertarik mengikuti aliran Kyai Sadrach. Sebab, ia juga terkenal jadi orang yang revolusioner.
Mengenal Profil Kyai Sadrach, Penginjil Revolusioner
Kyai Sadrach merupakan satu-satunya pemuka Kristen zaman itu yang berani menentang kolonial.
Agitasinya kuat, pidato-pidato religius saat penginjilan terjadi begitu hebat dan melahirkan umat Kristen yang militan.
Tak heran banyak pengikut dan orang terpengaruh oleh Kyai Sadrach. Kyai Sadrach ingin beriman kepada Tuhan tanpa ada kekesalan umat Nasrani kepada kaum penjajah.
Meskipun Belanda punya misi Gospel (penyebarluasan agama Kristen), aliran Kristen yang Sadrach yakini mengatakan Gospel bagian dari tindakan penjajahan berkedok agamis-religius. Akibatnya tak sedikit orang yang ikut dengan ajaran Kyai Sadrach.
Sang Kyai umat Nasrani di desa-desa terpencil di Jawa Tengah ini begitu mempesona mata bagi para jemaat yang akan merayakan Natal.
Bukannya memberikan pidato selamat hari raya Natal, Kyai Sadrach justru menjadi pembicara yang revolusioner.
Bermula dari Keluarga Islam
Menurut C. Guillot dalam buku berjudul, “Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa” (1979), Kyai Sadrach lahir di Karesidenan Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1835.
Profil Keluarga Kyai Sadrach memiliki tradisi dan kebiasaan mengaplikasikan setiap perintah agama dengan sungguh-sungguh.
Ibu dan ayah Sadrach terkenal dengan keluarga yang religius. Sadrach pun tumbuh dengan mengikuti kebudayaan orang tuanya yang taat pada agama.
Awal kehidupan Sadrach berasal dari keluarga Islam. Hal ini terbukti dari nama aslinya yaitu, Radin Abas Sadrach Soerapranata.
Ayah ibunya memasukan Sadrach remaja ke salah satu pesantren di Jombang Jawa Timur. Setelah menjadi senior di pesantren tersebut, Sadrach memiliki banyak pengikut sehingga mendapatkan gelar “Kyai”.
Beberapa tahun setelah mendapatkan Ijazah pesantren, Kyai Sadrach pergi mencari pengalaman ke Semarang.
Di kota tersebut Sadrach berkenalan dan dekat dengan seorang pemuka Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung.
Perkenalan itu tak sangka membawa sang Kyai terlarut dalam ajaran Kristen.
Ketika Sadrach dan Ibrahim memutuskan pergi ke Batavia, mereka mendapatkan baptis pada tanggal 14 April 1867. Kyai Sadrach resmi menjadi Kristen dan terdaftar di gereja Zion Batavia.
Menjadi Penginjil Militan
Menurut Soetarman Soediman Partonadi dalam buku berjudul, “Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX” (2001), setelah Sadrach mendapat nama baptis, ia berubah menjadi penginjil yang taat dan militan.
Profil Kyai Sadrach dalam menyebarkan agama Kristen dengan pendirian yang teguh.
Tanpa lelah Sadrach berjalan menyusuri kampung dan desa-desa di Batavia dan Jawa Tengah. Hingga usaha Sadrach mendapat sambutan yang baik dan menghasilkan banyak para pengikutnya.
Tak lama dari prestasi ini Sadrach memutuskan pergi kembali ke Semarang. Di sana ia bergabung dengan pastur kenalan pertamanya Ibrahim Tunggul Wulung.
Namun setelah beberapa saat ia tinggal di Semarang Sadrach ingin pindah lagi ke tempat lain untuk membangun desa Kristen. Akhirnya Sadrach memilih tinggal di daerah Purworejo.
Pastor Belanda Mengangkat Sadrach Menjadi Anak
Melihat kesungguhan dan profil Kyai Sadrach yang saat itu baru berusia 35 tahun ingin mendirikan kampung Kristen, terdapat Pastur Belanda bernama Stevens Philip mengangkat Sadrach menjadi anaknya.
Stevens sengaja mengangkat Sadrach untuk membangun agama Kristen di Purworejo bersama-sama. Namun pada tahun 1869 Kyai Sadrach meninggalkan Stevens Philip.
Ia ingin berpisah dan menjadi penginjil yang berbeda. Sadrach tidak ingin tradisi penyebaran agama Kristen sama seperti orang-orang Eropa.
Kyai Sadrach lebih mengutamakan tradisi dan kebudayaan Jawa dalam menyebarkan agama Kristen.
Semacam sinkretisme, pastur mantan santri Islam yang taat ini mempercayai peleburan agama pada satu kebudayaan tertentu dapat merealisasikan keinginan memperoleh pengikut yang lebih dari cukup.
Alhasil Sadrach mendapatkan harapan tersebut. Ia mendominasi penginjilan, artinya seluruh calon anggota keluarga yang mau jadi Kristen hanya ingin mendapatkan bimbingan Sadrach yang membaptisnya.
Menurut kebanyakan pengikut Sadrach hal ini terjadi akibat Belanda terlalu kaku dan kelihatan punya misi tertentu dalam penyebaran Kristenisasi Nya. Sedang Kyai Sadrach murni dari hati.
Menariknya dari profil Kyai Sadrach, Ia mengajak sebagian umat yang belum punya agama menjadi seorang Kristen taat dan mengamalkan ajaran-ajarannya. (Erik/R6/HR-Online)