Alimin Prawirodirdjo lahir pada tahun 1809 di Surakarta Jawa Tengah. Profil Alimin Prawirodirdjo terkenal sebagai tokoh besar gerakan komunisme di Indonesia sekaligus mantan aktivis radikal pada zaman Belanda tahun 1920-an.
Alimin lahir dari keluarga miskin. Ayah dan ibunya merupakan seorang petani yang mengurus sawah milik keluarga bangsawan di Surakarta. Kendati hidup dalam kemiskinan jiwa sosial Alimin sudah kuat sedari kecil.
Pejabat Belanda yang bertugas menjadi Penasihat Urusan Pribumi bernama G.A.J Hazeu sempat terpesona dengan tingkah laku Alimin waktu itu.
Jiwa sosial lelaki kecil itu tercermin ketika Hazeu memberikan koin gulden padanya. Siapa sangka ia justru memberikan kembali koin gulden itu pada teman-teman kecilnya.
Karena jatuh hati dengan anak lelaki petani miskin yang berjiwa sosial tinggi, akhirnya G.A.J Hazeu mengangkat Alimin kecil sebagai anaknya. Menjadi anak angkat Belanda membuat Alimin berpendidikan tinggi.
Baca Juga: Sejarah Konflik PKI dan Muhammadiyah, Gegara Berebut Massa Aksi
Ayah angkat Alimin menginginkannya menjadi seorang pegawai pemerintah. Namun Alimin tidak menuruti perintah sang Ayah Angkat.
Ia justru membelot ke dunia politik kiri dan menjadi seorang jurnalis dalam sebuah surat kabar yang memusuhi kolonialisme Belanda.
Profil Alimin Prawirodirdjo dan Julukan The Great Old Man Komunisme di Indonesia
Menurut Peter Kasenda dalam buku berjudul ”Sukarno, Marxisme, & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia” (2014), Alimin terkenal dengan julukan “The Great Old Man” gerakan komunis di Indonesia.
Artinya profil Alimin Prawirodirdjo tersohor jadi Orang Tua Hebat yang mampu mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri lagi sesudah peristiwa Madiun 1948.
Sebab sebelum Alimin muncul setelah peristiwa tersebut, PKI menjadi partai yang kaku dan tidak boleh beroperasi oleh pemerintah republik.
Sejarah PKI mencatat, Bapak Komunisme Indonesia itu pun konon pernah jadi salah satu korban tewas akibat peristiwa pembantaian PKI di Madiun. Namun nyatanya ia masih hidup dan muncul kembali di Yogyakarta pada bulan September 1949.
Kala itu Alimin menghadiri pertemuan akbar dengan golongan kiri di Yogyakarta setelah pemerintah republik bersikap lunak terhadap PKI.
Kehadiran Alimin di sana membuat jagad media heboh. Surat kabar memberitakan Alimin seorang komunis yang sakti, anti peluru, dan kebal dari segala bentuk pembunuhan.
Mantan aktivis tahun 1920-an ini juga jadi tanda kalau ternyata pemerintah republik tidak lagi melarang PKI malah mendapat respon yang baik.
Baca Juga: Tragedi Berdarah di Ngawi: Gubernur Suryo Dibunuh PKI
Merenovasi Kebangkitan PKI dari Kehancuran Madiun 1948
Selain terkenal seorang yang sakti, kehadiran Alimin dalam PKI tahun 1949 merupakan bentuk dari upaya merenovasi kembali partai kiri tersebut dari kehancurannya pasca peristiwa Madiun 1948. Alimin berniat membangun kembali struktur PKI yang hancur.
Karena berpengalaman dalam bidang rehabilitasi kekuatan massa, tugas membangkitkan kembali PKI dari kekalahan tahun 1948 bukanlah hal yang sulit baginya.
Pria tua bertubuh kurus tersebut melakukan beberapa strategi jitunya untuk membangun ulang kekuatan PKI menjadi lebih hebat dari sebelumnya.
Cara pertama yang Alimin lakukan adalah menghimpun massa PKI yang lolos dan selamat dari peristiwa Madiun 1948. Mereka tercerai berai karena kejaran tentara saat itu yang berusaha memburu orang-orang PKI pimpinan Musso.
Setelah kekuatan terhimpun, Alimin membentuk susunan secretariat comite central (C.C) pada 10 Juli 1950.
Isinya menunjuk pentolan aktivis kiri Sudisman (Mantan Sekretaris Jenderal Pesindo), Djaetun (Mantan Digulis), dan Ngadiman jadi pelaku praktik lapangan PKI mengurus kemajuan partai.
Selain itu Alimin menunjuk mereka untuk melakukan upaya-upaya konkret menghapus citra buruk PKI pasca peristiwa Madiun.
Karena perbaikan citra membutuhkan waktu yang lumayan panjang, maka Alimin mengusulkan perekrutan anggota dan kader PKI berjalan secara ketat. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kaderisasi maksimal, menciptakan keanggotaan partai yang militan.
Kehadiran beberapa nama Comite Central PKI baru juga tampaknya telah membentuk sejarah awal dari berdirinya sebuah istilah Underbow.
Sebab ketika taktik infiltrasi ini berjalan, para pimpinan Comite Central memerintahkan seluruh anggota muda partai (kader) ikut serta dalam organisasi kepemudaan, buruh, petani, perempuan, dan kebudayaan.
Tujuannya untuk mendapatkan dukungan sekaligus mengakuisisi organisasi tersebut menjadi bagian dari PKI. Manfaatnya bisa membantu citra PKI jadi lebih baik lagi. Bahkan apabila ini berjalan dengan lancar mereka akan berpihak pada kaum komunis, sehingga apabila kaum kiri mendapat pertentangan dari golongan lain, merekalah yang akan ada sebagai backing-nya.
Baca Juga: Profil Sudisman, Petinggi PKI Satu-satunya yang Diadili Mahmilub
Berbeda Gagasan Perjuangan dengan Aidit
Ketika strategi politik dalam memperbaiki citra PKI oleh Alimin berjalan dengan mulus, tiba-tiba muncul anggota partai yang mengaku pernah terlibat dengan peristiwa Madiun 1948 mewakili golongan muda PKI menentang The Great Old Man Alimin.
Namanya Dipa Nusantara Aidit, ia merupakan pemuda revolusioner asal Bangka. Sejak kecil namanya Ahmad Aidit namun berganti nama karena ingin merepresentasikan perjuangan hidupnya hanya untuk negeri dan bangsa.
Aidit menentang Alimin karena pergerakan partai yang berada di tangannya cenderung berjalan lambat. Tidak lagi revolusioner bahkan ia menuduh PKI yang ke-Nasionalis-nasionalis-an.
Jelas Aidit geram dan tidak bisa membiarkan citra PKI yang sesungguhnya penuh dengan perlawanan malah lunak seperti partai yang lemah.
Melalui keterampilan berpodiumnya Aidit lantas mempengaruhi kader PKI untuk ikut bersama di belakang komandonya. Tak sangka upaya Aidit berhasil.
Ia kemudian menciptakan Friksi Internal merebut kebangkitan PKI Alimin dan membaginya ke dalam dua kubu, golongan tua dan golongan muda.
Golongan muda merupakan Friksi Internal Aidit, sedangkan golongan tua Alimin. Dalam dua kubu PKI tersebut bersitegang dan saling menjatuhkan satu sama lainnya.
Masih menurut Peter Kasenda, pembagian golongan ini berasal dari pendidikan politik yang berbeda angkatan.
Alimin memperoleh pendidikan politik zaman Belanda dan sudah biasa menghadapi hukuman pembuangan, sehingga dalam mengatur strategi politik cenderung rasional-reovulisioner.
Sementara Aidit terdidik dari pendudukan Jepang yang mana penuh dengan obsesi otoriter dan romantika revolusi yang sadis.
Persaingan ketat ini berakhir. Alimin jatuh kalah dari Aidit, The Great Old Man gerakan komunis di Indonesia itu mundur pada tanggal 7 Januari 1957.
Sedangkan Aidit Cs maju menjadi pimpinan PKI yang baru bersama Comite Central Lukman dan Sudisman. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)