Pemberontakan Cikande Udik merupakan peristiwa bersejarah tentang petani Banten yang merebut tanah partikelir milik Belanda.
Kejadian penting dalam sejarah agraria di Indonesia ini dipercaya sebagai salah satu pendorong timbulnya revolusi sosial kaum tani di Tatar Sunda. Lantas bagaimana sih awal peristiwa ini bisa meledak?
Ternyata salah satu penyebab meletusnya peristiwa ini karena Belanda menjual tanah negara pada swasta (Partikelir). Penjualan ini tanpa melibatkan peraturan yang pasti, dalam arti bebas sebebas-bebasnya.
Baca Juga: Gerakan Nyi Aciah, Pemberontakan Rakyat Sumedang Dipimpin Wanita Pemberani
Karena itulah banyak pribumi yang menempati tanah partikelir ini kecewa. Mereka tertekan, keringatnya diperas dan selalu dibayang-bayang oleh pajak kolonial. Tak main-main pajak yang harus dikeluarkan oleh pribumi terlampau tinggi.
Akibatnya rakyat marah, mereka yang ada dalam golongan petani Banten mengamuk kepada Belanda. Pemberontakan itu terjadi pada tahun 1845 atau 100 tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Latar Belakang Pemberontakan Cikande Udik
Menurut Iim Imadudin dalam Jurnal Sejarah Patanjala, Vol. 7, No. (1) Maret 2015: 33-48 berjudul,”Perlawanan Petani di Tanah Partikelir Tanjoeng Oost Batavia Tahun 1916”, latar belakang pemberontakan Cikande Udik karena pemerasan tuan tanah kolonial pada petani Banten abad ke-19.
Tuan tanah berdalih memaksimalkan produktivitas tanah, namun pada kenyataannya mereka mengeksploitasi sumber daya manusia di Banten secara habis-habisan. Akibatnya masyarakat Banten yang notabene berprofesi petani marah.
Mereka merasa lelah, keringatnya sudah diperas hanya untuk membahagiakan tamu-tamu yang menumpang di tanah mereka sendiri. Maka dari itu para petani ini mengadakan perlawanan dengan menyerang tuan tanah kolonial.
Puncak perlawananan ini terjadi pada tahun 1845. Tepatnya ketika si tuan tanah dengan sewenang-wenang menerapkan aturan baru dengan mengklaim seluruh pribumi yang merasa memiliki sawah di tanah partikelir, harus membayar pajak berbentuk hasil bumi.
Dengan kata lain para petani di Banten wajib menyetorkan hasil panen setengahnya dari jumlah keseluruhan. Jumlah ini dibeda-bedakan sesuai dengan ladang yang dimiliki. Antara lain, apabila si petani merasa memiliki ladang kelas 1, maka wajib setor 3 pikul setiap panen.
Baca Juga: Pemberontakan Ciomas 1886, Gerakan Petani Bogor Tolak Pajak Kolonial
Sedangkan yang merasa punya ladang kelas 2, harus menyetor pajak hasil bumi sebanyak 2 pikul, dan apabila si petani mengaku punya ladang kelas 3, maka bayaran setiap panen hanya ditangguhkan hasil bumi (beras) sebanyak 1 pikul.
Hal ini sangat memberatkan para petani di Banten. Mengingat keadaan waktu itu sedang paceklik, sebab panen gagal, dan harga-harga kebutuhan pokok di pasaran sedang memuncak. Akibatnya keluarga petani sering menderita kelaparan.
Meletusnya Pemberontakan Cikande Udik
Menurut Nina Herlina Lubis dalam buku berjudul ”Sejarah Provinsi Jawa Barat: Jilid 1”, (2013), meletusnya pemberontakan Cikande terjadi pada tahun 1845. Tepatnya 100 tahun sebelum terjadinya proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Adapun penyebab utama pemberontakan ini berkecamuk lantaran diilhami oleh kerusuhan Nyi Gamparan. Pemberontakan memperebutkan tanah partikelir yang perah terjadi pada tahun 1836.
Tokoh Nyi Gamparan begitu kentara dalam gerakan Cikande Udik. Bahkan ada salah satu tokoh berpengaruh yang memiliki peran penting dalam peristiwa ini, yaitu ibunya Nyi Gamparan sendiri dalam peristiwa Cikande Udik 1845.
Ibu Nyi Gamparan terlibat dalam pemberontakan Cikande Udik. Pemerintah kolonial menghukum gantung ibu Nyi Gamparan karena dianggap telah menjadi penyebab meletusnya pemberontakan petani ini di Banten.
Konon sosok ibu Nyi Gamparan terkenal sakti, oleh sebab itu banyak pengikutnya. Seluruh petani menurut pada apa yang terucap dari mulutnya.
Bahkan pemberontakan Cikande Udik pun disinyalir perintah ibu Nyi Gamparan untuk membalaskan dendam atas gugurnya sang anak pada pemberontakan tahun 1836.
Menurut Nina, peristiwa meletusnya pemberontakan Cikande Udik menjadi aspirasi petani lain di Tatar Sunda untuk memberontak tuan tanah partikelir.
Seperti gerakan petani dalam peristiwa Ciomas (1886), pemberontakan petani Banten (1888), dan gerakan petani di Ciampea (1892).
Berakhirnya Pemberontakan Cikande Udik
Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam bukunya berjudul ”Banten: Sebagai Sumber Potensi Heroik” (2014), menyebut pemberontakan Cikande Udik berakhir setelah serdadu kolonial menangkapi para pelakunya pada 14 Desember 1845.
Karena berupaya memberikan perlawanan balik, para tentara kolonial akhirnya mundur sementara. Namun setelah mereka lengah, opsir-opsir Belanda ini menyerang para pelaku pemberontakan Cikande Udik dan membunuhnya dengan sadis di tempat.
Baca Juga: Sejarah Perang Kedondong, Rakyat Cirebon Menggempur Belanda
Akibatnya banyak korban yang bergelimpangan. Sumber kolonial tak menyebutkan secara pasti jumlah para petani yang tewas. Namun catatan kolonial mengatakan para petani yang tewas merupakan golongan pribumi yang sombong karena merasa diri sudah sakti dan kebal.
Namun kekebalan ini tidak nyata. Mereka tertipu guru-guru mereka yang menyebut dirinya sudah kebal. Sebab nyatanya para petani kebal itu mati diterjang peluru dan bom meriam yang mengarah tepat di dadanya.
Pemberontakan Cikande Udik benar-benar berakhir pada tanggal 15 Agustus 1846. Tepat setelah semua pelaku utamanya tertangkap dan diadili di pengadilan negeri Belanda di Banten.
Jumlah keseluruhan yang terlibat aktif ada 25 orang. Semuanya dihukum gantung, termasuk ibu dari mendiang Nyi Gamparan. Sedangkan 134 lainnya diasingkan dan dipekerjakan paksa. Adapun sisanya sebanyak 41 orang bebas karena tidak terbukti bersalah. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)