Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pihaknya masih membahas soal perkembangan bursa karbon yang rencananya siap meluncur tahun 2024-2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi mengatakan pihaknya masih membahas rencana pendirian bursa karbon, termasuk menyiapkan penerbitan regulasi dan kesiapan infrastruktur.
Selain itu, OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) masih berkoordinasi dengan sejumlah pihak, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Kendati demikian, setelah melakukan berbagai pertimbangan bersama, masing-masing pihak menargetkan bursa karbon tersebut akan mulai pada tahun 2024-2025.
“Bursa karbon, saat ini kami sedang berkoordinasi dengan KLHK, dan Kemenko Kemaritiman dan Investasi. Untuk live dari pemerintah dari KLHK baru 2024-2025.
“Tentunya saat ini kami sedang melakukan kajian untuk mempersiapkan hal tersebut dan juga per 15 Desember lalu UUP2SK terkait bursa karbon,” kata Inarno pada Konferensi Pers Akhir Tahun 2022, dikutip Jumat (30/12/2022).
Sebelumnya, salah satu pembahasan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) adalah isu pasar karbon.
Rancangan Undang-Undang (RUU) PPSK akan mengatur desain infrastruktur bursa karbon, serta sistem pemantauan oleh regulator terkait.
“Secara umum, kepentingan memiliki pasar karbon itu sejalan dengan upaya Pemerintah pada tahun 2016 untuk mengajukan Nationally Recognized Contribution (NDC) sebagai komitmen program penurunan emisi karbon global,” kata Direktur Eksekutif Center of Economics and Ilmu Hukum (CELIOS), Bhima Yudhistira, Selasa, 22 November 2022.
Baca juga: OJK Terima 304.890 Laporan Sepanjang 2022, Termasuk Pengaduan tentang Pinjol
Harapan Atas Kehadiran Pasar Karbon OJK
Melalui NDC, Bhima mengatakan bahwa Pemerintah bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya Indonesia sendiri dan sebesar 41 persennya dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Sementara kebutuhan kumulatif mitigasi perubahan iklim selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun, angka tersebut belum sepenuhnya dapat ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), katanya.
Selain itu, kehadiran pasar karbon diharapkan dapat menjadi solusi untuk menutupi kebutuhan dana yang besar dari para pelaku usaha.
Mengingat urgensi hadirnya pasar karbon, pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir sejumlah penyempurnaan. Misalnya, dalam pasal 26 disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pasar karbon akan diatur dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Lebih baik Bappebti terlibat sebagai pengatur utama pasar karbon, karena karbon umumnya diartikan sebagai komoditas daripada efek. Sedangkan ruang regulasi OJK lebih tepat mengenai segala jenis produk pembiayaan dari hasil perdagangan, sesuai fungsi jasa keuangan,” tegas Bhima.
Peluang Kolaborasi
Bhima menilai peluang kerja sama antara Bappebti dan OJK nantinya dapat berupa pengaturan pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti sendiri akan mengatur perdagangan komoditas karbon.
Sementara, OJK akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon melalui pembiayaan lembaga keuangan.
Ketentuan lain yang menurut Bhima perlu adanya perbaikan, adalah pasal 5A ayat 8 tentang mengatur perdagangan sekunder karbon yang menjadi kewenangan OJK.
“Selain Pasal 26, kami mendesak agar Pasal 5A ayat 8 juga direvisi, dengan jalan tengah kerja sama antara regulator yaitu OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder,” kata Bima.
Sebagian besar pelaku pertukaran komoditas yang ada sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk melakukan pertukaran karbon, sehingga dirasa tidak perlu menyiapkan infrastruktur baru yang menjadi kewenangan OJK. (Revi/R8/HR Online/Editor Jujang)