Moh Natsir adalah politisi Masyumi yang gemar merokok dan sering berkonflik dengan Sukarno. Kebiasaan Natsir merokok ini bahkan sudah ia mulai ketika aktif berkampanye untuk Partai Masyumi.
Selain memiliki kegemaran merokok, Natsir juga sangat sering berkonflik dengan Sukarno bahkan ketika Sukarno sudah menjadi presiden.
Perbedaan pandangan keduanya membuat Natsir dan Sukarno memiliki gagasan dan ide yang berbeda, terutama dalam pengelolaan negara.
Baca Juga: Idham Chalid: Perdana Menteri Indonesia, Dekat dengan Raja Arab
Namun, perbedaan pandangan tersebut, lantas tidak membuat Natsir dan Sukarno saling membenci.
Berikut, kisah Moh Natsir, Politisi Masyumi yang gemar merokok hingga sering berkonflik dengan Sukarno.
Moh Natsir dan Kebiasaan Merokok
Moh Natsir merupakan salah satu politisi Partai Masyumi memiliki kegemaran dalam merokok. Bahkan di sela-sela aktif berkampanye Natsir sering kedapatan menyulut rokok.
Kebiasaan merokok Natsir memang cukup mengkhawatirkan. Ia bisa menghabiskan satu setengah pak rokok Commondore setiap harinya.
Jenis rokok ini merupakan rokok yang diproduksi oleh British American Tobacco. Jenis tembakau yang digunakan adalah tembakau Virginia yang digabung dengan tembakau barley. Perpaduan dua tembakau ini menghasilkan cita rasa unik yang legendaris.
Menurut Abraham Ilyas dalam, “45 Kisah PRRI di Ranah Bunda: Tuah Sekata, Celaka Bersilang” (2014), Natsir tidak selalu merokok dengan rokok Commondore.
Tepat pada tahun 1960, pasca konflik antara PRRI dan Pemerintah, Natsir hanya merokok dengan Tembakau Payakumbuh dengan pucuk daun enau.
Kegemaran menghisap rokok Natsir ini berlanjut bahkan ketika rezim Sukarno mengasingkannya ke Malang pada tahun 1962-1964.
Namun, pada saat itu, ia tak menghisap rokok putih yang biasanya ia hisap. Melainkan melinting sendiri rokoknya.
Baca Juga: Profil Soegijapranata, Uskup Agung Pertama dari Pribumi
Kebiasaan Natsir ini berhenti ketika tahun 1970-an. Saat itu Natsir sudah sakit-sakitan dan badannya mulai ringkih, sehingga ia memutuskan untuk berhenti merokok.
Berkonflik dengan Sukarno
Natsir dan Sukarno bisa dikatakan dua sahabat yang dekat, tetapi juga sering bertengkar. Keduanya memang sejak awal memiliki pandangan yang berbeda dalam mengelola sebuah negara.
Menurut Rusli Kustiaman Iskandar dalam penelitiannya, “Polemik Dasar Negara Islam antara Sukarno dan Mohammad Natsir”(2003). konflik pemikiran antara Natsir dan Sukarno sudah terjadi sejak tahun 1940-an.
Sukarno menekankan urusan negara harus dipisahkan dari agama, sedangkan Natsir menganggap urusan negara tidak bisa dipisahkan dari agama.
Keduanya memang sama-sama menempuh pendidikan di Kota Bandung. Waktu itu Sukarno masih berstatus mahasiswa Technische Hoge School atau yang lebih dikenal dengan Institut Teknologi Bandung saat ini. Sedangkan Natsir waktu itu masih belajar di Algemene Midelbare School (setingkat SMA).
Keduanya tumbuh di bawah bimbingan seorang guru agama bernama Ustadz Ahmad Hassan. Melalui didikan Ustadz Ahmad Hassan, pemikiran Sukarno dan Natsir terbentuk.
Meskipun dididik oleh guru yang sama, pemikiran mereka sangat jauh berbeda. Namun, perbedaan pemikiran itu tidak membuat keduanya goyah dalam memperjuangkan Indonesia nantinya.
Natsir dan Sukarno boleh jadi memiliki gagasan yang berbeda dalam membangun sebuah negara, namun keduanya tetap bersahabat. Terbukti ketika Sukarno dipenjara di Penjara Sukamiskin, Natsir dan beberapa rekannya rutin menjenguk Sukarno dan memberikan buku-buku bacaan kepada Sukarno.
Natsir memang figur seorang politisi yang santun dan tidak pendendam, bahkan ketika ia harus dipenjara karena dugaan keterlibatannya dengan Pemberontakan PRRI.
Mengkritisi Kebijakan Orde Baru
Selepas dari masa kurungannya, ia pun dibebaskan pada tahun 1966. Waktu itu pemerintahan sudah berganti dari Orde Lama, menjadi Orde Baru.
Sebagai seorang aktivis, Natsir tumbuh menjadi pribadi yang kritis terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Bahkan ketika masa pemerintahan Orde Baru, Natsir masih menjadi orang yang mengkritisi kebijakan yang tidak sesuai dalam pandangannya.
Beberapa kritik dari Natsir adalah seputar kecurigaan Suharto dengan partai-partai Islam dan Operasi Khusus di bawah pimpinan Suharto.
Baca Juga: Raden Mas Panji Sosrokartono, Kakak R.A Kartini yang Kuasai Banyak Bahasa
Menurut Ainul Badri dalam penelitian yang berjudul, “Pemikiran Muhammad Natsir tentang Agama dan Negara” (2020), karena sikapnya yang suka melontarkan kritikan tajam, pemerintah mencekalnya tanpa proses peradilan.
Padahal jasa Natsir terhadap Pemerintah Orde Baru tidaklah sedikit. Natsir menjadi tokoh yang berperan dalam menjalin hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia yang sempat terputus.
Selain itu, ia juga aktif dalam mengadakan hubungan baik dengan Kuwait untuk masalah penanaman modal di Indonesia.
Peran Natsir yang lainnya juga dapat dilihat dari pembangunan Rumah Sakit Islam, Islamic centre, pondok pesantren, hingga rumah yatim.
Loyalitas Natsir terhadap perjuangan Indonesia dan Islam memang bukan sekedar isapan jempol belaka. Ia adalah tokoh yang diakui tidak hanya oleh kawannya, tetapi juga oleh para lawannya. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)