Kisah Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka merupakan peristiwa bersejarah dalam dunia sastra Indonesia pada pertengahan tahun 1963.
Kedua tokoh sastra yang saling bersimpangan ini pernah ribut akibat novel Hamka berjudul ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” (1938).
Pramoedya si penulis Lekra menuduh Hamka dengan novelnya tersebut telah menjiplak karya sastrawan barat asal Prancis. Namun Ulama Muhammadiyah ini tidak menyetujui kritikan Pramoedya. Menurutnya itu merupakan fitnahan seorang PKI yang keji.
Baca Juga: Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Lekra Peraih Ramon Magsaysay Award
Bantahan ini ditanggapi Pramoedya yang kala itu masih berjaya menggawangi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi Onderbouw PKI yang khusus mewadahi seniman, sastrawan, dan seluruh budayawan di Indonesia yang beraliran kiri.
Pramoedya menyebarkan kritikan yang dianggap Hamka sebagai fitnahan itu di beberapa koran milik PKI. Antara lain menulis artikel kritik sastra di surat kabar Lentera dan Harian Bintang Timoer.
Asal Mula Keributan Pramoedya dan Buya Hamka Soal Sastra
Peristiwa ini berawal dari tuduhan Pramoedya yang menyebut karya sastra berbentuk novel milik Buya Hamka adalah hasil plagiasi dari sastrawan Prancis bernama Jean Baptiste Alphonse Karr. Judulnya Sous Les Tilleus.
Pramoedya menduga kuat kalau hasil plagiasi yang dilakukan oleh Hamka terjadi dalam saduran penyair Timur bernama Magdalena dan Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi berjudul, Di Bawah Naungan Pohon Tilla.
Maksud dari pernyataan ini Pramoedya juga ingin mengatakan jika dua tokoh sastra ketimuran ini menjiplak Jean Baptiste Alphonse Karr.
Adapun yang dipersoalkan oleh Pramoedya dalam kritiknya untuk Hamka tertuju pada novel berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang telah diterbitkan sejak tahun 1938.
Sastrawan Lekra tersebut mengaku geram dengan Hamka yang telah memplagiasi karya penulis Barat. Menurutnya hal ini dapat memicu kebiasaan menjiplak karya orang, tidak kreatif, dan penuh dengan manipulatif sastra.
Baca Juga: Sejarah Lekra, Lembaga Kebudayaan Pendulang Massa PKI
Oleh sebab itu Pramoedya kemudian menyebarluaskan kritikan sastra untuk karya Hamka ini dalam waktu berbulan-bulan. Tulisan Pram terkait ini ada di halaman pertama setiap surat kabar PKI. Dengan nada sinis Pram mengklaim Hamka sebagai sastrawan Indonesia penjiplak tulisan Barat.
Pasca G30S/PKI 1965, Pramoedya Tak Bersuara
Pasca meletusnya peristiwa G30S/PKI 1965, kritikan Pramoedya dalam koran-koran kiri mendadak hilang. Si sastrawan gagah pemberani ini tiba-tiba kalah dan menyerah tanpa perlawanan seiring penangkapannya karena aktif dalam organisasi LEKRA.
Akibatnya Pramoedya mendekam di penjara selama kurang lebih 14 tahun. Pemenjaraan Pram karena aktif dalam anggota LEKRA berakhir tanpa proses peradilan. Nampaknya pemerintah Orde Baru hanya menangkap Pram sementara dan membebaskannya begitu saja.
Mantan jurnalis pemberani zaman Jepang ini pernah menceritakan kisah-kisah sulit yang paling mengenaskan dalam penjara ketika dirinya dikirim ke Pulau Buru tahun 1973. Di sana Pram sungguh kesepian, tak ada lagi kegiatan menulis dan menyebarkan kritik dalam media massa.
Semuanya diam, aktivitas bumi mendadak bisu tak bernyali. Meskipun demikian Pramoedya yang dahaga menulis, memohon untuk dikirimkan mesin ketik dan sejumlah buku bacaan. Karena tingkahnya di penjara baik, permohonan tersebut disetujui Ketua Lapas.
Akhirnya Pramoedya menulis kembali. Tak disangka hasilnya selama menulis di Pulau Buru diterbitkan menjadi novel best seller hingga sekarang. Adapun tulisan yang diterbitkan itu sebanyak 3 buku dan terkenal dengan istilah Tetralogi Buru.
Buku ini diterjemahkan dalam beberapa bahasa di dunia. Karena keberhasilannya menulis buku yang menginspirasi dunia, Pramoedya kemudian memperoleh penghargaan dari festival sastra dunia Raymond Magsaysay Award pada tahun 1995.
Menurut Koesalah Soebagyo Toer dalam buku berjudul ”Pramoedya dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer” (2006), semua orang bangga padanya, meskipun ada beberapa yang ikut mengkritik.
Kendati Hamka saat itu pernah ribut dengan Pramoedya akibat kritikan pedas pada karyanya, pemuka agama sekaligus budayawan ini tidak membalasnya.
Baca Juga: Riwayat Hidup Buya Hamka, Profil Ulama yang Serba Bisa
Hamka justru ikut berbangga hati karena ada anak bangsa yang bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.
Pramoedya Meminta Maaf Melalui Anaknya
Menurut beberapa pendapat dalam literasi luas sejarah sastra di Indonesia, nampaknya Pramoedya pernah meminta maaf atas kejadian yang menyebabkan perseteruan hebat dengan Buya Hamka akibat sastra melalui anaknya.
Pramoedya menyuruh Astuti anak perempuannya untuk berkunjung ke rumah Buya Hamka. Tujuannya agar anak perempuan yang paling disayanginya itu bisa belajar dan paham agama Islam kepada guru yang hebat.
Apalagi Astuti dalam beberapa waktu yang dekat akan melangsungkan pernikahan dengan lelaki Tionghoa bernama Daniel Setiawan. Pramoedya tak ingin menikahkan anaknya apabila berbeda agama.
Dengan kata lain kedatangan Astuti pada Buya Hamka selain untuk belajar agama, juga untuk memasukkan Daniel Setiawan menjadi Mualaf.
Ketika mereka berdua datang pada Buya Hamka, tokoh agama sekaligus sastrawan yang paling dibanggakan Taufiq Ismail ini tidak tahu bahwa mereka keturunan Pramoedya.
Namun seiring kedatangannya yang sering Hamka kaget karena ternyata Astuti berani bilang kalau dirinya anak perempuan Pramoedya.
Buya Hamka tertegun, tak menyangka seorang Pramoedya menginginkan anak perempuannya paham dengan Islam. Bahkan ia tidak setuju apabila anaknya kawin beda agama. Hamka bangga sekali pada orang yang pernah mengkritiknya habis-habisan.
Pada akhir pertemuan Hamka dengan Astuti dan Daniel, kedua anak Pramoedya ini menyampaikan salam dan permintaan maaf atas perlakuan ayahnya dahulu. Pram menyesali perbuatan itu karena Hamka benar.
Buya Hamka hanya tersenyum sambil mengatakan “saya sudah memaafkan sedari dulu kok”. Peristiwa ini pun menjadi tanda perdamaian dua sastrawan hebat di Indonesia. Mereka kembali mencari setelah kurang lebih 30 tahun merenggang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)