Gerakan Nyi Aciah merupakan peristiwa revolusi sosial menuntut pembangunan pesantren dan perbaikan ekonomi Rakyat Sumedang pada zaman kolonial Belanda.
Namun upaya ini dipersulit oleh orang-orang Eropa yang sudah menguasai Sumedang sejak kejayaan VOC pada abad ke-15 masehi. Golongan kulit putih yang hidup di tatar Sunda ini keberatan apabila Sumedang membangun pesantren.
Apalagi tuntutan ini seiring dengan upaya memperbaiki ekonomi rakyat di Sumedang. Pemerintah kolonial khawatir apabila pribumi bisa maju dalam bidang ekonomi, kekuatan mereka akan meningkat dan menikam Belanda dari belakang.
Adapun pelopor pergerakan ini merupakan seorang wanita pemberani dari Tanah Sunda. Masyarakat Sumedang menamakan Nyi Aciah yang berarti lambang kesucian, pembawa kebenaran, dan sosok yang paling dinantikan.
Sejarah Indonesia mencatat peristiwa ini sebagai gerakan sosial yang paling ditakuti oleh Belanda. Sampai-sampai mereka menambah pasukan Marsose pada setiap perkantoran pemerintah.
Belanda khawatir gerakan Nyi Aciah menyebar luas ke berbagai daerah di Tatar Sunda. Oleh sebab itu pemerintah kolonial secara tegas menindak gerakan ini hingga pada pada tahun 1871.
Latar Belakang Gerakan Nyi Aciah
Menurut Nina Herlina Lubis dalam buku berjudul ”Sejarah Provinsi Jawa Barat: Jilid 1” (2013), latar belakang terjadinya gerakan Nyi Aciah karena pemerintah kolonial menganggap peristiwa ini sebagai upaya buruk pribumi untuk memberontak.
Konon Belanda menuduh Nyi Aciah sebagai pelopor wanita yang memiliki stigma buruk di kalangan wanita-wanita Eropa. Stigmatisasi negatif dari seorang wanita pemberani Sumedang ini disamakan dengan wanita penyihir.
Hal ini tak terlepas dari pengakuan warga setempat yang mempercayai Nyi Aciah sebagai orang sakti. Bisa menyembuhkan orang dari penyakit, mengobati kesurupan, dan mengajarkan sesuatu ilmu yang bersifat mistik.
Baca Juga: Pemberontakan Ciomas 1886, Gerakan Petani Bogor Tolak Pajak Kolonial
Namun berbeda dengan wanita Eropa yang takut pada Nyi Aciah, masyarakat pribumi justru mengharapkan kehadiran sosok wanita pemberani tersebut.
Orang-orang pribumi merasa tertolong dengan adanya Nyi Aciah, mereka percaya Nyi Aciah adalah jelmaan dari figur Ratu Adil.
Oleh sebab itu pengikut Nyi Aciah kian hari kian bertambah banyak. Hampir seluruhnya berasal dari Sumedang. Akan tetapi ada juga yang berasal dari wilayah Priangan Timur, salah satunya orang Ciamis dan Soekapura (Tasikmalaya).
Ketika pengikut Ratu Adil dari Sumedang ini bertambah banyak, Nyi Aciah menginginkan adanya revolusi dengan membangun infrastruktur religius seperti mendirikan pesantren. Tempat ini khusus untuk mendidik para pengikutnya.
Mengetahui hal ini Belanda langsung naik pitam. Mereka yang sudah mencurigai gerakan Nyi Aciah akan besar ini khawatir mengganggu kedaulatannya di Sumedang. Sejak saat itu kolonial mulai mempersiapkan skenario untuk memberhentikan gerakan ini dengan tepat.
Meletusnya Gerakan Nyi Aciah
Meletusnya gerakan Nyi Aciah terjadi dalam rentang waktu tahun 1870-1871. Meskipun terbilang singkat hanya satu tahun berkecamuk, gerakan ini dianggap sukses membangun infrastruktur religius pesantren dan kemajuan ekonomi rakyat di Sumedang.
Pesantren Nyi Aciah mendapat murid yang banyak. Salah satu murid yang paling berbakti sekaligus menjadi “tangan kanan” Nyi Aciah dalam menyebarkan gerakan ini bernama Mohammad Hasan.
Karena keteguhannya belajar pada Nyi Aciah, Mohammad Hasan mendirikan pesantren yang sama di daerah Bagellen. Pengikutnya pun banyak, Mohammad Hasan dipercaya sebagai orang sakti layaknya sang Guru, Nyi Aciah.
Mohammad Hasan kemudian menjanjikan santri-santrinya kebahagiaan mutlak. Bersama Nyi Aciah, Ia mengumumkan kepada para santri akan mendirikan kerajaan baru bernama Tegal Luar. Rakyat seluruh Bagellen dan Sumedang wajib mendukungnya.
Akhirnya seluruh masyarakat di sana mendukung cita-cita ini dengan menjadi pedagang. Hasil dagangannya diberikan pada proyek pembangunan kerajaan, oleh sebab itu selain sukses mendirikan pesantren, gerakan Nyi Aciah juga berhasil memperbaiki ekonomi rakyat Sumedang.
Baca Juga: Sejarah Perang Kedondong, Rakyat Cirebon Menggempur Belanda
Berakhirnya Gerakan Nyi Aciah
Awalnya pemerintah kolonial biasa-biasa saja, mereka tidak menghiraukan gerakan Nyi Aciah.
Belanda mulai khawatir ketika Nyi Aciah mendirikan pesantren di Sumedang dan Bagellen. Namun seiring pengikutnya yang semakin banyak pemerintah kolonial takut mereka mendominasinya.
Akhirnya pemerintah kolonial bermaksud memberhentikan gerakan Nyi Aciah dengan cara yang halus. Mereka mencari-cari kesalahan Nyi Aciah, salah satunya dengan menuduh berbagai fitnahan yang keji pada kelompok ini.
Namun upaya tersebut masih gagal. Masyarakat Sumedang-Bagellen masih mempercayai gerakan Nyi Aciah yang suci. Mereka yakin Nyi Aciah adalah orang sakti yang turun ke bumi untuk menjadi Ratu Adil dan malaikat penolong yang baik.
Hingga pada akhirnya gerakan ini terpaksa diberhentikan dengan cara kekerasan. Seluruh pengikutnya ditangkap dan diasingkan. Sedangkan Nyi Aciah sendiri sejak bulan Mei 1871 berhasil dipenjara di tempat yang rahasia.
Peristiwa pemberontakan Nyi Aciah pun mereda. Secara berangsur-angsur masyarakat Sumedang kembali menjadi pribumi yang tertindas, tidak ada keberanian, apalagi nekat melakukan perlawanan. Mereka lemah dan diperdaya Belanda kembali. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)