Pada abad 19 terdapat sejarah Indonesia yang nyaris tak tersimpan dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia tentang kehidupan bangsawan di Madura yang mempunyai kebiasaan hidup glamor, bermewah-mewahan, senang pesta-pora dan gemar poligami alias “nyelir”.
Mereka pernah menjadi golongan aristokrat pemegang stratifikasi sosial tertinggi dalam masyarakat Madura.
Konon mereka mendapatkan kedudukan tersebut berkat mendapatkan keistimewaan karena orang terdekat dengan panembahan (trah penguasa kerajaan di Madura). Padahal tidak ada sama sekali keturunan darah dan relasi kekeluargaan karena perkawinan.
Biasanya para bangsawan ini hanya menumpang nama sebagai kolega panembahan. Buktinya nampak pada status sosial mereka yang hidup dengan segala kelebihannya.
Baca Juga: Sejarah Bercocok Tanam Unik Masyarakat Madura Tahun 1900-an
Jumlah tanah yang tak terhitung dan luas rumah dengan besaran di atas rata-rata rumah-rumah orang pribumi pada umumnya. Karena kekayaan dan kewibawaan seorang bangsawan, mereka terkenal sebagai golongan elit yang menyukai perjamuan acara mewah di istana Bangkalan dan “bermain perempuan”.
Mendengar stigma “miring” dari masyarakat tentang kedekatan raja dengan golongan elit di Madura membuat seluruh isi istana murka. Hingga pada tahun 1833 seorang Belanda yang menghadiri perjamuan di istana Bangkalan melihat cekcok elit Madura dengan penjaga istana karena raja Bangkalan tak menghendaki mereka hadir di acara tersebut.
Hal ini terjadi secara sengaja, sultan Madura tak ingin para elit itu datang di pestanya. Sebab ternyata ajang seperti inilah yang membuat mereka menjadi “besar kepala” dan menciptakan stigma buruk bagi istana Bangkalan.
Kehidupan Bangsawan Elit Madura Abad 19
Menurut Kuntowijoyo dalam buku berjudul, “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura tahun (1850-1940)” (Yk: Penerbit Mata Bangsa, 2002), sepeninggal Panembahan Bangkalan pada tahun 1862, kebiasaan buruk yang sempat terhenti itu kemudian beroperasi kembali.
Ya, karena tidak ada pengawasan ketat seperti sebelumnya, para elit bangsawan Madura kembali bermain api dengan hobi pesta-pora dan berpoligami.
Tak sedikit bangsawan Madura yang punya istri lebih dari dua. Mereka meniru raja dengan menghargai anak dari istri pertama adalah penerima warisan telak sepeninggal dirinya mangkat menghadap illahi.
Baca Juga: Profil Soegijapranata, Uskup Agung Pertama dari Pribumi
Sedang selir dan anak-anaknya tidak mendapatkan apa-apa kecuali kenikmatan bersama-sama sebagai suami, istri, dan anak selagi ia masih hidup di dunia.
Artinya seluruh harta kekayaan suami dari golongan bangsawan yang nyelir sepenuhnya milik bersama. Terkecuali si elit lokal Madura ini sudah tiada, seluruh harta kekayaannya turun pada keluarga istri pertama.
Seperti dalam lingkup kerajaan, hanya permaisuri yang melahirkan Putra Mahkota untuk meneruskan regenerasi kepemimpinan kerajaan kelak setelah sang ayah wafat.
Sepeninggal raja Bangkalan Madura menciptakan status sosial baru hasil dari perkawinan trah istana Bangkalan dengan elit bangsawan lokal Madura bernama Sentana.
Sejak saat itu tradisi menikah dengan keturunan raja menjadi wajib bagi golongan Sentana (darah biru). Bahkan sampai ada undang-undang yang mengatur ketetapan usia nikah keluarga Sentana yaitu, untuk laki-laki minimal sudah 20 tahun dan untuk umur perempuan minimal sudah lebih dari 15 tahun.
Akibatnya kedudukan Putra Mahkota, istana Bangkalan tak menentu. Sebab perkawinan keluarga raja dengan bangsawan melahirkan Sentana dan menciptakan gelar baru yaitu “Raden”.
Sebagian pengamat sejarah menyebut ini sebagai awal dari kekacauan pakem dan tradisi kerajaan Madura yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kehancuran.
Krisis Regenerasi Penerus Kerajaan
Setelah terbentuknya status sosial baru bernama Sentara, kerajaan Madura krisis regenerasi trah kerajaan. Misalnya Pangeran Sosro Adiningrat yang kecewa ketika ia tidak bisa menjadi penerus ayahnya akibat terhalang anak-anak Sentana yang jauh lebih kuat. Anak-anak Sentana ini memiliki finansial dan kekuasaan yang lebih kuat daripada Putra Mahkota.
Belanda nampaknya mengatur ini dengan penuh pertimbangan. Penjajah nomor wahid dari Barat tersebut sengaja memecah belah keturunan raja dan membentuk status sosial baru di kerajaan Bangkalan.
Baca Juga: Sejarah Bambu Runcing, Senjata Kiai yang Beracun dan Mematikan
Tujuannya untuk menciptakan perang saudara. Selain itu, Belanda lebih berpihak pada orang yang lebih menguntungkan. Jika kita lihat lebih jauh, golongan Sentana begitu menguntungkan Belanda ketimbang Putra Mahkota.
Sebab mereka punya power dua kali lebih besar dari Putra Mahkota. Dari sini kita bisa melihat betapa berpengaruhnya Belanda terhadap pengangkatan seorang Raja Madura.
Kendati sudah mengingkari aturan-aturan tradisional kerajaan, bahkan Negeri Kincir Angin tersebut acapkali menaruh raja dari golongan Sentana yang lemah dan tidak punya pengetahuan sekaligus pengalaman hidup di lingkungan Istana Bangkalan.
Golongan Sentana Menguasai Penuh Kerajaan Madura
Bangsawan yang dahulu gemar pesta-pora dan berpoligami ini menjadi trah keluarga istimewa di Madura. Sejak Belanda memberikan perhatian lebih terhadap golongan Sentana, golongan tersebut menjadi penguasa penuh kerajaan Madura.
Eksistensi mereka mampu menggeser trah asli keluarga Raja Madura yang sesungguhnya. Bahkan hingga akhir abad 19, bangsawan elit Madura ini masih berkuasa dan terus mendapatkan dukungan dari Belanda dan aliansi aristokrat Jawa Timur (Surabaya).
Untuk mengawasi perebutan kembali kerajaan Madura dari trah asli keturunan istana Bangkalan sebelum lahirnya Sentana, Belanda mengawasi setiap keluarga raja Madura yang akan menjalani proses pernikahan.
Pemerintah kolonial akan mempersulit proses pernikahan keluarga Raja Madura apabila menikah bukan dari golongan non-Sentana. Tetapi sebaliknya mereka akan cepat mengurus administrasi pernikahan keluarga raja Madura apabila kedua mempelai berasal dari golongan Sentana.
Semua ini terjadi untuk memobilisasi keluarga kerajaan Madura. Belanda tidak ingin Madura jatuh kembali ke tangan trah Panembahan Cakraningrat alias Panembahan Bangkalan yang meninggal pada tahun 1862.
Konon Belanda khawatir apabila trah mereka kembali menguasai Madura maka pemerintah kolonial akan sulit mengurus segala bentuk “politik kotor” mengurusi administrasi Sumber Daya Manusia Belanda dari golongan masyarakat Madura. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)