Sebutan Sultan Sugih sering terdengar dalam ungkapan buku sejarah Indonesia untuk menyebut dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Mengapa Ia dipanggil dengan julukan Sultan Sugih?
Beberapa referensi sejarah Yogyakarta mengatakan, penyebutan Sultan Sugih yang diterima oleh Hamengkubuwono VII adalah simbol gelar dari masyarakat Yogyakarta karena beliau dianggap sebagai pemimpin yang paling kaya.
Kekayaan Sultan Sugih tercermin dari beberapa pembangunan dalam sektor industrialisasi pabrik-pabrik gula di Yogyakarta. Adapun salah satu peninggalannya saat ini adalah pembangunan pabrik gula Madukismo di daerah Bantul Selatan.
Selain terlihat Sugih (kaya) di mata rakyatnya, Sultan yang lahir dari Permaisuri cantik keturunan tahta Surakarta ini juga terkenang sebagai sosok orang tua yang baik. Di masa tuanya mendiang HB VII sering memberikan hadiah-hadiah tak terduga untuk cucu-cucunya.
Sejarah hidup Sultan Sugih menarik untuk kita ungkap. Bagaimana kisah hidup raja kaya raya ini? Berikut ulasan selengkapnya.
Profil Sultan Sugih: Hamengkubuwono VII, Putra Mahkota yang Cerdas
Sri Sultan Hamengkubuwono VII memiliki nama kecil GRM. Murtejo. Ia lahir dari pasangan Hamengkubuwono VI dengan permaisuri pertamanya yang merupakan keturunan Pakubuwono VIII Surakarta pada tanggal 4 Februari 1839.
Sejak kecil Hamengkubuwono VII bergelar Sultan Sugih ini dikenal sebagai anak yang cerdas. Ke mana-mana mengikuti sang ayah. Sesekali beliau pernah menemani ayahnya dan terlarut dalam masalah diplomasi politik kesultanan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Karena sering mengikuti safari politik ayahnya dengan pejabat kolonial, Sultan Sugih tumbuh remaja menjadi pemuda yang kritis terhadap kekuasaan kolonial. Ia bercita-cita melindungi Mataram dari kelicikan Belanda yang kerap meminta upeti (pajak) tinggi pada kerajaan.
Baca Juga: Peristiwa Cimareme 1919, Pembantaian Petani Garut Zaman Belanda
Oleh sebab itu ketika Sultan Sugih dewasa Ia mempelajari strategi menghadapi praktik kerjasama antara kesultanan dengan pemerintah kolonial.
Akibatnya ketika Sri Sultan Hamengkubuwono VI (ayahanda Sultan Sugih) mangkat. Sultan Hamengkubuwono VII menggantikannya sejak tanggal 13 Agustus 1877. Kesultanan Yogyakarta pun berkembang menjadi pusat industrialisasi yang hebat di Jawa.
Pemerhati Industrialisasi di Yogyakarta
Menurut Delya Ratna Sari dalam Skripsi Departemen Sejarah UGM berjudul ”Kebijakan dan Praktik Sewa Tanah untuk Industri Gula di Yogyakarta Masa Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921)” (2019), ketika Sultan Sugih menjabat jadi pemimpin Mataram, sektor industrialisasi di sana berjalan dengan pesat.
Di bawah masa kepemimpinannya industrialisasi meningkat tercermin dari berdirinya tujuh belas pabrik gula di Yogyakarta. Menurut Sultan Sugih, pabrik-pabrik tersebut mampu menolong ekonomi Kraton agar tidak inflasi akibat penarikan pajak Belanda.
Dengan mengizinkan sektor industrialisasi tumbuh besar-besaran di Yogyakarta, secara tidak langsung Sultan Sugih justru menekan Belanda agar memberikan pajak pada penguasa tanah yaitu Kesultanan.
Artinya cita-cita Sultan Sugih kecil untuk memanfaatkan Belanda secara terbalik sukses. Karena industrialisasi inilah beliau menjadi terkenal sebagai pemimpin terkaya di Yogyakarta dan mendapat sebutan “Sultan Sugih”.
Keuntungan besar yang menjadikan Sultan Hamengkubuwono VII “Sugih” berasal dari uang hasil sewa tanah untuk mendirikan pabrik gula.
Mereka terdiri dari pengusaha Swasta Eropa, dan pemerintah kolonial Belanda sendiri. Dua golongan konsumen tanah di Yogyakarta ini membayar pajak pada Sultan Sugih sebesar 200.000 Florin.
Uang tersebut masuk kas kerajaan dan disisihkan untuk membangun kota Yogyakarta menjadi wilayah kekuasaan Mataram yang melegenda.
Baca Juga: Sejarah Rijsttafel, Kuliner Hasil Asimilasi Eropa dan Pribumi
Sebagian penghasilan juga disumbangkan pada rakyat miskin yang membutuhkan. Oleh sebab itu Sultan Sugih sangat dicintai oleh rakyatnya.
Simbol Masa Transisi Menuju Zaman Modern
Sebagian rakyat Mataram mempercayai kepemimpinan Sultan Sugih merupakan simbol masa transisi Yogyakarta menuju zaman modern.
Sebab pada saat Sultan Sugih menjabat jadi pemimpin Mataram, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) tumbuh dengan pesat di kalangan sosial orang Eropa, dan Ningrat Kerajaan.
Salah satu bukti kemajuan zaman ke arah modern yang terjadi di Yogyakarta pada masa Sultan Sugih tercermin dari pembentukan infrastruktur. Seperti membangun jalan kereta api, lori-lori kereta untuk pabrik gula, dan pembangunan sumber daya manusia melalui lembaga-lembaga pendidikan formal Eropa.
Baca Juga: Ratu Kalinyamat, Bupati Jepara Pertama yang Melawan Portugis
Meskipun hampir semua infrastruktur itu belum bisa dinikmati secara merata, setidaknya masa transisi menuju jaman maju (modern) sudah dirasakan kuat oleh rakyat pribumi.
Sultan Sugih yang mencintai rakyatnya berusaha untuk menciptakan kesejajaran, terutama dalam memperoleh pendidikan pribumi yang layak di tengah perbedaan golongan diskriminatif.
Namun Sultan Sugih juga menyadari bahwa usaha di atas tidak akan berjalan mulus apabila tidak ada sosok pembawa perubahan yang berasal dari kaum pribumi.
Maka dari itu, Sultan Sugih yang mendapat hak istimewa dari pemerintah kolonial menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Eropa. Bahkan di antaranya ada yang melanjutkan studi hingga ke negeri kincir angin Belanda. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)