Sentiong merupakan istilah untuk menyebut nama kuburan dalam budaya Tionghoa. Penyebutan Sentiong mengacu pada sejarah tradisi umat Konghucu Tionghoa di Indonesia yang sudah ada sejak abad ke-5 Masehi, tepatnya pada tahun 414 M.
Saat ini keberadaan Sentiong (kuburan Tionghoa) bisa kita jumpai di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi biasanya Sentiong terkenal di pusat kota yang dahulunya merupakan kota pelabuhan seperti Jakarta.
Meskipun Sentiong terkenal sebagai tradisi kuno pemakaman Tionghoa di Indonesia, tetapi sebetulnya Sentiong merupakan tradisi pemakaman yang baru ada sejak kemunculan agama Konghucu.
Sebelum pengaruh agama Konghucu dalam kepercayaan orang Tionghoa pemakaman keluarga tidak dengan cara penguburan jasad. Akan tetapi tradisi kematian ini dengan cara membuang jasad di hutan belantara.
Baca Juga: Jejak Budaya Tionghoa di Indonesia, Punya Bioskop dan Klenteng Mewah
Orang Tionghoa sebelum pengaruh agama Konghucu percaya tradisi menggeletakkan jasad anggota keluarganya di hutan belantara akan mendatangkan kebahagiaan bagi mendiang saat berada di alam baka.
Namun karena banyaknya orang Tionghoa yang melakukan hal ini sembarangan, jasad yang membusuk kemudian mengakibatkan kemunculan penyakit. Alam sekitar pun terkontaminasi dan membuat banyak korban yang meninggal dunia.
Ketika agama Konghucu ini muncul pada tahun 2952 SM, tradisi kuno pemakaman Tionghoa ini dilarang. Para pemuka agama Konghucu mewajibkan umatnya untuk menguburkan jasad secara layak.
Untuk mendukung penguburan yang layak ini agama Khonghucu membuat serangkaian aturan upacara kematian. Salah satunya mengantarkan jasad ke alam baka dengan doa, dan membangun nisan (Sentiong) dengan megah.
Sejarah Sentiong dan Keluarga Bangsawan Tionghoa di Nusantara
Sudemi dalam tesis berjudul ”Jejak Warisan Sejarah Agama Konghucu pada Masyarakat Cina Benteng di Tangerang” (Prodi Agama-agama: UIN Jakarta, 2019), menyebutkan keluarga bangsawan Tionghoa yang hanya bisa melaksanakan tradisi penguburan jasad dan upacara kematian Sentiong.
Sedangkan masyarakat biasa masih ada yang meletakkan jasad anggota keluarga yang meninggal di hutan belantara. Kendati demikian jumlahnya sedikit, sebab banyak masyarakat biasa yang menguburkan jasad tanpa mengadakan upacara.
Namun seiring dengan berjalannya waktu hampir sebagian besar masyarakat Tionghoa memeluk agama Konghucu. Mereka kemudian melakukan tradisi pemakaman Sentiong dengan serangkaian upacara yang sederhana.
Tuntutan pemakaman yang layak muncul dari kewajiban sebagai pemeluk agama Konghucu. Sebab aliran kepercayaan ini mengajarkan pemakaman orang tua harus sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan (layak).
Baca Juga: Sejarah Pengakuan Tionghoa di Indonesia, Bermula dari BPKI
Jangan sampai pemakaman anggota keluarga dengan cara kuno. Kala itu, keluarga meletakkan jenazah begitu saja di hutan belantara dan didiamkan ketika jasadnya digerogoti oleh hewan buas seperti rubah dan kucing hutan.
Menurut ajaran Konghucu ini merupakan larangan. Sebab selayaknya orang yang hidup, jasad tak bernyawa pun masih ingin terlindungi dari perbuatan yang buas, dan barbar.
Oleh sebab itu ajaran Konghucu mewajibkan seluruh umatnya yang berasal dari etnis Tionghoa untuk menguburkan jasad dengan cara yang lebih baik lagi.
Bahkan ajaran ini juga memberikan pendapat untuk menguburkan suami-istri dalam satu liang lahat bersamaan.
Apabila keluarga melaksanakan kepercayaan Konghucu tradisi tersebut maka bisa membuat mendiang menemukan Nirwana dengan jalan yang cepat dan terang.
Selain menguburkan suami-istri satu liang lahat, kepercayaan membangun nisan yang luas juga bisa menandakan jasad mendiang merupakan etnis Tionghoa yang berasal dari keluarga leluhur yang sukses.
Membangun Sentiong di Dataran Tinggi Pegunungan
Selain bisa kita temukan di kota-kota Pelabuhan seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, Sentiong juga bisa kita lihat di dataran tinggi daerah pegunungan.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip pendapat Alvia Fatnaniatus dalam penelitian skripsi berjudul”Tata Letak dan Bentuk Pemakaman Masyarakat Etnis Tionghoa Menurut Fengshui di Kawasan Sentong Raya Wonorejo-Lawang” (Skripsi: Universitas Brawijaya, 2019).
Dalam penelitian ini Alvia mengatakan salah satu Sentiong yang berada di dataran tinggi pegunungan terletak di desa Wonorejo-Lawang, Malang, Jawa Timur. Di sana kompleks Sentiong banyak berdiri di dataran tinggi Gunung Arjuna.
Menurut kepercayaan Fengshui berdirinya komplek pemakaman Tionghoa di dataran tinggi bermaksud untuk memberikan nuansa ketenangan bagi mendiang yang bersemayam di sana.
Mereka percaya apabila jasad dikubur di tempat tinggi maka kehidupan di alam baka akan tentram dan bahagia.
Dalam catatan sejarah, Sentiong dibangun di dataran tinggi dipercaya memberikan ketentraman dan kebahagian bagi mendiang di alam kubur. Sementara menurut Fengshui, pembangunan Sentiong di dataran tinggi akan menambah aura positif pagi keluarga yang sedang berziarah.
Namun pada hakikatnya, mengapa pembangunan Sentiong di daerah dataran tinggi karena kontur tanah pegunungan memberikan kesan yang sejuk, nyaman, dan suci.
Mengunjungi Sentiong pada Hari Besar Tionghoa
Dalam perjalanan waktu, etnis Tionghoa biasa mengunjungi Sentiong para leluhurnya pada hari-hari besar Konghucu. Seperti Imlek, Ching Ming-Cheng Beng, dan Xiezao atau sebelum menyelenggarakan Festival Masakan Arwah.
Akan tetapi seringnya mengunjungi Sentiong pada hari Ching Ming-Cheng Beng. Sebab hari itu merupakan waktu bagi orang-orang Konghucu biasa membersihkan makam para leluhurnya setiap tahun sekali.
Baca Juga: Sejarah Peh Cun, Budaya Tionghoa yang Mengakar Kuat di Indonesia
Mereka biasa membersihkan kuburan nenek-kakek, ayah, ibu, dan keluarga lainnya dari akar rumput yang merambat di sekitar nisan.
Terkadang satu keluarga Tionghoa melakukan cat ulang nisan yang besar ini supaya terlihat lebih segar kembali. Masyarakat Tionghoa menyebut kegiatan tersebut dengan istilah Bongpay.
Dari kegiatan ini kadang ada satu keluarga yang merencanakan hari kematiannya agar dikubur di tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Misalnya berpesan untuk dikubur bersama dengan suami yang sudah lama meninggalkan hidupnya.
Persiapan kematian ini dinamakan Sean-Kong. Atau sebuah keinginan di masa depan yang berkaitan dengan hari kematian.
Seluruh budaya dari ajaran Khonghucu ini sudah mendarah daging bagi etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk sejarah sentiong dan tradiri pemakamannya.
Artinya generasi penerus jangan sampai kehilangan tradisi leluhur mereka. Sebab meskipun tradisi mereka berbeda dengan yang lain, namun karena budaya itu, Indonesia menjadi negara yang menjunjung tinggi toleransi kebangsaan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)