Sejarah tarian tradisional Ronggeng Gunung berasal dari Pangandaran. Menurut sejarah masyarakat di pesisir pantai Selatan, tarian Ronggeng Gunung banyak menyimpan kisah yang magis dan masih kental dengan unsur misteri yang tak masuk akal.
Sedangkan sebagian pendapat mengatakan seni tradisional Ronggeng Gunung menyimpan kisah misteri yang kental akibat rahasia leluhur yang belum banyak terungkap hingga saat ini.
Salah satunya adalah sejarah pertempuran Sawung Galing dengan Kalasamudera di daerah Bagolo. Peperangan ini menewaskan seluruh pasukan Kalasamudera (perompak) yang kala itu merebut kekuasaan Pananjung dari tangan Raden Anggalarang.
Baca Juga: Sejarah Ronggeng Gunung Pangandaran, Berasal dari Tarian Lengger?
Adapun penyebab peperangan ini karena penyamaran istri Raden Anggalarang yaitu, Dewi Siti Samboja sebagai penari ronggeng. Ia bersama Sawung Galing sudah mengatur strategi untuk memerangi perompak dengan menggunakan ronggeng.
Oleh sebab itu salah satu pola misteri yang paling magis dari Ronggeng Gunung adalah latar belakang sejarahnya yang terbentuk dari energi penuh dendam.
Hingga saat ini peristiwa kelam tentang Ronggeng Gunung terus mengarah pada kisah yang magis. Padahal menurut beberapa catatan sejarah lokal di Indonesia, pola penyamaran sebagai penari untuk menaklukan musuh, merupakan strategi politik yang cukup populer pada zaman kerajaan.
Artinya peristiwa sejarah yang membentuk kisah Ronggeng Gunung ini terlihat magis dan tidak ilmiah akibat cerita rakyat yang kerap membentuk mitologi secara berlebihan.
Lantas bagaimana sejarah yang sebenarnya terjadi dari peristiwa Ronggeng Gunung di Pangandaran? Berikut ulasan lengkapnya.
Sejarah Kelahiran Ronggeng Gunung Abad XVI
Menurut buku yang ditulis oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Ciamis berjudul, ”Pangandaran dan Ronggeng Gunung” (1998), sejarah Ronggeng Gunung lahir pada abad XVI.
Kelahiran tarian tradisional dari daerah Pangandaran ini tepat saat Kerajaan Pananjung diambang kehancuran. Sebab munculnya Ronggeng Gunung itu sendiri sebagai strategi balas dendam keluarga kerajaan Pananjung terhadap musuh yang menghancurkannya.
Kala itu Kerajaan Pananjung dipimpin oleh anak dari salah seorang Raja Galuh yakni Prabu Haur Kuning bernama, Raden Anggalarang. Dalam perjalanan pemerintahan Pananjung, Prabu Haur Kuning juga dibantu oleh istrinya bernama Dewi Siti Samboja.
Meskipun dilatarbelakangi oleh tahta Galuh, Kerajaan Pananjung yang dikelola bersama oleh Raden Anggalarang dengan sang istri berumur pendek. Kerajaan mereka hancur akibat serangan para perompak (bajak laut) dari arah lautan Nusakambangan, Cilacap.
Raden Anggalarang memaksakan diri bertempur melawan komplotan bajak laut, namun usahanya sia-sia. Pemimpin perompak bernama Kalasamudera berhasil membunuh Anggalarang dengan cara yang mengenaskan.
Kalasamudera pun mampu menguasai tahta Pananjung dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun Ia puas dengan keberhasilan merebut Pananjung dengan cepat, tetapi pemimpin bajak laut ini merasa gagal memperistri Dewi Siti Samboja.
Istri Raden Anggalarang ini rupanya berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan musuh. Dalam pelariannya itu Dewi Siti Samboja sembari mengatur strategi untuk membalaskan dendam suaminya.
Baca Juga: Sejarah Sentiong dan Tradisi Pemakaman Tionghoa di Indonesia
Strategi Dewi Samboja untuk membalaskan dendam Raden Anggalarang pada Kalasamudera yaitu dengan cara menyamar menjadi penari Ronggeng Gunung.
Dari peristiwa ini sejarah Ronggeng Gunung terbentuk. Hingga saat ini sejarah tarian khas Pangandaran dipercaya sebagai kesenian yang penuh dengan hal magis, sebab seluruh praktik Ronggeng Gunung merepresentasikan seseorang yang penuh dendam.
Menyamar Menjadi Penari Ronggeng Gunung
Ketika Prabu Haur Kuning mendengar anaknya (Raden Anggalarang) terbunuh, maka Raja Agung dari kerajaan Galuh ini mengutus prajurit handalnya bernama Sawung Galing untuk memberantas seluruh perompak yang kini menguasai tahta Pananjung.
Selain itu Prabu Haur Kuning juga memerintahkan Sawung Galing untuk mencari istri Anggalarang yang kala itu berhasil meloloskan diri.
Di tengah pencarian Dewi Siti Samboja, akhirnya Sawung Galing berhasil menemukan mantan istri Anggalarang itu di sebuah gunung di daerah Tunggilis.
Setelah lama berbincang dan berhubungan layaknya prajurit dan permaisuri raja, mereka pun saling jatuh cinta. Tak lama kemudian Sawung Galing mempersunting Siti Samboja dan berjanji untuk membalaskan dendam Anggalarang bersama-sama.
Karena Dewi Samboja sudah lebih awal mempunyai strategi menghancurkan Kalasamudera dengan Ronggeng Gunung, maka Sawung Galing pun mengikuti rencananya itu dengan menyamar menjadi nayagan.
Selain menjadi rombongan Ronggeng Gunung, mereka juga menyamar sebagai petani dan bercocok tanam bersama dengan masyarakat di daerah Bagolo.
Penyamaran ini bermaksud untuk mengetahui medan perang yang cocok untuk menghabisi pasukan Kalasamudera. Sebab dengan menjadi petani, Sawung Galing dan Dewi Samboja beserta pasukannya bisa menentukan titik perang yang tepat.
Pentas Ronggeng Gunung
Titik perang pun sudah ditentukan, waktu malam tiba rombongan Sawung Galing dengan Ronggeng Gunung Siti Samboja berpentas pada malam hari. Orang Bagolo menyebutnya dengan istilah Mamarung.
Ketika mereka sedang mementaskan Ronggeng Gunung tiba-tiba pasukan Kalasamudera datang. Tanpa tedeng aling-aling para perompak ini menghancurkan pertunjukan.
Ternyata Kalasamudera sudah tahu jika pertunjukan Ronggeng Gunung di Bagolo ini merupakan rombongan Siti Samboja. Akhirnya Sawung Galing menyerang balik perompak ini.
Baca Juga: Sejarah Tambang Timah dan Orang-Orang Tionghoa di Pulau Bangka
Karena Samboja dan Sawung Galing sudah mempersiapkan strategi sebelumnya, mereka pun berhasil menghabisi pasukan Kalasamudera. Komplotan para bajak laut ini mundur sementara Kalasamudera sendiri tewas ditikam Dewi Samboja.
Balas dendam Dewi Siti Samboja istri Raden Anggalarang terbalaskan di daerah Bagolo. Nama Bagolo itu sendiri merupakan bukti pertumpahan darah yang pernah terjadi, sebab nama ini berasal dari istilah Sunda Kuno: Begalan Pati (perebutan nyawa: perang).
Mempercayai Bagolo sebagai Pusat Ilmu Kekebalan
Karena peristiwa di atas terjadi di Bagolo, akhirnya daerah ini dipercaya oleh sebagian leluhur di Pangandaran sebagai pusatnya ilmu kekebalan.
Kendati pun sudah tersebar ke sebagian masyarakat Pangandaran, pernyataan ini masih perlu kajian ulang terkait kebenarannya. Sebab jika ini benar terjadi, penting sekali untuk mengetahui kultur sosial penyebab masyarakat Bagolo yang “bersumbu pendek”.
Masyarakat di sana percaya bahwa daerah mereka bisa menjadi pusat berlatihnya ilmu kebal karena energi magis yang terbentuk oleh dendam Dewi Siti Samboja.
Selain dendam ada juga yang percaya karena di daerah ini dulu penuh dengan korban perompak. Akibatnya trauma peperangan membekas ke beberapa generasi sehingga mereka berlatih ilmu kebal untuk menjaga diri dari serangan yang mungkin terjadi lagi.
Hingga tahun 2000-an, banyak masyarakat luar Pangandaran yang mendatangi daerah Bagolo. Mereka percaya daerah ini bisa menghasilkan wangsit bagi yang sedang berlatih bela diri. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)