Sejarah Batik Pagi Sore merupakan representasi peristiwa di masa lampau yang berkaitan dengan budaya ekonomis orang Pekalongan pada zaman Jepang.
Budaya ekonomis (Gerakan Penghematan) terjadi akibat dampak dari Perang Dunia II yang terjadi di sepanjang tahun 1942-1945.
Masyarakat Pekalongan menyiasati kesulitan ekonomi untuk membeli baju dengan menggunakan Batik Pagi Sore.
Batik ini terdiri dari dua motif, masing-masing motif akan dipakai penggunanya pada siang dan sore. Mereka tidak mengganti baju karena tidak punya lagi pakaian.
Baca Juga: Peristiwa Kebon Rojo, Pertempuran Kemerdekaan di Pekalongan
Kesulitan mendapatkan pakaian ini akibat pemerintahan represif pendudukan Jepang di Pekalongan.
Menariknya meskipun masyarakat Pekalongan terkena dampak kesulitan ekonomi, akan tetapi mereka masih bisa survive terutama mempertahankan kehidupan budaya adiluhungnya yakni tetap menggunakan pakaian batik setiap hari.
Apakah benar batik jenis ini tercipta akibat pendudukan Jepang?
Sejarah Batik Pagi Sore di Pekalongan yang Kreatif
Menurut berbagai sumber, sejarah Batik Pagi Sore di Pekalongan sudah ada jauh sebelum kedatangan pendudukan Jepang tahun 1942.
Masyarakat Pekalongan dan Jawa Tengah pada umumnya sudah mengenal Batik Pagi Sore sejak tahun 1930. Hal ini terjadi karena motif batik Pagi Sore merupakan inovasi baru. Kala itu, batik ini cukup populer di masyarakat Jawa Tengah, khususnya para pembatik.
Namun kepopuleran batik Pagi Sore pada tahun 1930 tidak sepopuler batik ini pada zaman Jepang.
Mungkin karena pada zaman dulu membeli batik masih menjadi barang yang belum begitu penting. Sementara zaman Jepang Batik Pagi Sore merupakan salah satu kebutuhan wajib.
Sebab kalau tidak ada batik Pagi Sore, masyarakat di Pekalongan terpaksa meniru orang lain pada umumnya. Yaitu, memanfaatkan karung goni sebagai bahan tekstil untuk membuat pakaian sehari-hari.
Dengan adanya kreativitas pembatik Pagi Sore, kemaslahatan masyarakat Pekalongan sehari-hari masih aman dan tercukupi. Meskipun pada saat itu hampir seluruh pribumi di pulau Jawa mengalami kesulitan ekonomi akibat pendudukan Jepang yang eksploitatif.
Masyarakat Pekalongan Menyebutnya Batik Djawa Hokokai
Menurut Latifa Yulia dalam Skripsi berjudul ”Kajian Motif Batik Pagi-Sore Pekalongan” (Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS, 2013), pada zaman Jepang nama Batik Pagi Sore ini dikenal masyarakat Pekalongan dengan sebutan Batik Djawa Hokokai.
Penyebutan nama ini merujuk pada konsumen batik yang berasal dari anggota organisasi kepemudaan zaman Jepang yakni, Djawa Hokokai.
Namun pendapat lain mengungkapkan nama ini disematkan karena mencerminkan jenis batik yang berkharisma, dan mampu menolong kesulitan masyarakat tatkala pendudukan Jepang berlangsung.
Latifa Yulia juga mengungkapkan kebiasaan pembatik memasangkan warna hitam dan pastel pada batik jenis ini. Warna hitam biasa digunakan untuk batik pagi hari dan pastel digunakan untuk pemakaian batik di sore hari.
Baca Juga: Sejarah Kecelakaan Pertama di Pekalongan, Satu Keluarga Tewas
Menurut penelitiannya, hal ini terjadi karena dua jenis warna ini bisa membuat si penggunanya nyaman. Artinya batik Djawa Hokokai ini akan memberi kesan sejuk saat pagi hingga sore, dan hangat saat orang memakainya pada sore hingga tengah malam.
Menjaga Identitas Budaya, Meskipun Jepang Membatasi Ekonomi Mereka
Fenomena lahirnya Batik Djawa Hokokai (Batik Pagi Sore) menandakan adanya sifat-sifat mulia orang Pekalongan seperti, menjaga identitas budaya di tengah jeratan ekonomi yang dilakukan penjajah.
Mereka tidak mundur dan kalah, orang Pekalongan dengan Batik Pagi Sore-nya ini justru melawan kesulitan ekonomi di daerahnya menjadi situasi yang biasa terjadi.
Masyarakat Pekalongan masih memegang teguh nilai tradisi dan adat leluhur orang Jawa Islami. Maka dari itu ajaran-ajaran optimisme dalam kehidupannya cukup kuat dan terealisasi dengan berbagai cara yang kreatif.
Buktinya, di tengah gempuran Perang Dunia II (1942-1945), orang Pekalongan masih mempertahankan identitas budaya mereka dengan membuat batik Pagi Sore.
Sayangnya tidak banyak masyarakat di pulau Jawa yang meniru siasat mempertahankan kehidupan yang masih menjunjung tinggi adiluhung budaya Jawa di tengah kesulitan ekonomi zaman penjajahan tersebut.
Tak ada satupun yang meniru kreativitas orang Pekalongan dalam menyiasati hemat pakaian, dengan menciptakan motif batik berbeda namun orang bisa memakainya hanya pada satu kain jadi.
Dari peristiwa ini masyarakat Pekalongan patut berbangga hati. Sebab tak banyak orang yang masih bisa berfikir, dan membuat alternatif penghematan ekonomi sebagaimana sejarah populernya jenis Batik Djawa Hokokai di tengah kesulitan zaman Jepang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)