Historiografi kesusastraan Indonesia jarang sekali menampilkan profil pujangga kondang: Sitor Situmorang sebagai sebuah kajian khusus tentang biografinya.
Oleh karena itu namanya cenderung tidak banyak diketahui oleh generasi penerus, apalagi pemuda-pemudi saat ini. Nama Sitor Situmorang nampaknya asing di telinga dan pergaulan media mereka.
Padahal sejak tahun 1946 namanya melambung sama seperti penyair si Binatang Jalang: Chairil Anwar. Sitor Situmorang masuk dalam jaringan pergaulan sastrawan angkatan 46’ yang revolusioner.
Baca Juga: Kisah Chairil Anwar, Penyair Legendaris yang Meninggal di Usia Muda
Jiwa sastrawan revolusioner Sitor membawa kehidupannya menjadi kelam. Sebab pasca peristiwa G30S/PKI 1965, namanya terseret menjadi orang yang paling dicari oleh aparat Orde Baru.
Hal ini tidak lain karena sifatnya yang keras dan militan Sitor Situmorang sebagai seorang Sukarnois. Pemerintah Orde Baru berhasil menangkap lalui memenjarakan Si Pujangga revolusi ini bagaikan seorang napi yang berbahaya sekali.
Pada kesempatan kali ini penulis bermaksud menjelaskan sejarah kehidupan Sitor Situmorang. Bagaimana narasi Sastrawan 46’ ini memperjuangkan idealismenya sebagai seorang Sukarnois?
Profil Sitor Situmorang, Pujangga Terdidik Pengetahuan Barat
Menurut Sitor Situmorang dalam buku berjudul ”Bunga Di Atas Batu (Si Anak Hilang): Pilihan Sajak 1948-1988”, (1989) semenjak kecil dirinya sudah terdidik oleh pengetahuan Barat.
Baca Juga: Profil Djoko Pekik: Terlibat PKI 1965, Lukisannya Laku 1 Miliar
Sitor lahir di Harian Boho, Samosir, Tapanuli, Sumatera Utara pada tanggal 2 Oktober 1924. Ia berasal dari keluarga ”Berada”. Hal ini tercermin dari bangku pendidikan yang pernah dialaminya di sekolah-sekolah orang Eropa.
Seperti menyelesaikan pendidikan Barat di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Balige, 1933, kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tarutung, 1938, dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Batavia pada 2 Oktober 1924.
Semenjak tinggal di Batavia, dan bergaul dengan teman-temannya yang kuliah di perguruan tinggi Ilmu Hukum, Sitor Situmorang sempat bercita-cita menjadi ahli hukum Belanda. Namun cita-citanya kacau akibat Jepang masuk ke Indonesia sejak tahun 1942-1945.
Kendati pun cita-citanya pernah dikacaukan oleh akibat Perang Dunia II, Sitor Situmorang diberikan beasiswa oleh pemerintah Dai Nippon untuk belajar ke Tokyo, Jepang pada tahun 1943.
Perjalanan Sitor ke Tokyo untuk menimba ilmu tidak banyak diketahui oleh banyak teman. Sebab suasana saat itu mencekam dan tidak boleh ada orang termasuk keluarga yang mengetahuinya.
Sepulangnya dari Tokyo pada tahun 1943, Sitor Situmorang kemudian diangkat menjadi pegawai di kantor keuangan Jepang, di Sibolga, Sumatera Utara.
Semenjak diangkat menjadi pegawai keuangan, Sitor kerap merasa tidak nyaman karena bukan bekerja dalam bidangnya. Ia pun sering merasa frustasi dan tidak bekerja tepat waktu.
Bekerja di Kantor Surat Kabar Nasional
Selepas Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, Sitor Situmorang bekerja di Kantor Surat Kabar Nasional, Tapanuli.
Semenjak bekerja di kantor surat kabar tersebut, namanya mulai terkenal sebagai penulis yang produktif. Karena hal inilah Sitor Situmorang kemudian tertarik dalam dunia tulis menulis, menurutnya tulisan bisa membuat Sitor terkenal, dan terkenang.
Ketertarikan Sitor dalam dunia tulis menulis semakin dalam tatkala Ia membulatkan tekad pergi ke kota besar di Sumatera Utara, Medan.
Pada tahun 1947 Sitor Situmorang bekerja di Kantor Surat Kabar besar di kota Medan bernama “Waspada”. Dalam surat kabar Waspada Ia bersungguh-sungguh tumbuh jadi wartawan sejati.
Baca Juga: Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Lekra Peraih Ramon Magsaysay Award
Selain menjadi wartawan sejati, Sitor juga berkembang menjadi penulis yang produktif. Banyak menyelesaikan tulisan-tulisan panjang seperti, esai, novel, dan antologi cerpen. Produktivitas Sitor sebagai penulis baru kelihatan pasca meninggalnya Chairil Anwar.
Hal ini terjadi akibat Sitor mengagumi sastrawan seniornya itu semenjak jadi Mahasiswa. Menurutnya seluruh karya Chairil mampu menginspirasi banyak penulis di Indonesia termasuk dirinya saat itu.
Pujangga Kondang Dipenjara Orde Baru
Catatan kelam pujangga kondang pernah terjadi pada tahun 1965-1966. Kala itu pasca meletus peristiwa G30S/PKI 1965, profil Sitor Situmorang masuk dalam daftar pencarian orang oleh aparat Orde Baru.
Banyak narasi yang menyebut Sitor masuk menjadi orang yang dicari aparat Orde Baru akibat menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan seorang Sukarnois sejati yang revolusioner.
Saat itu memang para Sukarnois ditangkap oleh aparat Orde Baru. Mereka tidak ingin paham-paham kiri seperti ini bertumbuh, padahal sama sekali tidak ada kaitannya dengan peristiwa G30S/PKI.
Sitor Situmorang pun dipenjara oleh pemerintah Orde Baru. Dalam pemenjaraannya, Sitor sama sekali tidak dikenakan hukuman yang represif.
Sebab semenjak di penjara penyair bertubuh ramping ini tidak diperbolehkan membawa buku, pulpen, dan kertas. Apalagi mesin tik seperti Pramoedya Ananta Toer.
Menurut pengakuan berbagai kalangan, hal ini dianggap berbahaya. Karena ternyata tulisan Sitor Situmorang lebih pedas dari pada aksara media Pramoedya Ananta Toer sang penulis tetralogi Buru yang legendaris itu. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)