Profil dr Soebandrio menarik untuk dibahas. Ia menjadi pejabat dan tangan kanan Presiden Sukarno, namun dr Soebandrio mendapat vonis hukuman mati pasca meletusnya peristiwa G30S/PKI 1965.
Berbagai catatan sejarah menyebut dr Soebandrio adalah salah satu pejabat negara kesayangan Bung Karno. Semenjak masa perjuangan, beliau merupakan pemuda yang revolusioner.
Kedekatannya dengan Sutan Sjahrir dalam Partai Sosialisme Indonesia (PSI) membuat Bung Karno percaya pada integritas militant Soebandrio. Oleh sebab itu pada tahun 1947 Bung Karno menugaskan Dr Soebandri mengurus Kantor Berita di London.
Baca Juga: Profil Chaerul Saleh, Mantan Ketua MPRS yang Dipenjara Orde Baru
Sepulang dari London, Inggris, Presiden pertama Republik Indonesia ini menunjuk dr Soebandrio kembali menjadi Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet tahun 1954-1956.
Pada saat menjadi Duta Besar di Uni Soviet inilah, dr Soebandrio kemudian tertarik masuk mempelajari ideologi kiri. Kendati demikian Tokoh Nasional yang pandai lima bahasa ini mengaku bukan seorang komunis sejati.
Namun pengakuan dr Soebandrio dinilai lain di mata hukum. Pasca meletusnya G30S/PKI 1965, Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) menjatuhkan vonis hukuman mati akibat mendukung kebijakan Presiden Sukarno yang dianggap pro pada komunis.
Profil dr Soebandrio: Sejak Kecil Bercita-cita Menjadi Dokter
Pria yang fasih berbahasa Rusia ini lahir di kampung Kepanjen, Malang, Jawa Timur pada tanggal 15 September 1914.
Beliau lahir dari keluarga seorang Muslim yang taat. Ayahnya bernama Kusnadi merupakan seorang pegawai pemerintah rendahan pada zaman Kolonial Belanda sebagai Wedana.
Meskipun berprofesi sebagai Wedana, Kusnadi yang rajin beribadah itu mampu menyekolahkan semua anaknya hingga perguruan tinggi. Salah satunya dr Soebandrio yang sejak kecil sudah bercita-cita ingin menjadi dokter.
Karena doa dan perjuangan sang Ayah Kusnadi, Soebandrio remaja bisa melamar menjadi mahasiswa di jurusan Kedokteran Jakarta. Saat itu Ia berangkat ke Jakarta sendirian dengan bekal uang seadanya.
Tekad dan perjuangan yang kuat ingin menjadi dokter sejak kecil rupanya tidak sia-sia. Sebab ketika Ia mendaftar menjadi Mahasiswa di Geneeskundige Hoogschool Batavia, namanya muncul sebagai salah seorang calon Mahasiswa yang diterima.
Semenjak itulah nama Soebandrio terkenal sebagai orang pribumi yang masuk ke jurusan kedokteran Belanda.
Baca Juga: Soe Hok Gie, Aktivis Tionghoa Pendemo Sukarno
Soebandrio lulus dan menerima gelar dokter pada tahun 1936. Karena rekam jejaknya ketika menjadi Mahasiswa berprestasi, maka pihak Fakultas menugaskan dr Soebandrio sebagai dokter spesialis bedah di Semarang, Jawa Tengah.
Berpolitik dan Menjadi Tangan Kanan Bung Karno
Selain menjadi seorang dokter spesialis bedah, dr Soebandrio dewasa pun mulai dekat dengan pemimpin revolusi Bung Karno karena tugas-tugas kenegaraan yang tak bisa dilewatkan.
Pertemuan Bung Karno dengan dr Soebandrio sebetulnya tidak hanya sekali, sebab Bung Karno mengenal Soebandrio sejak zaman Jepang. Kala itu dr Soebandrio masih menjadi Mahasiswa, namun Bung Karno kagum padanya karena Ia merupakan Mahasiswa yang revolusioner.
Soebandrio kala itu tercatat aktif menjadi pemuda yang bergerak di bawah tanah dengan Sutan Sjahrir. Sedangkan menurut Julius Pour dalam “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang” (2011), menyebut dr Soebandrio juga pernah menjabat Kepala Jawatan Penerangan, Jawa Tengah pada era Jepang.
Terlepas dari kebenaran yang ada, profil dr Soebandrio jelas merupakan pemuda yang aktif dan gigih menghimpun massa untuk mengusir Jepang dari Indonesia.
Karena kedekatan dengan Sjahrir dalam PSI pada era Jepang, pemerintahan awal Republik Indonesia tahun 1947 menunjuk dr Soebandrio sebagai organisator pembentukan Kantor Berita untuk Indonesia di London, Inggris.
Sedangkan pada tahun 1954 sepulang dari London, dr Soebandrio diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Duta Besar untuk Indonesia di Uni Soviet sampai tahun 1956.
Karena integritas dan relasi yang luas dalam birokrasi awal republik, dr Soebandrio pernah dipercaya pula menjadi Menteri Luar Negeri oleh pejabat dalam Kabinet Juanda. Dan yang paling menakjubkan, dr Soebandrio merupakan sosok dibalik pembentukan BPI (Badan Pusat Intelijen) dan menjabat sebagai Kepala BPI tahun 1959.
Tidak puas menempatkan dr Soebandrio di BPI, Pemimpin Revolusi (Bung Karno) kemudian mengangkatnya pada jabatan yang lebih tinggi, yaitu sebagai Wakil Perdana Menteri dari tahun 1962-1963.
Saat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, dr Soebandrio masih merangkap Menteri Luar Negeri. Rangkap jabatan ini sengaja dibebaskan Bung Karno akibat dr Soebandrio merupakan tokoh penting yang bisa memanfaatkan dua negara besar yang sedang berkonflik (Amerika-Soviet).
Terlibat G30S/PKI 1965 dan Dijatuhi Vonis Hukuman Mati
Menurut John Hughes dalam “The End of Soekarno- A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild” (2002), dr Soebandrio yang merupakan tangan kanan Presiden Sukarno sempat dijatuhi vonis hukuman mati oleh Mahmilub pada tahun 1966.
Soebandrio dianggap telah membiarkan tergulingnya suatu pemerintahan yang sah oleh PKI pada tahun 1965. Dengan kata lain, Mahmilub menyatakan bersalah dr Soebandrio akibat terlibat mendukung seluruh keputusan Bung Karno akan peristiwa G30S/PKI 1965.
Baca Juga: Sutan Syahrir, Pemuda Radikal yang Mendesak Proklamasi
Hukuman terhadap rekan-rekan sejawatnya di Istana pun sama. Letkol Untung Syamsuri misalnya, Ia tewas dieksekusi akibat mendalangi peristiwa G30S/PKI sebelum tanggal kematian dr Soebandrio menghampiri.
Letkol Untung Syamsuri menandakan isyarat akan berjumpa dengan dr Soebandrio di alam baka pada waktu dekat. Namun vonis mati yang beberapa hari lagi akan dijalani dr Soebandrio mendadak batal.
Menurut keterangan dari dr Soebandrio sendiri, vonis ini gagal karena pertolongan Ratu Elizabeth II. Sang Ratu memohon sahabatnya ini tidak dikenakan hukuman mati pada pemerintahan Orde Baru kala itu.
Soebandrio yang lama di London dan orang Indonesia terdekat penguasa Buckingham ini mendapat vonis hukuman seumur hidup.
Berkat bantuan Ratu Elizabeth II, Soebandrio masih bisa merasakan nikmatnya hidup dipenjara hingga tahun 1995. Hingga pada akhirnya meninggal dunia pada tahun 2004 akibat menderita penyakit stroke. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)