Peristiwa Kebon Rojo merupakan sejarah pertempuran kemerdekaan di Pekalongan tahun 1945. Meskipun kejadian ini sangat heroik namun sayang belum banyak orang yang paham tentang sejarahnya.
Sebagian menyebut peristiwa ini dengan pertempuran rakyat Pekalongan melawan pendudukan Jepang. Penyematan istilah ini terjadi akibat peristiwa tersebut merupakan perlawanan para pejuang Pekalongan dalam mengusir Jepang di pusat perkotaan.
Rakyat Pekalongan merasa geram pada Jepang karena para tentara mereka tidak mau mundur dari Kota Batik, meskipun Sukarno-Hatta sudah mendeklarasikan proklamasi kemerdekaan sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Lantas kapan sebenarnya peristiwa Kebon Rojo ini terjadi?
Peristiwa Kebon Rojo, Situasi Tegang Melucuti Senjata Jepang
Menurut Oetoyo, dkk dalam buku ”Monumen Perjuangan 3 Oktober 1945 Pekalongan” (1983), peristiwa Kebon Rojo merupakan sejarah perjuangan kemerdekaan merebut gudang peluru Jepang di Pekalongan, pada tanggal 3 Oktober 1945.
Perebutan gudang peluru dan senjata milik Jepang di Pekalongan ini memakan cukup banyak korban. Hal ini terjadi akibat rakyat Pekalongan hanya menggunakan senjata sederhana seperti bambu runcing.
Baca Juga: Sejarah Bajak Laut Nusantara, Pernah Disewa Kerajaan Sriwijaya
Kendati pun hanya memakai senjata bambu runcing, para pejuang di Pekalongan ini berhasil merebut gudang peluru dan persenjataan milik Jepang.
Lebih jauh dari itu, para pejuang dalam peristiwa Kebon Rojo juga selain berhasil merebut gudang persenjataan milik Jepang, pasukan mereka pun sukses mengusir kedaulatan illegal tentara Dai Nippon dari kota Batik.
Masyarakat Pekalongan yang bergabung dengan para pejuang kemerdekaan, berhasil mengambil alih kekuasaan daerah Pekalongan dari genggaman Jepang yang kala itu masih kuat.
Adapun penyebab meletusnya peperangan ini karena deklarasi kemerdekaan yang tidak merata. Meskipun Indonesia sudah mendeklarasikan kemerdekaannya sejak tanggal 17 Agustus 1945, Jepang masih bercokol kuat di sana.
Menolong Korban yang Gugur dalam Peristiwa Kebon Rojo
Masih menurut Oetoyo, akibat terjadinya peristiwa Kebon Rojo pada tanggal 3 Oktober 1945, banyak korban gugur yang berjatuhan di tengah medan perang yang berkecamuk.
Mayat-mayat tergeletak begitu saja hingga dua hari lamanya, sedangkan orang-orang yang sekarat terlihat di setiap sudut kota. Saat itu kota Pekalongan mencekam akibat peristiwa tersebut.
Karena banyaknya korban yang tak terurus, maka Palang Merah Indonesia (PMI) berinisiatif menolong mereka. Namun pihak PMI yang netral dalam peperangan perlu bernegosiasi terlebih dahulu dengan Jepang.
Setelah negosiasi dilakukan, kesepakatan pun diperoleh tim PMI. Jepang memperbolehkan PMI menyemayamkan jasad-jasad pejuang yang gugur, dan mengobati pejuang yang sekarat, namun dengan syarat tertentu.
Baca Juga: Wabah Malaria Tahun 1963, Petani Ulat Sutera di Bandung Gulung Tikar
Pihak Jepang meminta yang menolong itu semua dilakukan oleh anggota PMI wanita. Karena situasi yang semakin kacau, maka pihak PMI menyetujui kesepakatan tersebut.
Salah satu wanita PMI yang menolong korban peristiwa Kebon Rojo di Pekalongan yakni, istri mendiang Kapolri pertama Jend. Hoegeng Iman Santosa bernama, Meriyanti Roeslani.
Ketika proses evakuasi korban perang selesai, para petugas PMI wanita membawa mereka ke Rumah Sakit Kraton. Di sana para pejuang yang gugur dipulasara dengan layak, dan pejuang yang sakit dilayani dengan baik hingga sembuh.
Menurut catatan laporan PMI terkait jumlah korban perang akibat peristiwa Kebon Rojo, ada pejuang gugur sebanyak 37 orang. Sedangkan pejuang yang sembuh namun cacat sejumlah 12 orang. Kendati demikian mereka diberikan anugerah kehormatan oleh negara sebagai pejuang bangsa yang berjasa.
Memicu Terjadinya Revolusi Sosial
Peristiwa Kebon Rojo yang heroik memang berhasil mengambil alih kekuasaan Pekalongan dari Jepang. Namun akibat peristiwa ini pemerintah Republik sempat kewalahan karena ternyata kejadian tersebut memicu munculnya revolusi sosial.
Baca Juga: Sejarah Kecelakaan Pertama di Pekalongan, Satu Keluarga Tewas
Revolusi Sosial yang dimaksud adalah sebuah pemberontakan dari kalangan masyarakat bawah: petani, buruh, dan ekstrimis lokal, menentang pemerintahan yang sah setelah Pekalongan kembali menjadi daerah Republik Indonesia.
Peristiwa ini menuntut penurunan pejabat-pejabat lokal di tiga daerah, khususnya daerah karesidenan Pekalongan: Pemalang, Tegal, dan Brebes. Sebab menurut mereka pejabat-pejabat tersebut merupakan kaki tangan Belanda dan boneka Jepang.
Menurut Anthony Reid dalam Majalah Prisma No. 8 Agustus Th. X, hlm. 35 berjudul ”Revolusi Sosial: Revolusi Nasional” , pemicu peristiwa Tiga Daerah itu adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pekalongan yang terkenal dengan nama Kutil.
Dia mempropagandakan mosi tidak percaya pada pemerintah Republik di Jakarta, dan mengagitasi masyarakat di Karesidenan Pekalongan untuk melengserkan seluruh pejabat republiken, serta menggantinya dengan orang-orang dari golongan mereka yang notabene dari golongan proletariat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)