Syafruddin Prawiranegara. Potret Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang Religius, namun terlupakan generasi penerus bangsa.
Nama Syafruddin Prawiranegara kerap terlupakan dalam catatan sejarah Indonesia. Padahal sosoknya yang kharismatik-religius ini merupakan tokoh besar perjuangan Nasional. Ia pernah menjabat sebagai kepala negara alias Presiden Republik Indonesia pada tahun 1948.
Terjadinya pemindahan kekuasaan menjadi Presiden Republik Indonesia dari Sukarno-Hatta ke Syafruddin Prawiranegara terjadi saat Belanda menahan tokoh Dwitunggal itu akibat Agresi Militer Belanda II.
Sukarno-Hatta ditangkap di Gedung Agung Yogyakarta oleh Belanda. Melihat situasi yang serba kacau ini Sukarno dan Hatta mempercayakan tampuk kepemimpinannya kepada pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yaitu, Syafruddin Prawiranegara.
Baca Juga: Raden Arsjad Prawiraatmadja, Pamong Belanda yang Bela Pribumi
Akhirnya Syafruddin memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Tepatnya di wilayah asal kelahiran Mohammad Hatta yaitu, Bukit Tinggi.
Kendati memiliki kiprah yang begitu besar dalam mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman Agresi Militer Belanda II, kini nama Syafruddin cenderung terlupakan oleh generasi muda.
Ketenggelaman nama Syafruddin Prawiranegara dalam sejarah Indonesia menjadi kekhawatiran tersendiri bagi penulis.
Berikut ini profil Syafruddin Prawiranegara beserta kiprahnya yang pernah menjadi kepala negara PDRI pada tahun 1948.
Profil Hidup Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara lahir di Banten, pada tanggal 28 Februari 1911. Ia lahir dari pasangan suami-istri yang berasal dari keluarga ningrat Banten-Minahasa. Ayahnya bernama Raden Arsjad Prawiraatmadja, dan ibunya yang berdarah Minahasa bernama Noeraini.
Sejak kecil, Syafruddin kehilangan sosok ibu. Sebab ibunya dan adik kecilnya bernama Remi meninggal dunia akibat wabah Flu yang terjadi pada tahun 1920.
Semasa kecil hingga remaja Syafruddin habiskan di tanah kelahirannya yaitu, Banten. Namun ketika menjelang dewasa Ia mengikuti sang ayah yang berprofesi sebagai Asisten Wedana pindah dinas ke daerah Ngawi, Jawa Timur.
Meskipun kehilangan sosok ibu sejak kecil, dan tidak lama hidup di Banten, Syafruddin terdidik menjadi seorang anak yang religius.
Hal ini karena ayahnya taat terhadap ajaran Islam. Ia menginginkan anak-anaknya termasuk Syafruddin menjadi anak yang cerdas dan taat pada agama Islam. Oleh sebab itu anak-anaknya diserahkan pada Kyai untuk diberikan ilmu agama untuk bekal di masa depan.
Meskipun ayahnya berpendirian untuk memberikan ilmu agama Islam pada Syafruddin, tidak berarti ayahnya itu melarang pendidikan formal untuk dipelajari Syafruddin dan saudara-saudaranya.
Baca Juga: Profil Soedjatmoko, Anggota Konstituante yang Bikin Jengkel Sukarno
Hal ini terlihat dari latar pendidikan Syafruddin Prawiranegara yang disekolahkan di sekolah Belanda seperti, ELS, MULO, dan AMS di Bandung, Jawa Barat.
Selain itu Syafruddin juga mempelajari sastra barat, di mana sebelumnya Ia tertarik dengan ilmu sastra akibat membaca buku berjudul “Robinson Crusoe” karya Daniel Defoe.
Pernyataan tersebut sebagaimana mengutip Ajip Rosidi dalam buku berjudul, “Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT”, (Rosidi, 1986: 25).
Latar belakang Syafruddin yang gemar baca dan menyukai sastra ini berasal dari lingkungan keluarga. Sang ayah yang merupakan pejabat pemerintah pada zaman kolonial, memiliki perpustakaan pribadi dengan berbagai genre koleksi buku yang beragam.
Seorang Islamis-Religius
Karakter Syafruddin Prawiranegara yang Islamis-Religius berasal dari lingkungan keluarganya yang mementingkan agama Islam sebagai pedoman hidupnya.
Bahkan sang ayah Raden Arsjad Prawiraatmadja merupakan sosok yang tegas dalam berpendirian sesuai ajaran Islam. Sebagai contoh Ia pernah terancam dipecat menjadi seorang Asisten Wedana akibat keterlibatannya dalam organisasi Syarikat Islam pada tahun 1914.
Selain karena lingkungan keluargnya yang sangat mematuhi ajaran Islam, karakter religius Syafruddin Prawiranegara juga tercipta akibat pergaulan dengan teman-temannya di pesantren.
Sebab sejak usia dini, lebih tepatnya setelah Syafruddin dikhittan, ayahnya memasukan Syafruddin ke pesantren yang dipimpin oleh salah satu kyai kepercayaan Wedana di Banten.
Ketika belajar di pesantren, Syafruddin rutin dan disiplin mempelajari agama Islam. Adapun yang dipelajarinya antara lain, mulai dari mengaji Al-Qur’an, menjalankan Sholat lima waktu, menunaikan puasa Ramadhan, sampai belajar beberapa kitab karya ulama Islam terkenal.
Oleh sebab itu, Syafruddin sendiri mengaku jika masa kecilnya yang hidup di daerah Banten telah menolong kepribadian anak Asisten Wedana dari pengaruh pergaulan yang buruk.
Hidup di Banten telah mempengaruhi karakter dan sifat religius Syafruddin. Ia menjadi pribadi yang terkenal agamis hingga menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama pada tahun 1950-an.
Baca Juga: Profil Letnan Komaruddin: Kebal Senjata, Keliru Tanggal Serangan Umum 1 Maret 1949
Presiden RI yang Terlupakan
Sebagaimana kisah di awal, Syafruddin Prawiranegara merupakan sosok Presiden Republik Indonesia yang terlupakan.
Syafruddin adalah orang satu-satunya yang pernah menjadi presiden RI dengan masa jabatan paling pendek. Hanya satu tahun, Ia menjabat sebagai presiden RI, dari tahun 1948-1949.
Jabatan Syafruddin sebagai kepala negara merupakan amanah Sukarno-Hatta ketika Belanda menahan Sukarno-Hatta akibat Agresi Militer Belanda II tahun 1948.
Sebelum Belanda menangkap dan mengasingkan Sukarno-Hatta ke Bangka, Sukarno-Hatta telah merancang strategi. Apabila Belanda sampai menangkap mereka, maka kedaulatan RI masih tetap berjalan dengan cara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Alhasil rancangan strategi mereka berhasil. Berdasarkan kesepakatan bersama yang terpilih menjadi pemimpin PDRI yaitu Syafruddin Prawiranegara.
Akibatnya selain menjadi Kepala Negara alias presiden PDRI, Syafruddin Prawiranegara juga rangkap jabatan. Ia juga menjabat sebagai sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)