Pantai Pangandaran sebagai objek wisata air yang saat ini populer di tengah masyarakat luas, ternyata memiliki sejarah panjang yang tak kalah populernya pada zaman kolonial Hindia Belanda tahun 1923.
Salah satu bukti dari pernyataan ini tertera dalam surat kabar Belanda “de Preanger Bode” dengan tajuk “Badhotel Pangandaran”. Berita pada surat kabar Belanda tersebut terbit pada tanggal 30 Mei 1923.
Dalam koran tersebut tercantum kabar Pangandaran merupakan salah satu destinasi wisata tujuan para pelancong di seluruh Jawa Barat. Khususnya yang ada di sekitar Priangan.
Baca Juga: Banjir di Padaherang Pangandaran 1939, Kalipoetjang Tenggelam!
Mereka tertarik dengan keindahan alam yang menyuguhkan hamparan luas pantai, dan bersih. Tidak ada kontaminasi polusi sebagaimana yang sering terhirup dalam keseharian masyarakat di perkotaan.
Selain itu pantai Pangandaran menjadi titik tujuan wisata, karena para pelancong penasaran dengan rute perjalanannya yang menggunakan transportasi Kereta Api.
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai sejarah wisata pantai Pangandaran pada zaman kolonial tahun 1923.
Pembahasan meliputi apa yang menjadi penyebab Pantai Pangandaran ramai dikunjungi wisatawan. Lalu bagaimana masyarakat di sana menerima daerahnya sebagai destinasi wisata yang terbuka secara umum?
Sejarah Wisata Pantai Pangandaran, Pantai dengan Akses Mudah dan Terjangkau
Sebagaimana yang tertera dalam koran Belanda “De Preanger Bode” bertajuk “badhotel Pangandaran” pada 30 Mei 1923, salah satu pendorong datangnya wisatawan ke pantai Pangandaran karena akses transportasinya yang ternyata mudah dan terjangkau.
Apabila pelancong wisata berasal dari daerah Jawa Tengah, maka bisa menggunakan transportasi kereta sampai stasiun Cilacap.
Kemudian setelah itu menggunakan perahu untuk menyeberangi lautan yang memutar sampai ke Nusakambangan dan berhenti di pelabuhan Kalipucang.
Apabila sudah sampai di Kalipucang, transportasi selanjutnya adalah Kereta Api dari arah Banjar-Parigi. Menunggu di pemberhentian kecil Kereta Api yang letaknya tidak jauh dengan pelabuhan Kalipucang.
Sementara pelancong yang berasal dari arah Bandung, bisa menuju Pangandaran dengan menggunakan Kereta Api, atau kendaraan pribadi seperti mobil.
Baca Juga: Wabah Malaria di Pangandaran 1935, Pantai Pananjung Diisolasi!
Jika pelancong wisata menggunakan Kereta Api, maka yang perlu diperhatikan adalah pemberhentian terakhir di Stasiun Pangandaran (sekarang letaknya di depan polsek Pangandaran, Karangsalam).
Jika dihitung pemberangkatan antara arah Jawa Tengah dengan Bandung, maka akan lebih banyak memakan uang transportasi yang lumayan tinggi adalah dari Cilacap.
Sebab mereka perlu menyebrang terlebih dahulu di pelabuhan Kalipucang apabila ingin ke Pantai Pangandaran. Sedangkan biayanya dua kali lipat dari para pelancong yang berasal dari arah Bandung.
Sebab mereka hanya menggunakan ongkos kereta Bandung- Parigi. Kendati demikian, harga transportasi saat itu masih relatif terjangkau.
Perjalanan Kereta Api Termegah di Jawa
Daya tarik Pantai Pangandaran sebagai objek wisata kolonial tahun 1923 juga karena perjalanan Kereta Api menuju Pangandaran adalah perjalanan termegah di Jawa.
Kemegahan ini terletak pada keindahan alam yang terbentang sepanjang rute kereta. Waktu itu rute kereta Banjar-Parigi sangatlah indah, apalagi ketika kereta memasuki daerah Kalipucang.
Para penumpang biasanya terkagum-kagum dengan keindahan alam Pantai Pangandaran tatkala kereta melintasi terowongan dan jembatan Wihelmina.
Para penumpang kereta akan merasakan keindahan yang luar biasa. Apalagi melihat hamparan lautan yang luas begitu jelas saat mereka berada di ketinggian yang berasal dari jembatan Kereta Api Wihelmina.
Sesekali hewan liar yang masih alami pun menghampiri kereta, seperti kera ekor panjang yang saat ini bisa kita temukan di Pantai Pasir Putih, dan Cagar Alam Pangandaran.
Sebagian penumpang kereta yang didominasi oleh pelancong memberikan makanan kacang-kacangan untuk kera tersebut.
Apalagi jenis kereta yang tidak memiliki jendela, tak jarang Kera ikut masuk dalam kereta, dan mencuri, hingga mengacak-ngacak sisa-sisa makanan penumpang di atas kereta lainnya.
Selain akibat rute perjalanan kereta Api yang menyimpan pemandangan yang indah, daya tarik para pelancong untuk datang ke Pantai Pangandaran juga kebersihannya yang tetap terjaga di setiap sudutnya.
Selain itu, Pangandaran juga terkenal sebagai daerah wisata yang edukatif bagi keluarga orang-orang Belanda yang sedang berlibur.
Baca Juga: Sikep dan Sentana di Priangan, Priyayi dari Golongan Pedagang
Sebab di Pangandaran terdapat goa-goa yang bisa mengajarkan anak-anak akan praktik penelitian langsung mengenai sebuah fenomena alam yang mana kemudian membentuk goa.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana peran transportasi dan keramahan lingkungan di Pangandaran mendukung perkembangan pariwisata hingga saat ini.
Menyediakan Penginapan: Pesanggrahan
Lambat laun dari intensitas pengunjung wisata pantai Pangandaran, saat itu direspon oleh pemerintah kolonial setempat untuk membangun sebuah penginapan yang kemudian disebutnya dengan istilah pesanggrahan.
Harga dari setiap penginapan di Pangandaran tidak begitu mahal. Iklan koran Belanda yang mempromosikan pantai Pangandaran sebagai tempat berwisata ini menyebut harga penginapannya dengan istilah “wajar”.
Artinya terjangkau dan masih bisa dipertimbangkan untuk menginap selama 2-3 untuk menikmati liburan di Pantai.
Pemerintah Kolonial Belanda menyediakan penginapan untuk para pelancong. Hal itu ternyata mendapat respon dari beberapa pengusaha pribumi yang aslinya bukan berasal dari Pangandaran.
Mereka membeli bangunan bekas pesanggrahan dan mengemas ulangnya dengan cara memperbarui kualitas penginapan.
Salah satu pengusaha pesanggrahan di Pangandaran merupakan seorang terpandang asal Tasikmalaya bernama dr. Syrier. Informasi tersebut sebagaimana mengutip Koran Belanda “Bataviaasch nieuwsbald” tanggal 30 Mei 1923. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)