Sejarah pembunuhan 21 orang Tionghoa di Padaherang Pangandaran tertulis dalam surat kabar berbahasa Belanda De Nieuwsgier bertajuk “de lijken van 21 Chinezen” tanggal 5 November 1948.
Menurut koran tersebut, orang yang pertama kali menemukan korban pembunuhan 21 orang Tionghoa adalah penduduk sekitar yang akan mencari rumput untuk pakan ternak.
Kejadian ini berawal ketika salah satu tangan korban terlihat di atas tanah akibat posisi terkubur di lubang yang dangkal.
Sebelum kejadian ini ramai jadi perbincangan masyarakat, polisi dari district Tasikmalaja (Tasikmalaya) meluncur ke tempat kejadian perkara (TKP).
Baca Juga: Sejarah Banjir di Cijulang Pangandaran Tahun 1940, Dua Kampung Tenggelam
Setelah pembongkaran lubang maut tersebut, polisi kemudian membawa jenazah para korban ke Bandung untuk penyelidikan lebih lanjut di kantor kepolisian pusat daerah, di Jawa Barat.
Meskipun kasus ini tertutup, beberapa media lain di luar Jawa sempat meliput dan menggegerkan masyarakat Sumatera sebagaimana berita dalam “Het Nieuwsblad voor Sumatra” pada 5 November 1948.
Penyebab kematian orang-orang Tionghoa tersebut tidak terungkap. Namun kepolisian menduga tragedi berdarah ini merupakan kasus pembunuhan.
Sejarah Pembunuhan 21 Orang Tionghoa di Padaherang Pangandaran
Surat kabar De Nieuwsgier tanggal 5 November 1948 mengungkapkan, sebanyak 21 orang Tionghoa yang tewas di Padaherang karena pembunuhan.
Peternak yang hendak mencari rumput menemukan para korban. Dengan tidak sengaja pencari rumput ini menemukan kuburan massal yang dangkal setengah lubang. Isinya ada 21 orang Tionghoa yang meringkuk dalam satu lubang dan sudah menjadi jasad yang membusuk.
Penemuan jasad orang-orang Tionghoa misterius ini terjadi pada tanggal 5 November 1948. Ditemukan di atas tanah yang tidak berpenghuni dan dipenuhi semak belukar.
Pencari rumput tidak menyangka kalau yang menjadi korban dalam kasus ini adalah 21 orang Tionghoa.
Ia baru sadar hal ini setelah polisi mengungkap seluruh tempat dengan menggali lebih dalam lagi kuburan tersebut.
Setelah semuanya dipastikan terangkat dari lubang kuburan massal, polisi kemudian membawa jasad-jasad orang Tionghoa ini menuju ke kantor pusat kepolisian daerah di Bandung, Jawa Barat, untuk visum et repertum guna mengetahui penyebabnya secara pasti.
Namun tidak ada kabar yang jelas dari ujung tragedi pembunuhan 21 Tionghoa tersebut. Tidak ada berita ataupun konfirmasi penyebab pastinya, polisi hanya menangkap beberapa orang yang diduga sebagai pelaku.
Baca Juga: Sejarah Pengusaha Kopra di Pangandaran Diculik Jepang, Kuwu Sidamulih Tewas Dipenggal
Korban Pembantaian Anti Tionghoa
Sebagian masyarakat di Padaherang menduga jasad 21 Tionghoa ini merupakan korban pembantaian Anti Tionghoa. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Ciamis semasa Agresi Militer Belanda 1 tahun 1947.
Besar kemungkinan korban dibantai secara bersamaan di satu tempat di luar Padaherang. Ketika sudah tewas para pelaku membawa jasad korban ke sebuah desa sepi tak berpenghuni.
Karena terburu-buru menguburkan jasad para korban, pelaku menggali lubang kuburan setengah dalam alias dangkal. Tidak seperti ukuran tinggi sebagaimana ukuran kuburan pada umumnya.
Akibatnya ketika jasad membusuk masyarakat sekitar mudah mencari keberadaan pusat bau. Bahkan ada yang mengatakan jika penemu jasad melihat seekor anjing bolak-balik di tempat penemuan jasad korban Tionghoa, sebelum Ia mengecek ke tempat tersebut.
Peristiwa Anti Tionghoa ini sebetulnya bukan pertama yang terjadi dalam catatan sejarah Indonesia. Sebab sejak zaman kolonial Hindia Belanda isu pembantaian terhadap orang-orang Cina sering terjadi.
Sejarah mencatat penyebab utama pembunuhan 21 Tionghoa di Pangandaran karena politik adu domba Belanda (Devide et Impera). Pemerintah kolonial Hindia Belanda sengaja menempatkan orang Tionghoa menjadi kelas dua setelah Orang Eropa, Orang Tionghoa, dan Inlanders atau pribumi.
Pemisahan kelas ini menjadi alasan paling utama orang-orang pribumi membenci orang Tionghoa. Terlebih mereka juga tidak mudah bergaul dan cenderung menutupi diri dari orang-orang pribumi.
Selain itu, Belanda mengistimewakan golongan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, ketika Agresi Militer Belanda tahun 1947-1948 meletus di Jawa Barat, orang-orang Tionghoa ikut terkena imbasnya.
Baca Juga: Sejarah Bendungan Cikembulan Pangandaran, Proyek Terbesar Pemerintah Belanda
Tragedi Berdarah Masih Menjadi Misteri Hingga Saat Ini
Terlepas dari penyebab pembunuhan tersebut, tragedi berdarah yang pernah menimpa 21 orang Tionghoa di Padaherang ini masih menjadi misteri hingga saat ini.
Meskipun surat kabar berbahasa Belanda menyebut polisi sudah menangkap para pelaku, kenyataannya tidak ada konfirmasi yang jelas tentang penyebab utama peristiwa ini terjadi.
Seluruh jasad korban Tionghoa yang tewas di kuburan massal setengah lubang ini kemudian dikubur ulang di pemakaman Tionghoa di Bandung.
Menurut keterangan tambahan, mereka ternyata merupakan satu keluarga besar. Artinya tidak ada keluarga yang mencarinya pasca pembunuhan itu terjadi.
Sukarelawan sesama Tionghoa di Bandung melakukan upacara pemakaman untguk para korban secara layak, sebagaimana budaya dan tradisi penguburan keluarga Tionghoa.
Setelah peristiwa ini terjadi banyak keluarga orang Cina di beberapa daerah di Jawa Barat Selatan seperti Ciamis, Banjar, Padaherang, dan Pangandaran menjadi trauma.
Mereka membangun pertahanan dari kemungkinan buruk serangan kelompok Anti Tionghoa dengan cara mendirikan bangunan rumah yang tinggi.
Pagar-pagar menjunjung tinggi ke atas, halaman rumah tidak kelihatan dan bergaul hanya dengan sesama orang Cina.
Mereka membangun kelompok sosial sendiri. Isinya orang-orang Tionghoa, oleh sebab itu di setiap kota di Indonesia selalu ada pecinan atau tempat berkumpulnya orang-orang Cina.
Seperti tempat berbelanja kebutuhan (pasar), merayakan hari besar orang Tionghoa, dan tempat menjalin silaturahmi sesama orang etnis Hokkian. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)