Sejarah kerajaan Pananjung merupakan catatan historiografi yang masuk dalam kategori ikon penting bagi sejarah peradaban di daerah Pangandaran.
Akan tetapi tidak banyak referensi ilmiah yang menulis tentang sejarah kerajaan Pananjung. Barangkali karena keterbatasan dalam mengakses sumber penelitian.
Padahal jika kita kaji lebih dalam kerajaan Pananjung menarik untuk diungkap kebenarannya. Mengingat hingga saat ini masih simpang siur, bahkan ada yang mengatakan kerajaan Pananjung ini sama dengan kejayaan Galuh di Ciamis.
Oleh sebab itu, pernyataan tersebut menjadi landasan pemerintah Republik Indonesia untuk menyerahkan Pangandaran sebagai salah satu daerah di Pesisir Selatan milik Kabupaten Ciamis.
Baca Juga: Sejarah Wisatawan Belanda Tenggelam di Pangandaran Tahun 1938
Dalam artikel singkat ini, penulis bermaksud untuk membongkar kembali sejarah peradaban Pangandaran yang berasal dari kejayaan Pananjung. Bagaimana kisah selengkapnya, silahkan simak penjelasan lebih lanjut berikut ini.
Sejarah Kerajaan Pananjung dan Asal Usul Nama Pangandaran
Nama Pananjung merupakan warisan dari kerajaan Galuh Pangauban, raja Galuh Pangauban saat itu menitipkan sebuah Teluk di pesisir pantai selatan Jawa Barat, kepada anaknya Prabu Anggalarang.
Raja Galuh Pangauban saat itu menyebut teluk di pesisir pantai Selatan itu mengandung banyak kekayaan Sumber Daya Alam. Maka berdirilah kerajaan Pananjung yang berpusat di Putrapinggan.
Dengan kata lain tempat ini memberikan dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, sang Raja kemudian menamakan teluk ini dengan kalimat Panandjoeng. Artinya teluk yang paling “subur, kaya, dan bisa menghidupi” (Pang-nandjoeng-nandjoengna).
Selanjutnya Pananjung berubah menjadi Pangandaran. Perubahan nama ini karena menyurutnya kejayaan Raja Anggalarang yang tewas dalam peperangan dengan kelompok Bajak Laut.
Arti Nama Pangandaran
Perubahan nama Pananjung menjadi Pangandaran juga dianalisis oleh pengamat toponimi daerah sebagai akibat adanya akulturasi budaya Sunda-Jawa.
Pasca abad ke-14, banyak para nelayan di pesisir Tjilatjap (Cilacap) yang melakukan eksodus ke Teluk Pananjung. Nelayan dari pesisir Cilacap melakukan eksodus untuk mencari tangkapan ikan. Sebab orang-orang Cilacap mempercayai lautan Pananjung kaya akan sumber daya ikan.
Dari kebiasaan menangkap ikan yang ada di Teluk Pananjung ini pada akhirnya membuat betah nelayan Tjilatjap, dan memilih tinggal serta beranak pinak di tempat yang kaya ini.
Mengingat saat itu kerajaan Pananjung sudah hancur, maka para penduduk yang tercipta dari eksodus nelayan Cilacap dan pribumi orang Sunda ini mengusulkan nama yang baru. Penamaan daerah mencerminkan kesamaan, akan tetapi juga tidak menghilangkan perbedaan.
Baca Juga: Perampokan di Pangandaran Tahun 1953: Kuwu Terbunuh, 14 Rumah Terbakar!
Setelah berembuk, mereka sepakat dengan sebuah nama yang memiliki arti yang sama dalam dua bahasa yang berbeda (Sunda-Jawa) yaitu, Pangan–Daran.
Nama Pangandaran berarti dalam bahasa Sunda-Jawa mengandung arti yang sama yaitu, “Makan-an”. Pangan (Jawa: Diserap dari “Mangan – Pangan = Makan), dan (Sunda: Diserap dari “Daha-reun- Daran = Makanan).
Secara historis, maka dari sini kita bisa melihat struktur peradaban penduduk Pangandaran berasal dari percampuran budaya (Jawa-Sunda). Atau dengan istilah lain disebut dengan penduduk yang terbentuk dari struktur budaya multicultural.
Berdiri Sejak Masa Hindu-Budha
Meskipun para sejarawan, arkeolog, dan filolog menyebut Pangandaran merupakan daerah yang ada sejak kerajaan Pananjung abad ke-14, fakta lain menyebut daerah destinasi wisata pantai di pesisir Selatan Jawa Barat ini sudah berdiri sejak masa Hindu-Budha sebelum abad ke-13.
Pendapat ini sebagaimana dibuktikan oleh data-data berbentuk material seperti, penemuan Batu Lingga di situs Batu Kalde yang sekarang ada di dalam kawasan hutan Cagar Alam, Pangandaran.
Kebudayaan Batu Lingga kerap muncul dalam simbol tradisi kepercayaan umat Hindu-Budha yang disamakan dengan lambang kesuburan seorang Wanita.
Penemuan ini menandakan Hindu-Budha sudah lebih awal datang sebelum kerajaan lokal seperti Kerajaan Panandjoeng mengalami kejayaan.
Selain Batu Lingga, beberapa bukti lain yang ditemukan di kawasan hutan Cagar Alam, Panganda-ran ini juga yaitu, Batu Lembu Nandi. Jenis hewan dalam mitologi Hindu-Budha yang setia menemai Dewa Siwa.
Setelah penemuan dua material di atas, beberapa arkeologi menafsirkan akan ada penemuan yang lebih menakjubkan. Apabila timnya melakukan penggalian lebih dalam lagi. Salah satunya akan menemukan runtuhan Batu Yoni, yaitu lambang kesuburan seorang Pria.
Bahkan yang paling menggemparkan ranah Arkeologi Indonesia, ditemukan naskah dalam bentuk prasasti batu. Prasasti itu menceritakan umat Hindu di Pangandaran begitu kental dengan budaya Hindu di Bali.
Baca Juga: Sejarah Wisata Pantai Pangandaran, Terkenal Sejak Tahun 1923
Kerajaan Pananjung Hancur karena Serangan Komplotan Bajo
Sekitar abad ke-16 kerajaan Pananjung pimpinan Prabu Anggalaran bersama sang istri, Dewi Samboja mengalami kehancuran setelah serangan komplotan Bajo (Bajak Laut).
Latar belakang yang mengakibatkan hancurnya kerajaan Panandjoeng antara lain karena eksistensi pemerintahan kerajaan yang terkenal sebagai tempat yang subur dan kaya.
Informasi ini sampai hingga ke kerajaan-kerajaan kecil, bahkan ke kerajaan-kerajaan besar yang ada di seberang Jawa. Kabar ini rupanya sampai ke komplotan Bajo. Tak membutuhkan waktu yang lama, mereka yang terbiasa hidup di lautan itu langsung menuju Teluk Panandjoeng.
Sesampainya di Teluk Panandjoeng, para Bajo ini tidak menyerang. Melainkan terlebih dahulu menawarkan negosiasi untuk bekerjasama, antara komplotan Bajak Laut dengan kerajaan Panandjoeng.
Namun karena merasa tertekan dan dirugikan, Prabu Anggalarang memutuskan untuk memerangi komplotan Bajo itu secara habis-habisan.
Menurut Prabu Anggalarang, kerajaan Panandjoeng tidak ingin berada di bawah jari telunjuk perampok, lebih baik hancur dari pada harus berkelindan dalam kejahatan.
Maka dari itu salah satu menteri kerajaan Panandjoeng yaitu, Sapi Gumarang mengumandangkan perintah perang.
Nahas ketika perang pecah Prabu Anggalarang tewas. Pimpinan Bajo bernama Kalasamudra menikam Prabu Anggalarang. Karena peristiwa ini seluruh tentara kerajaan Panandjoeng akhirnya mengakui kekalahan.
Pembalasan Dendam Dewi Samboja
Ketika kekalahan ini menyelimuti kerajaan Panandjoeng, tanpa sepengetahuan penguasa baru kerajaan tersebut yaitu Kalasamudra, Dewi Samboja istri Prabu Anggalarang yang selamat ini membebaskan diri dari penjara para Bajo.
Salah satu teknik lepasnya Dewi Samboja dari penjara kaum Bajo di Goa Rengganis yaitu dengan cara menyelam dan mencari celah untuk keluar dari Goa tersebut. Setelah keluar dari Goa Dewi Samboja pun bebas dan menyamar menjadi petani.
Saat menyamar menjadi petani ini, nama Dewi Samboja berganti nama menjadi Dewi Rengganis. Nama Dewi Rengganis sendiri tercipta saat Dewi Samboja ingin membalas dendam atas kematian suaminya. Caranya yaitu dengan menusuk Kalasamudra dari belakang tatkala ia sedang menjadi seorang Ronggeng.
Dari peristiwa itu kemudian Kalasamudra pun kalah, pasukan lain kemudian menyerang Dewi Samboja. Akan tetapi kelompok Bajo itu kalah akibat datang bala bantuan tentara Galuh yang datang dari kerajaan pusatnya di Ciamis, Jawa Barat.
Peristiwa terbunuhnya Kalasamudra menandakan kembalinya kerajaan Panandjoeng pada trah keturunan Galuh Pangauban. Adapun yang menjadi pemimpin kerajaan bergelar Ratu yakni, istri dari Prabu Anggalarang sendiri yaitu Ratu Dewi Samboja.
Sejarah kerajaan Pananjung ini sebagaimana mengutip publikasi ilmiah jurnal Nani Susilawati, dkk berjudul “Rekontruksi Cerita Rakyat Dewi Rengganis di Pangandaran Berdasarkan Pendekatan Struktural”, (Susilawati, 2016: 162). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)