Sejarah Indonesia jarang mencatat nama Raden Arsjad Prawiraatmadja sebagai tokoh penting perjuangan bangsa yang menonjol.
Padahal peranannya dalam membela perjuangan pribumi di daerah Banten begitu besar dan tak tertandingi.
Hal ini menjadi aneh karena Raden Arsjad Prawiraatmadja merupakan pamong pemerintah Hindia Belanda di daerah Banten.
Kedudukan tinggi, tidak hanya seorang pegawai rendahan, akan tetapi Raden Arsjad juga merupakan seorang asisten Wedana atau setara dengan Camat.
Jarang sekali orang pribumi yang sudah memiliki pangkat tinggi dari pemerintah kolonial, kemudian membelot dan menyerang atasannya yang orang Belanda.
Baca Juga: Profil Soedjatmoko, Anggota Konstituante yang Bikin Jengkel Sukarno
Fenomena ini mengundang penasaran penulis untuk menelusuri latar belakang sejarah Raden Arsjad Prawiraatmadja.
Oleh sebab itu artikel kali ini bermaksud untuk membahas kiprah Raden Arsjad Prawiraatmadja ketika membela perjuangan pribumi.
Latar Belakang Kehidupan Raden Arsjad Prawiraatmadja
Raden Arsjad Prawiraatmadja merupakan anak dari seorang Patih Kabupaten Serang pada tahun 1874-1884. Ia bernama Raden Haji Chatab Aria Prawiranegara.
Tidak banyak cerita tentang kehidupan masa kecil Raden Arsjad. Akan tetapi, menurut beberapa literatur sejarah yang ada, Ia tumbuh menjadi pribadi yang cerdas.
Kecerdasan Raden Arsjad terbukti ketika Ia mulai berkecimpung dalam dunia Pamong (Pangreh Pradja) sejak usia 19 tahun, yakni pada tahun 1907.
Di usianya yang sangat muda itu, Raden Arsjad sudah memiliki jabatan yang mentereng. Jabatan ini, Ia peroleh dari hasil magang di tempat bekas ayahnya bekerja, yaitu kantor kabupaten Serang, Banten.
Karena kecerdasan dan kedekatan keluarga Raden Arsjad dengan pemerintah kolonial di Serang, maka beberapa bulan sesaat selesai magang di kantor bupati, Ia diangkat menjadi pegawai tetap dengan menduduki posisi sebagai juru tulis.
Menjadi Asisten Wedana
Karirnya memuncak karena sikap Raden Arsjad yang rendah hati terhadap sesama pekerja. Hal ini terlihat ketika setahun dari pengangkatannya sebagai juru tulis, Ia pun menerima pangkat barunya menjadi Asisten Wedana.
Baca Juga: Profil Letnan Komaruddin: Kebal Senjata, Keliru Tanggal Serangan Umum 1 Maret 1949
Pengangkatan menjadi Asisten Wedana ini terjadi pada tahun 1908-1909, di mana pangkatnya saat itu setara dengan seorang Camat.
Tugas pertama kali menjadi Asisten Wedana menempatkan Raden Arsjad Prawiraatmadja bekerja di kantor Kawedanan Anyer, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten.
Jabatannya sebagai Asisten Wedana membuat banyak gadis desa melirik Arsjad. Namun Arsjad tak menyukai seorang pun, kecuali dengan gadis bergaris keturunan Minahasa bernama Noeraini.
Karena masih muda dan sudah mapan, keluarga besar Raden Haji Chatab Aria Prawiranegara menginginkan perkawinan antara anaknya Arsjad dengan Noerani segera berlangsung
Maka tidak lama setelah berkenalan, mereka pun resmi menjadi pasangan suami-istri yang sah. Keluarga kedua mempelai menyaksikan pernikahan tersebut, termasuk juga keluarga besar Noeraini yang datang dari Minahasa.
Peristiwa di atas sebagaimana mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam buku berjudul, “Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT”, (Rosidi, 1986: 3).
Pamong Belanda yang Memberontak
Karena terdidik oleh pendidikan yang “terbuka” dan patuh terhadap ajaran agama Islam, Raden Arsjad Prawiraatmadja tumbuh menjadi pribadi yang ekspresif. Menyukai kebebasan dan tidak tergantung kepada seseorang.
Sikapnya ini nyata terbukti ketika sang Asisten Wedana (Camat) Anyer Kidul ini memberontak pada Belanda dengan cara bergabung aktif bersama organisasi massa bernama Syarikat Islam.
Menurut Ajip Rosidi dalam sumber yang sama, (Rosidi, 1986: 4), sifatnya yang alot ini sudah tertanam semenjak Raden Arsjad berumur dini.
Hal ini terlihat ketika Arsjad mengatakan pada sang ayah di umur delapan tahun bahwa Ia tidak menyukai cara anak buah Bupati Banten. Anak buah Bupati Banten saat itu menindas rakyatnya dengan meminta jatah pajak yang tinggi. Serta memaksa untuk menjual hasil panen dengan harga yang murah pada Kolonial.
Tindakan ini membuat kaget Raden Haji Chatib Prawiranegara, sebab Ia tidak tahu anaknya ini bisa punya sikap pemberontak dari ajaran siapa.
Terlepas dari pengalamannya mengkritisi pemerintahan Bupati Serang Kidul pimpinan ayahnya sendiri, Raden Arsjad juga melakukan perlawanan terhadap Belanda secara terang-terangan. Ia bergabung dengan Sarekat Islam Afdelling Banten pada tahun 1914.
Bergabungnya Arsjad yang saat itu masih dinas menjadi Asisten Wedana dengan Syarikat Islam membuat Belanda geram.
Namun Arsjad tidak menghiraukannya. Bahkan apabila Ia harus kehilangan jabatan sebagai Camat, maka Ia akan mengembalikan pangkat itu kepada pemerintah kolonial.
Sebab Arsjad tidak ingin menjadi pemimpin munafik, Ia tidak mau melihat pribumi (rakyatnya) ditindas akibat kebijakan kolonial yang memaksa.
Kendati dipecat dari jabatannya sebagai camat, Raden Arsjad yang kharismatik dan pemberani ini malah dipindah tugaskan ke luar Banten. Hal ini membuat perjuangannya bersama Syarikat Islam di Banten menjadi terputus.
Baca Juga: Pierre Andreas Tendean, Pengawal AH Nasution yang Jadi Korban G30S PKI
Pindah Tugas ke Jawa Timur
Pemindahan tugas yang dialami Raden Arsjad Prawiraatmadja ke daerah Ngawi, Jawa Timur merupakan tindakan pemerintah kolonial yang bersifat hukuman administratif.
Tidak dipecat tapi diberikan hukuman administratif atau yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf Overplaatsing. Hukuman itu diberikan karena kesalahan seorang pamong Belanda yang ikut kedalam organisasi pribumi.
Ini merupakan kesalahan besar yang tidak bisa diampuni, namun karena Raden Arsjad merupakan anak mantan Patih Banten, maka kesalahan tersebut bisa diampuni. Hanya saja, Ia harus menjalankan masa pindah dinas keluar Banten selama waktu yang belum ditentukan.
Loyalitas sang ayah yang merupakan mantan wakil regent di Karesidenan Banten ini ternyata masih berpengaruh hingga saat itu.
Alhasil mendengar anaknya mendapatkan hukuman administratif dari Belanda, membuat sang ayah kecewa pada anaknya.
Raden Haji Chatib Prawiranegara menyiapkan Raden Arsjad untuk menjadi penerusnya kelak sebagai mantan wakil bupati Banten.
Namun karena jiwanya yang memberontak, membuat semua impian sang ayah itu hilang. Selain mendapatkan kekecewaan dari sang ayah, di sela masa-masa yang sulit ini Arsjad juga kehilangan istri (Noeraini). Ia pun kehilangan anaknya bernama Remi akibat wabah flu yang terjadi pada tahun 1920.
Pengalaman Raden Arsjad Prawiraatmadja kehilangan sejumlah anggota akibat wabah tersebut, sebagaimana yang digambarkan oleh Ajip Rosidi dalam sumber yang sama, (Rosidi, 1986: 15). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)