Profil Soedjatmoko akhir-akhir ini mencuat kembali. Hal ini karena beberapa waktu lalu ada akun media sosial Instagram dan Tik Tok menampilkan wajah mudanya yang gagah dan ganteng.
Potret tersebut diambil saat Soedjatmoko menjadi Anggota Konstituante menghadiri sidang PBB pada 14 Agustus 1947 bersama H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambo.
Delegasi Indonesia dalam sidang PBB yang dihadiri oleh Soedjatmoko dan kawan-kawannya bermaksud untuk mendiplomasikan pengakuan dari dunia Internasional akan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945 yang lalu.
Soedjatmoko dan kawan-kawan selesai menghadiri sidang PBB. Indonesia pun memperoleh pengakuan Internasional. Namun, nama Soedjatmoko tidak begitu saja menghilang dalam perpolitikan Indonesia.
Ia tetap hadir menjadi seorang politisi yang kritis. Hal itu sebagaimana tercermin dari kelakuannya pernah membuat jengkel Presiden Sukarno. Kritiknya di surat kabar yang menyebut Presiden Pertama RI sudah menjadi pemimpin tangan besi dan pemimpin yang otoriter.
Baca Juga: Profil Letnan Komaruddin: Kebal Senjata, Keliru Tanggal Serangan Umum 1 Maret 1949
Perdebatan seru antara Soedjatmoko dengan Sukarno pernah menjadi kericuhan yang mengakibatkan mantan Anggota Konstituante Indonesia dalam sidang PBB ini pergi mengasingkan diri ke luar negeri.
Soedjatmoko sempat merasa khawatir karena terancam oleh pemerintah Orde Lama Sukarno yang otoriter. Saat itu pilihannya hanya dua, pergi keluar negeri, atau tetap tinggal di Indonesia tapi menjadi tahanan politik Orde Lama.
Dari peristiwa yang melibatkan konflik politik antara Soedjamoko dan Sukarno ini, penulis tertarik untuk mengajak Anda melihat bagaimana sejarah kehidupan pria yang akrab dipanggil dengan nama “Koko” tersebut.
Profil Kehidupan Soedjatmoko
Menurut Olman Dahuri dalam penelitian akademik kajian sejarah Indonesia berjudul, “Soedjatmoko dan Orde Baru (1968-1989)”, (Dahuri, 2007: 47-48), Soedjatmoko lahir pada tanggal 10 Januari 1922 di Sawah Lunto, Sumatera Barat.
Soedjatmoko lahir dari pasangan ningrat Jawa dengan perempuan Sumatera yaitu, Mohammad Saleh Mangundiningrat (ayah), dan Isnadikin, bt. Tcitrokusumo (ibu).
Mohammad Saleh Mangundiningrat, ayah dari Soedjamoko ini merupakan bangsawan kaya asal Surakarta. Profesinya adalah dokter spesialis bedah dan kandungan di Rumah Sakit milik Belanda.
Pernikahan antara Isnadikin, dan Mohammad Saleh Mangundiningrat juga berawal dari profesi sang ayah yang menjadi dokter di Rumah Sakit Chirurgie, Sumatera Barat selama 3 tahun berdinas.
Pertemuan ayah dan ibu Soedjatmoko ini berawal saat Assisten Kesehatan Kolonial Belanda, menugaskan dr. Mohammad Saleh Mangundiningrat pindah ke Sumatera Barat.
Entah bagaimana pertama kali Isnadikin bisa bertemu dengan Mohammad Saleh Mangundingrat.
Baca Juga: Pierre Andreas Tendean, Pengawal AH Nasution yang Jadi Korban G30S PKI
Tidak banyak referensi yang menyebutkan keterkaitan mereka sebagai apa. Namun kisah cinta ayah dan ibu Soedjatmoko terekam oleh keluarganya ketika sang ayah pindah dinas.
Meskipun Soedjatmoko lahir di Sumatera Barat tidak berarti Ia fasih dan terampil memahami kebudayaan Sawah Lunto. Sebab tidak lama setelah Soedjatmoko lahir, sang Ayah yang menjadi dokter itu pindah tugas kembali ke Jawa, yaitu ke daerah Kediri, Jawa Timur.
Di Kediri, Soedjatmoko kecil tumbuh menjadi remaja. Namun di tengah keasyikannya dengan budaya Jawa, sebagaimana biasa, ayahnya kembali ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk pindah ke Eropa.
Ayahnya bukan pergi dinas menjadi seorang dokter. Akan tetapi kepindahan Soedjatmoko bersama keluarganya ke Belanda untuk menemani sang ayah melanjutkan studi beasiswa kedokteran di Universitas Amsterdam pada 2 Maret 1927.
Zaman Jepang Hingga Jadi Anggota Konstituante
Karena lahir dari keluarga intelektual, profil Soedjatmoko tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan cerdas. Terampil dalam segala hal, seperti menjadi seorang dokter dan politisi.
Keterampilan Soedjatmoko menjadi pribadi yang cerdas terlihat dari latar belakang pendidikannya dari kecil sampai dewasa.
Soedjatmoko tercatat pernah sekolah di Hogere Burger School (HBS) sekolah menengah umum khusus untuk orang Belanda. Masuknya Soedjatmoko dalam sekolah ini tidak lain karena kepintarannya yang melampaui anak-anak Eropa.
Setelah dari HBS, Soedjatmoko melanjutkan sekolah kedokteran sebagaimana sang ayah di School tot Opleding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia hingga tahun 1943.
Masa studi Soedjatmoko terganggu dan tidak selesai akibat datangnya pendudukan Jepang.
pada akhir tahun 1942, Ia dikeluarkan dari STOVIA oleh pemerintahan penjajah Jepang karena merupakan keluarga pro Belanda. Selain itu karena profil Soedjatmoko dikenal sebagai kerabat dekat aktivis Sosialis Sutan Sjahrir.
Menjadi Politisi
Saat itu Sutan Sjahrir yang menjadi buronan Jepang karena perjuangan politik bawah tanah merupakan kakak ipar dari Soedjatmoko. Karena hal ini Jepang memutuskan agar semua kerabat atau orang terdekat politisi anti Nippon untuk membatasi aktifitasnya.
Karena terlanjur “basah”, Jepang sudah mengetahui Soedjatmoko orang terdekat Sutan Sjahrir. Akhirnya pemuda yang kala itu akrab dengan sapaan Koko memberanikan diri menjadi politisi.
Baca Juga: Kasman Singodimedjo, Jaksa Agung Pertama RI yang Religius
Hal ini pun mendapat sambutan positif dari kakak iparnya (Sutan Sjahrir). Mereka berdua kemudian mendirikan majalah. Kemudian keduanya menjadi wartawan bayangan dengan menulis jurnal mingguan berbahasa Belanda dengan nama majalah “Het Inzicht”.
Isi dari majalah ini berupa opini yang menyudutkan Jepang supaya mundur dari Indonesia. Karena Negeri Matahari Terbit ini akan kalah menghadapi Sekutu di Perang Dunia II.
Alhasil opini ini benar, Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Nama Soedjatmoko dan Sutan Sjahrir semakin terkenal, sebagian rakyat Indonesia menyamakan kedudukannya sebagai intelektual yang sepantar dengan Sukarno-Hatta.
Akibat peristiwa ini, nama Soedjatmoko menjadi terangkat dalam dunia politik Indonesia masa diplomasi dengan Belanda. Terutama ketika Republik Indonesia sedang memperjuangkan pengakuan dunia Internasional sebagai negara yang merdeka.
Soedjatmoko ditunjuk Sutan Sjahrir sebagai Anggota Konstituante mewakili suara Republik Indonesia di sidang PBB yang berlangsung di Amerika Serikat pada 14 Agustus 1947.
Karena pengalamannya dalam dunia politik diplomasi, Soedjatmoko kemudian mampu mengawal Republik Indonesia dalam mendapatkan pengakuan Internasional sebagai negara yang merdeka, dan dilindungi oleh undang-undang PBB pada tahun 1949.
Kritik terhadap Sukarno
Selepas berjuang dalam politik diplomasi Indonesia-Belanda di meja sidang PBB tahun 1947-1949, profil Soedjatmoko yang seorang intelektual melanjutkan karirnya dalam bidang pengajaran.
Menjadi seorang dosen dan kolumnis opini di berbagai surat kabar khusus untuk mengkaji langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Nama Soedjatmoko begitu terkenal di berbagai surat kabar Nasional tatkala menyinggung Sukarno sebagai pemimpin negara yang otoriter. Kritik habis-habisan Soedjatmoko dalam surat kabar membuat Sukarno naik pitam.
Saat itu, negarawan yang berpengalaman dalam sidang PBB tahun 1947 ini pernah akan dicekal oleh pemerintah Orde Lama Sukarno akibat kritiknya yang pedas.
Akan tetapi Soedjatmoko selamat karena sebelum Presiden Sukarno menugaskan anak buahnya untuk menangkap Soedjatmoko, saat itu sudah terlambat.
Sebab Soedjatmoko sudah pergi keluar negeri bersama keluarganya dan memilih tinggal di Amerika Serikat dengan pekerjaan sehari-hari menjadi seorang akademisi (dosen).
Masih menurut Olman Dahuri, (Dahuri, 2007 51-54), kebiasaan Soedjatmoko dalam melontarkan kritik yang pedas untuk penguasa sebetulnya sudah terasah semenjak masih menjadi Mahasiswa di STOVIA.
Anak dari seorang bangsawan ningrat Surakarta ini pernah bergabung dan aktif dalam sebuah Club diskusi yang membahas isu-isu politik Internasional bernama, Club of Rome.
Saat itu club diskusi ini kebanyakan isinya adalah orang-orang Eropa. Soedjatmoko merupakan satu-satunya pribumi yang bisa mengimbangi pola pikir orang Belanda dalam organisasi tersebut. Biasanya diskusi Club of Rome ini membahas tentang isu kemanusiaan, dan lingkungan.
Kritis di Era Orde Baru
Pemikiran kritis Soedjatmoko tidak hanya memuncak pada era Orde Lama saja. Rupanya seorang mantan jebolan Club of Rome ini juga semakin kritis ketika Sukarno lengser, dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru Suharto.
Beberapa referensi mengatakan Soedjatmoko dekat dengan Presiden Suharto. Namun prinsip kritis yang lekat padanya tidak mudah membuat Orde Baru mempengaruhi sikap dan pemikiran Soedjatmoko. Ia pun tidak memperlemah suaranya dalam melontarkan kritik kepada pemerintah.
Sikap kritis Soedjatmoko untuk Orde Baru pernah terjadi ketika peristiwa MALARI (Mala Petaka Lima Belas Januari, 1974). Seorang kombatan Anggota Konstituante yang dikirim Sjahrir untuk berdiplomasi dengan PBB ini pernah dituding Suharto sebagai salah satu dalang peristiwa tersebut.
Kendati pun demikian, belum ada bukti yang cukup untuk memutuskan Soedjatmoko bersalah karena memimpin demo MALARI. Namun berdasarkan peristiwa ini kita bisa memahami bagaimana sikap kritis Soedjatmoko tidak luntur oleh zaman. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)