Profil Cut Nyak Dhien memang tidak asing lagi bagi telinga kita, namun kisah yang satu ini jarang kita ketahui. Cut Nyak Dhien ternyata menikah pada usia masih belia.
Menurut berbagai catatan sejarah Indonesia, pernikahan belia Cut Nyak Dhien ini bagian dari upaya hubungan politik antar pejuang Aceh untuk melawan Belanda.
Kendati menikah pada umur belia, keluarga Cut Nyak Dhien menikahkan anaknya karena kepentingan silaturahmi perjuangan Aceh melawan Belanda.
Keluarga lantas “mengawinkan gantung” Cut Nyak Dhien dengan pasangan karena anak perempuannya itu belum cukup umur.
Baru setelah genap berusia dua belas tahun, Cut Nyak Dhien keluar dari masa kawin gantung ini dan menikah dengan seorang anak Uleebalang Aceh bernama Teuku Cik Ibrahim Lamnga.
Baca Juga: Haji Agus Salim, Siswa HBS Tolak Beasiswa Kartini ke Belanda
Pernikahan dini Cut Nyak Dhien dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga ini terbilang panjang. Namun, keduanya tidak merasa terpaksa menikah, sebab pernikahan ini berdasarkan cinta dari kedua belah pihak.
Bahkan salah satu penyebab Cut Nyak Dhien turun ke medan perang dan memimpin pasukannya melawan Belanda, antara lain karena gugurnya Teuku Cik Ibrahim Lamnga pada tahun 1878.
Profil Kehidupan Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848. Gadis cantik dan pemberani ini lahir dari pasangan suami istri yang merupakan golongan bangsawan Aceh.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia adalah pejabat Uleebalang IV Mukim yang juga keturunan langsung dari Kesultanan Aceh. Ia masih punya garis keturunan Sultan Iskandar Muda.
Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Cut Nyak Dhien tumbuh menjadi gadis yang sederhana. Tidak seperti kebanyakan teman-teman yang lahir dari pejabat lainnya, profil Cut Nyak Dhien terkenal lebih suka hidup merakyat dan bergaul dengan sesama teman dari berbagai golongan.
Semenjak gadis, Cut Nyak Dhien dikenal dengan keanggunannya. Wajahnya kuning langsat, badannya gemulai indah. Selain itu, Ia juga pandai dalam pelajaran agama dan ilmu rumah tangga.
Baca Juga: KH Mas Mansyur, Kolumnis Muhammadiyah yang Anti Kemusyrikan
Hal ini tidak lepas dari peran sang ayah yang menginginkan Cut Nyak Dhien pandai belajar agama. Selain itu, Ia juga harus terampil memasak dan melayani calon suaminya kelak.
Maka dari itu, Cut Nyak Dhien sudah mempelajari pelajaran Agama dan latihan berumah tangga sejak kecil. Karena prestasinya ini, banyak pria Aceh yang melamarnya.
Menikah pada Usia 12 Tahun
Kendati tidak ada pria yang cocok menikahi Cut Nyak Dhien, maka ayahnya Teuku Nanta Seutia memperkenalkannya dengan anak Uleebalang bernama Teuku Cik Ibrahim Lamnga.
Akhirnya wanita pemberani ini luluh pada pria berkharismatik dalam waktu kurang dari satu hari.
Sebab ketika Teuku Cik Ibrahim Lamnga datang bersama keluarganya untuk meminang, anak perempuan Teuku Nanta Seutia ini tersenyum lebar.
Dari gelagat Cut Nyak Dhien yang bahagia, sebetulnya sudah bisa ditebak jika Ia menerima lamaran Teuku Cik Ibrahim Lamnga sejak pertemuan awal. Namun Ayahnya memintanya untuk memikirkan lagi.
Sebab usia Cut Nyak Dhien masih di bawah umur, meskipun Ia sudah menerima lamaran Teuku Cik Ibrahim, ayahnya melarang perkawinan mereka diselenggarakan secepatnya.
Maka untuk menghindari perbuatan zina, keluarga Cut Nyak Dhien mempersilahkan untuk keluarga Teuku Cik Ibrahim Lamnga “mengawinkan gantung” (tunangan) terlebih dahulu. Dengan syarat hanya boleh menemui Cut Nyak Dhien divrumahnya dengan batasan tertentu.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip Muchtarruddin Ibrahim dalam buku Cut Nyak Din (1996).
Baru setelah berumur dua belas tahun mereka boleh menikah. Pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Cik Ibrahim pun berlangsung secara sederhana. Dari pernikahan ini mereka memiliki satu anak laki-laki.
Meskipun menikah pada usia belia, hubungan kasih sayang Cut Nyak Dhien dengan suaminya Teuku Cik Ibrahim Lamnga begitu harmonis.
Bahkan salah satu penyebab Cut Nyak Dhien memimpin pertempuran di medan perang antara rakyat Aceh melawan Belanda karena gugurnya sang suami.
Suami Cut Nyak Dhien gugur di medan perang pada tahun 1878. Teuku Cik Ibrahim Lamnga telah mati syahid karena memperjuangkan kebebasan rakyat Aceh dari belenggu kolonial Belanda.
Baca Juga: Syafruddin Prawiranegara, Presiden Indonesia yang Terlupakan
Terjun ke Medan Perang
Setelah pemakaman suaminya selesai di Muntasik, Cut Nyak Dhien yang masih belum sembuh dari kesedihan bersumpah akan membalas dendam kematian Teuku Cik Ibrahim Lamnga pada Belanda.
Suaminya yang telah berjuang sejak tahun 1873 mengusir Belanda dari Aceh ini gugur dengan sia-sia karena pengkhianatan.
Cut Nyak Dhien percaya bahwa suaminya sengaja dibunuh oleh Belanda atas bantuan pasukan Aceh pimpinan Habib Abdurahman.
Hal seiring dengan menyerahnya pasukan Habib Abdurahman pada Belanda pada tanggal 13 Oktober 1878.
Karena menyerah dan membantu mengalahkan pasukan Teuku Cik Ibrahim Lamnga, Habib Abdurahman menerima imbalan 12.000 dollar setiap tahunnya.
Untuk menghindari kejaran masyarakat Aceh termasuk dendam Cut Nyak Dhien, Habib Abdurahman pindah ke Jeddah dan tidak kembali ke Aceh hingga akhir hayatnya.
Pengkhianatan ini tidak terlupakan oleh Cut Nyak Dhien sampai akhir hayatnya. Cut Nyak Dhien terus berjuang melawan Belanda meskipun dalam keadaan sakit-sakitan.
Hingga pada akhirnya ketika tubuh Cut Nyak Dhien sudah renta, Belanda berhasil menangkap dia bersama pasukannya. Akibatnya Cut Nyak Dhien diasingkan hingga meninggal di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 6 November 1908. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)