Perampokan pernah terjadi di Tjintaratoe dan Panandjoeng Pangandaran pada tahun 1953. Akibatnya seorang kuwu terbunuh.
Sejarah kriminal di Pangandaran ini tercatat dalam koran berbahasa Belanda “de Nieuws geir” bertajuk “De henden in Priangan“. Koran menyebut pelaku tindakan kriminal tersebut adalah gerombolan ‘geng’.
Geng tersebut merampok belasan rumah di sepanjang desa Panandjoeng, Tjikemboelan, dan Tjintaratoe. Perampokan ini menimbulkan korban tewas akibat ditembak oleh gerombolan tersebut.
Tewasnya beberapa orang di Pangandaran karena perampokan yang terjadi pada tahun 1953, menimbulkan banyak masalah bagi penduduk sekitar, terutama masalah traumatik yang mendalam.
Penduduk merasa ketakutan, sehingga memerlukan perlindungan dari pihak keamanan untuk menghindari geng perampok.
Baca Juga: Banjir di Padaherang Pangandaran 1939, Kalipoetjang Tenggelam!
Sebagian melakukan ronda dengan cara membekali diri dengan perkakas sederhana sepeti, alat-alat pertanian, cangkul, golok, celurit, dan lain sebagainya.
Hal ini bertujuan untuk melindungi daerah mereka dari kemungkinan terjadi kembali perampokan massal oleh para gerombolan.
Peristiwa ini menarik untuk dibahas karena belum ada catatan sejarah kriminal yang sebelumnya terjadi di Pangandaran.
Selain itu peristiwa ini juga penting untuk diungkap karena banyak berkaitan dengan catatan kejahatan pertama dari rampok yang menggemparkan masyarakat sekitar Pangandaran.
Bahkan berita ini masuk dalam media massa koran berbahasa Belanda. Selengkapnya silahkan simak penjelasan lebih lanjut di bawah ini.
Perampokan di Tjintaratoe dan Panandjoeng Pangandaran 1953 Timbulkan Korban Jiwa
Surat kabar Belanda, “Java-bode: Nieuws handel – en advertentieblad voor Nederlandsch- Indie” tanggal 7 Agustus 1953, menyebut kerusuhan yang diciptakan oleh gerombolan perampok di Pangandaran telah menimbulkan korban jiwa.
Salah satu korbannya adalah Kepala Desa (kuwu) Tjintaratoe yang berumur 35 tahun bernama, Samsu alias Supartawidjaja.
Samsu tewas tertembak akibat melawan gerombolan perampok demi melindungi masyarakat Tjintaratoe.
Peran Kepala Desa Samsu mengejutkan warganya, sehingga saat itu Samsu atau Supartawidjaja ini menjadi tokoh pahlawan bagi masyarakat sekitar.
Banyak masyarakat di Tjintaratoe yang menghormatinya dengan mengantarkan jasad Samsu sampai ke tempat pemakamannya.
Sebagian masyarakat Tjintaratoe yang melihat peristiwa penembakan Kepala Desa Samsu menyebut, tewasnya Samsu oleh peluru gerombolan perampok terjadi ketika Ia sedang asik menarik pajak masyarakat di sebuah kampung terpencil di Tjintaratoe.
Baca Juga: Wabah Malaria di Pangandaran 1935, Pantai Pananjung Diisolasi
Versi lain ini menimbulkan kisah kontroversial, ada yang menyebut, perampokan di Pangandaran pada tahun 1953 ini sebagai tindakan perlawanan bagi penguasa tanah.
Sebab, kepala desa menguasai hampir semua hak kepemilikan tanah yang ada di Tjintaratoe. Sehingga ini merupakan bentuk pembalasan atas penindasan dari kaum aristokrat lokal yang menimpa masyarakat pedesaan.
Di Panandjoeng, 14 Rumah Terbakar
Dampak yang lebih parah dari peristiwa kriminal perampokan gerombolan di Pangandaran tahun 1953, terjadi di daerah Panandjoeng.
Hal ini tercermin dari terbakarnya 14 rumah. Perampok menjarah harta benda rumah tersebut sebelum membakarnya.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip koran Belanda “De Nieuwsgier” dengan tajuk “Moord” tanggal 07 Agustus 1953. Menurut kabar berita tersebut, kerugian akibat pembakaran rumah berkisar Rp. 9,697,-
Selain pembakaran rumah, gerombolan perampok yang terjadi di Panandjoeng juga menyebabkan terbunuhnya 2 anggota keamanan desa.
Korban tertembak karena berusaha melawan saat para perampok kepergok sedang menjarah isi rumah salah satu masyarakat di sana.
Berita yang ada di koran menyebut bahwa sebelum meninggal dunia, dua orang pengaman desa yang tertembak ini mengalami luka yang cukup parah.
Kejadian penembakan oleh gerombolan perampok di Pangandaran kemudian ditiru oleh kelompok perampok lainnya di daerah Tjikembulan.
Mereka menghabisi dua nyawa sekaligus mayarakat Tjikembulan yang berusaha menghalang-halangi perampokan.
Koran Belanda tersebut mengabarkan jika gerombolan perampok ini sangat kejam. Para pelaku perampokan di Pangandaran tahun 1953 tersebut tidak segan-segan menembak orang yang mencoba menghalang-halangi tujuannya saat akan merampok.
Meneror Daerah Tjiamis
Setelah terjadi di Pangandaran, beberapa saat kemudian teror rampok yang beranggotakan orang dengan senjata lengkap sebanyak 200 anggota akan meneror daerah Tjiamis.
Tentu kejadian ini menjadi bahan pikiran pemerintah setempat, sekaligus warga yang memiliki kekayaan lebih seperti pedagang dari etnis Tionghoa, dan para penguasa petani di pedesaan Tjiamis.
Para gerombolan rampok ini juga menghancurkan beberapa bangunan untuk menunjukkan bahwa kekuatan mereka tidak main-main.
Menurut “Java Bode: Terreur in Tjiamis” tanggal 07 Agustus 1953, para perampok itu telah menghancurkan 34 tempat tinggal termasuk rumah peribadatan umat Islam yaitu Masjid.
Baca Juga: Sejarah Wisata Pantai Pangandaran, Terkenal Sejak Tahun 1923
Gerombolan perampok ini tidak segan-segan untuk melakukan penghancuran apabila ada sejumlah penduduk desa yang sedang mewacanakan kegiatan untuk melawan mereka.
Dari aksi pembakaran bangunan yang disebabkan oleh aksi pemberontakan gerombolan perampok, masyarakat di Tjiamis setidaknya telah mengalami kerugian sebesar Rp. 43. 633. 50,-
Banyaknya kerugian yang harus dibayarkan untuk perbaikan penduduk dan fasilitas masyarakat lainnya, ternyata disebabkan juga oleh hancurnya bangunan balai pertemuan.
Seperti gedung pemerintahan daerah, dan titik-titik vital lainnya yang memiliki fungsi sebagai ruangan pemerintah daerah.
Begitulah kisah menarik dari sejarah kriminal di Pangandaran, ternyata di daerah Pangandaran yang sekarang tengah menjadi destinasi wisata populer, pernah terjadi peristiwa perampokan tahun 1953 yang menyebabkan korban jiwa. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)