Max Havelaar merupakan karya sastra pertama di Hindia Belanda yang penulisnya adalah orang Eropa. Isinya mengandung perlawanan pada kolonialisme dan pembelaan terhadap pribumi.
Dari isinya yang membela pribumi dari penindasan penjajah inilah yang kemudian mendapatkan dukungan R.A. Kartini. Pada usia muda Kartini mencintai Max Havelaar hingga terilhami untuk menggerakan perjuangan emansipasi wanita.
Buku Max Havelaar yang ditulis oleh orang Eropa bernama Multatuli ini juga mengajarkan kebebasan dan hak gender feminis untuk melepaskan dirinya dari genggaman kolonial.
Bahasan tentang kebebasan gender feminis inilah yang kemudian menggerakan hati Kartini untuk mendidik perempuan-perempuan Jawa supaya mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki.
Baca Juga: Profil Bastian Tito: Penulis Wiro Sableng, Ayah Vino G Bastian
Kisah Kartini memperjuangkan emansipasi wanita yang terinspirasi dari novel Max Havelaar ini menimbulkan ketertarikan penulis untuk membahasnya lebih dalam lagi.
Dengan demikian, maka artikel ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana peran novel Max Havelaar dalam perjuangan emansipasi wanita R.A. Kartini.
Apabila Anda tertarik untuk membaca lebih lengkap dari tulisan ini, silahkan simak penjelasan lebih lanjut berikut ini.
Max Havelaar, Literatur Fiksi Pertama di Hindia Belanda Ditulis Orang Eropa
Buku bergenre novel berjudul Max Havelaar ini merupakan literature fiksi pertama di Hindia Belanda yang ditulis oleh orang Eropa.
Penulisnya bernama Eduard Douwes Dekker, namun kemudian menyamarkan nama aslinya ketika menulis Max Havelaar dengan nama Multatuli.
Eduard terkenal sebagai pegawai asisten Belanda yang bertugas di Karesidenan Lebak, Banten pada tahun 1856.
Saat menjadi pegawai Belanda, dirinya geram melihat ketidakadilan yang dilakukan penjajah kepada bangsa pribumi.
Eduard ingin membela pribumi namun khawatir akan berdampak pada pemecatan kepegawaian yang bisa menyebabkan Ia dideportasi ke negara asalnya di Eropa.
Namun karena keadaan penindasan semakin menjadi-jadi bangsa Belanda ke orang pribumi, maka sejak saat itu Eduard memberanikan diri menjadi pahlawan di tengah ketidakadilan tersebut.
Perjuangannya semakin radikal tatkala dengan lantang Ia berhenti bekerja sebagai pegawai. Kemudian tidak memakai lagi nama Multatuli, dan mengakui secara terang-terangan jika Max Havelaar yang berisi sarkasme untuk pemerintah kolonial itu adalah karyanya.
Baca Juga: Haji Agus Salim, Siswa HBS Tolak Beasiswa Kartini ke Belanda
Karena pengakuan yang dianggap berani ini, maka dengan cepat pemerintah kolonial menangkap Eduard Douwes Dekker dan mengembalikan dia ke tempat asalnya di Eropa dengan keadaan yang melarat tanpa pesangon, apalagi dana pensiun yang tinggi.
Mempengaruhi Jalan Pikiran Kartini
Semenjak mencintai buku-buku karya Multatuli, terutama novel berjudul Max Havelaar, R.A. Kartini mengakui jika jalan pikirannya dalam memperjuangkan kebebasan rakyat Jawa dari kolonialisme dipengaruhi oleh gagasan Multatuli.
Pernyataan ini merupakan suatu kebanggaan yang tak ternilai bagi Eduard Douwes Dekker, sebab meskipun dilanda hidup yang melarat, namun karyanya bermanfaat bagi perjuangan emansipasi wanita sebagaimana yang diperjuangkan R.A. Kartini.
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam buku “Kartini Sebuah Biografi”, (Soeroto, 1979: 157), kesan Kartini yang menggambarkan jalan pikirannya terpengaruh oleh gagasan Multatuli ditunjukan dalam ucapannya: “Aku ingin tulisanku tak terlupakan seperti karya Multatuli”.
R.A. Kartini memberikan penghargaan untuk Max Havelaar sebagai novel roman feminis yang sebagian besarnya mempengaruhi perempuan Jawa untuk memperjuangkan emansipasi wanita.
Kartini mengaku juga sudah mewarisi gagasan Multatuli akibat membaca habis novel Max Havelaar. Wanita keturunan Bupati Jepara ini semakin percaya jika suatu saat nanti keadaan negerinya berubah, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Multatuli.
Selain itu, Multatuli juga menyebut jika emansipasi wanita ini bertumbuh dengan sempurna di Hindia Belanda, maka tidak akan ada peluang Barat mendominasi kekuasaan pribumi dalam bidang apapun.
Ucapannya ini kemudian memperkuat R.A. Kartini untuk berkeyakinan jika dirinya mampu merealisasikan emansipasi wanita yang sesuai dengan keinginan Multatuli di masa yang akan datang.
Mengilhami Perjuangan Wanita di Seluruh Jawa
Selain Kartini yang mengakui bahwa jalan pikirannya terpengaruh oleh Max Havelaar, rupanya novel Multatuli ini juga telah mengilhami sebagian besar wanita Jawa di zaman setelah Kartini meninggal dunia.
Salah satunya yakni perjuangan wanita S.K. Trimurti, seorang wartawati pemberani yang pemikirannya radikal seperti Multatuli.
Baca Juga: Sejarah S.K Trimurti Pelopor Wartawan Perempuan Indonesia Pertama
S. K. Trimurti mengakui jika tindakannya yang berani ini dipengaruhi oleh pemikiran keras Eduard Douwes Dekker dalam bukunya Max Havelaar.
Selain novel karya Eduard, Douwes Dekker, S.K. Trimurti juga dibantu oleh beberapa buku feminis Belanda lainnya. Pengalaman membaca tersebut membentuk kepribadiannya sebagai wanita pemberani.
Buku ini antara lain karya sastra yang ditulis oleh Ny. Goekoop – de Jong van Beek en Donk berjudul, “Hilda van Suylenburg”.
Novel ini berisi tentang kepahitan dan penderitaan seorang ibu yang terpaksa harus membawa anaknya apabila ingin bekerja seperti suaminya (lelaki).
Dalam pandangan Ny. Goekoop yang dicerminkan novel ini seharusnya wanita juga punya hak untuk bekerja dengan nyaman layaknya para laki-laki.
Sebab selama ini kaum wanita yang mencari nafkah sendiri selalu mendapatkan pekerjaan rumah tangga dan menjahit. Sedang pekerjaan-pekerjaan yang baik, dan enak hanya disediakan untuk kaum lelaki.
Menurut Ny. Goekoop, hal ini terjadi akibat orang-orang lebih kasihan kepada lapar kaum lelaki ketimbang laparnya kaum wanita.
Kutipan ini kemudian menjadi kata-kata yang paling diingat S.K. Trimurti hingga membentuk dirinya menjadi pemberani, dan aktivis feminisme yang selalu memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dengan kaum laki-laki. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)