Dalam surat kabar Belanda bernama “De Noord-Ooster: Bandjir in Preanger”, 17 Juli 1939 terdapat berita banjir hebat di Padaherang (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat). Banjir hebat tersebut akibat jebolnya tanggul penampung air di Bandjarsari (Banjarsari).
Peristiwa ini menarik untuk kita gali lebih dalam lagi karena ternyata meluapnya air banjir akibat kerusakan tanggul di Bandjarsari ini menyebabkan puluhan rumah tenggelam. Kalkulasi kerugian mencapai f. 350.000.
Sejarah lokal yang berkaitan dengan daerah di sekitar Pangandaran jarang terungkap, baik oleh media maupun para sejarawan.
Hal ini karena sumber yang ditemukan tak banyak, akan tetapi jika kita melirik sumber-sumber sejarah dalam koran berbahasa Belanda banyak sekali peristiwa lampau yang berkaitan dengan daerah Pangandaran.
Baca Juga: Soetanti Aidit: Istri Ketua PKI, Ahli Akupuntur Pertama di Indonesia
Salah satunya tragedi banjir hebat di Padaherang yang pernah terjadi pada tahun 1939. Berikut pembahasan peristiwa sejarah banjir bandang yang melanda Padaherang tahun 1939. Pembahasan meliputi apa penyebabnya, dan bagaimana pemerintah kolonial mengatasi masalah berikut.
Penyebab Banjir Hebat di Padaherang Pangandaran Tahun 1939
Mengutip redaksi Koran Belands “De Noord-Ooster: Bandjir In Preanger”, (17, Juli 1939), penyebab utama dari peristiwa banjir bandang di Padaherang akibat jebolnya tanggul penampung air dari daerah Bandjarsari.
Tanggul tersebut merupakan tempat menyimpan cadangan kebutuhan air untuk ladang persawahan yang diambil dari intensitas curah hujan sepanjang tahun.
Jebolnya tanggul irigasi di Bandjarsari ini karena debit air yang meluap akibat intensitas hujan yang tinggi, dan tidak berhenti selama berhari-hari.
Dampaknya air meluap sampai jauh, hingga sampai ke beberapa daerah, antara lain dari Bandjarsari ke, Tjiawitoli, Padaherang, Paledah, dan Kalipoetjang.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip sumber koran Belanda yang sama yaitu, “De Noord- Ooster: Bandjir In Preanger”, (17 Juli 1939).
Keadaan air terus menggenang meskipun intensitas curah hujan menurun. Beberapa daerah di atas masih tenggelam setinggi tiga meter.
Baca Juga: Kebakaran Hutan di Mojokerto 1891-1925, Penggembala Kambing Jadi Tersangka
Hal ini karena kondisi tanah yang biasa menyerap air dengan cepat tertimbun lumut tebal, akibat tergenang air banjir berhari-hari.
Redaksi koran Belanda tersebut kemudian menyebut Padaherang sebagai daerah yang tenggelam oleh air kotor yang berwarna cokelat, dan sedikit terlihat kumuh.
Ribuah Hektar Sawah Tenggelam
Selain menimbulkan kerugian akibat jebolnya tanggul di Bandjarsari sebanyak f. 350.000,- peristiwa ini juga telah menenggelamkan ribuan hektar sawah di sepanjang Padaherang yang terbentang luas sampai ke Kalipoetjang.
Banjir bandang yang menimpa Padaherang juga dilaporkan telah menghancurkan beberapa bangunan vital milik pribumi, dan pemerintah kolonial.
Seperti hancurnya 6 rumah penduduk sekitar, dan terseretnya Fabriek batu bata yang berada di daerah Paledah, Padaherang.
Diduga daerah Paledah menjadi jalur air banjir yang deras, sehingga kerusakan yang ditimbulkan begitu hebat.
Tenggelamnya ribuan hektar sawah di Padaherang menimbulkan berbagai kerugian. Seperti gagalnya panen yang menghambat laju konsumsi pada beberapa titik di daerah Priangan.
Hal ini tentu mengganggu aktivitas penduduk karena terjadi krisis pangan yang menyebabkan kelaparan berkepanjangan.
Padaherang dan Kalipoetjang Tenggelam
Padaherang dan Kalipoetjang dikabarkan tenggelam berhari-hari. Debit airnya selalu tinggi dan sulit untuk surut.
Oleh karena itu Residen Tjiamis (Ciamis) memantau langsung penyebab banjir yang tak kunjung surut di Padaherang-Kalipoetjang.
Baca Juga: Sejarah Penamaan Kota Bandung, Ternyata Berasal dari Nama Tumbuhan
Saat itu jalur lalu lintas Bandjar ke Batoelawang tertutup akibat banjir yang terjadi di Padaherang.
Selain itu, banjir bandang ini juga telah merusak lumbung padi masyarakat Lakbok. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan beras sebagai bahan pangan sehari-hari.
Sejarah banjir bandang di Padaherang ini menimbulkan masalah yang kompleks bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Priangan Selatan.
Peristiwa ini sebagaimana tergambar dalam koran Belanda berikutnya bernama “De Locomotief” yang terbit pada tanggal 14, Agustus 1939, dengan judul “De Overstroomingen in Bandjarsari”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)