Asal-usul nama Kanjuruhan, pertanyaan yang mungkin mencuat setelah terjadi tragedi memilukan di stadion Kanjuruhan, Kota Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022 lalu.
Di balik menonjolnya Stadion Kanjuruhan, sekilas orang yang membaca berita pasti bertanya-tanya apa arti sesungguhnya dari nama “Kanjuruhan”.
Berikut ini sejarah nama “Kanjuruhan” yang meliputi, asal-usul nama Kanjuruhan, pertama ditemukan di mana, dan apa saja keunikannya?
Asal-usul dan Arti Nama Kanjuruhan
Penamaan Stadion Kanjuruhan rupanya diambil dari sebuah prasasti kerajaan Dinoyo, yang sekarang adalah Kota Malang, Jawa Timur.
Prasasti yang memakai bahasa Jawa Kuno tersebut salah satu bukti sudah adanya kota Malang pada 12 abad yang lalu.
Prasasti Kanjuruhan terbilang peninggalan sejarah zaman kerajaan Dinoyo yang unik. Keunikan ini terdapat dari penggunaan aksara prasasti yang memakai huruf Jawa Kuno pertama, yang ditemukan oleh Arkeolog-Filolog di Indonesia.
Para ahli mengatakan penggunaan huruf Jawa Kuno dari prasasti Kanjuruhan ini merupakan bukti masa peralihan dari zaman aksara sansekerta, ke aksara lokal masyarakat Jawa.
Secara garis besar prasasti ini menunjukkan kejayaan kerajaan Dinoyo. Sementara menurut informasi dari hasil penelitian, prasasti Kanjuruhan ini dibuat antara tahun 682 Saka, atau tahun 760 Masehi.
Pemerintahan Dewa Simha
Prasasti Kanjuruhan yang terletak di Dinoyo (Malang) menyebut bahwa pertama kali negeri ini dipimpin oleh pemerintahan Dewa Simha.
Salah seorang pemimpin yang paling diagungkan oleh masyarakat Hindu-Budha di Jawa Timur. Sebagian pendapat menafsirkan Raja Simha sebagai pusat pemerintahan di Jawa Timur.
Figur Dewa Simha dalam kepercayaan masyarakat Jawa bahkan hampir disamakan dengan sosok Mahadewa: Dewa Siwa.
Barangkali karena kepemimpinan Dewa Simha yang kuat, tidak seorang pun berani melawan kehendak dan titahnya. Hal inilah yang kemudian memunculkan personifikasi Dewa Simha sebagai jelmaan Siwa di negeri Dinoyo.
Adapun peninggalan Dewa Simha (Pemimpin Dinasti Kanjuruhan) yang bisa kita temukan di Malang antara lain, Arca Maharasi Agstya. Arca tersebut berada di komplek Candi Badut.
Candi Badut terletak di dekat Kota Malang. Di sana juga terdapat peninggalan lain Dewa Simha yang berwujud Lingga. Peninggalan tersebut menggambarkan Arca Putrikesawa – Lambang Dewa Siwa yang berubah wujudnya menjadi “Mahaguru”.
Sepeninggal Dewa Simha, Berganti pada Anaknya ‘Gajayana’
Menurut Rully Dwi Oktaviantoro, dkk dalam Jurnal UNEJ berjudul, “Kajian Historis tentang Candi Badut di Kabupaten Malang”, (Oktaviantoro, 2013: 196-208), sepeninggal Dewa Simha Raja Kerajaan Dinoyo, jabatannya turun pada sang anak bergelar Liswa Gajayana.
Dalam pemerintahan Gajayana, Negeri Dinoyo tumbuh menjadi kerajaan yang menentramkan setiap rakyat, pedagang, dan kaum brahmana (pemuka agama).
Sebab pemerintahan Dinoyo sebagaimana diceritakan dalam prasasti Kanjuruhan, tidak lagi diperintah oleh seorang raja yang semangat dalam peperangan.
Artinya pada masa kepemimpinan Dewa Simha kerajaan Dinoyo gemar melakukan penyerangan ke berbagai daerah kekuasaan Raja-raja di Jawa. Bahkan sampai ke Sumatera.
Namun ketika dipimpin oleh sang anak bergelar Liswa Gajayana, kerajaan Dinoyo berubah semakin pesat. Setidaknya perubahan itu tercermin dari ketentraman penduduk Malang yang tak merasa khawatir akan diserang kerajaan lain di luar kekuasaan Jawa Timur.
Oleh sebab itu, dalam prasasti Kanjuruhan sudah diceritakan seorang pengganti Dewa Simha yaitu Gajayana sangat dicintai oleh rakyat, dan para Brahmana.
Mereka tidak ingin kehilangan figur raja yang seperti Gajayana, kaum Brahmana sendiri mempertahankan kekuasaan Gajayana dari unsur-unsur pejabat kerajaan yang tidak suka dengan pemerintahannya.
Sebab beberapa kelompok pejabat di negeri Dinoyo menganggap pemerintahan Gajayana ini lemah. Tidak berani memperluas kekuasaan, apalagi memperkaya harta kerajaan. Meskipun demikian, rakyat tetap mencintai Raja Gajayana.
Sedangkan menurut keterangan yang ada dalam prasasti Kanjuruhan, kecintaan rakyat Dinoyo terhadap Raja Gajayana juga karena kesaktiannya dalam menyembuhkan orang yang sakit.
Penyakit apa saja apabila ditangani oleh Raja Gajayana maka dengan mukjizat Maha Kuasa bisa sembuh dengan cepat.
Rakyat dan kaum Brahmana merasa tentram hidupnya. Hal ini karena sang Raja bisa mengatasi segala permasalahan yang sedang diderita bersama oleh rakyatnya.
Begitulah sepenggal catatan sejarah yang ada dalam prasasti Kanjuruhan. Barangkali penamaan Kanjuruhan menjadi stadion sepak bola di Malang melambangkan kejayaan Malang yang sudah ada sejak 12 abad silam. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)