Kisah cinta orang biasa dan keturunan ningrat mungkin adalah kata yang cocok untuk kisah cinta Presiden Soeharto dan Hartinah atau Ibu Tien.
Presiden Soeharto memang bukan lahir dari keturunan ningrat atau kerajaan. Beliau lahir dari golongan orang biasa. Ayahnya bernama Kertosudiro yang merupakan seorang petani dan pembantu lurah, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Sejak kecil Soeharto sudah dititipkan pada seorang dukun beranak yang bernama Mbah Kromo. Soeharto diasuh hingga usianya menginjak 4 tahun. Melalui didikan dan kasih sayang Mbah Kromo, Soeharto bisa belajar berdiri hingga berjalan.
Meskipun lahir dari kalangan petani, namun Soeharto dapat dikatakan cukup beruntung karena bisa mengenyam pendidikan.
Baca Juga: Profil Iding Soemita: Buruh Kontrak Asal Tasikmalaya, Berpolitik di Suriname
Saat usianya menginjak delapan tahun, Soeharto berhasil masuk ke Sekolah Dasar Puluhan, Godean. Ketika ibu dan ayah tirinya pindah ke Kemusuk kidul, Soeharto pun turun pindah ke Sekolah Dasar Pedes.
Sebenarnya pertemuan awal Soeharto dan Hartinah sudah terjadi sejak keduanya menimba ilmu di Sekolah Menengah Pertama di Wonogiri, Jawa Tengah. Waktu itu Hartinah menjadi teman sebangku dari saudara sepupu Soeharto yang bernama Sulardi.
Tidak banyak yang akan menyangka bahwa sahabat sepupunya inilah yang kelak menjadi pendamping hidupnya.
Tulisan ini akan mengulas tentang kisah cinta Soeharto dan Hartinah, kisah cinta orang biasa dan keturunan ningrat.
Kisah Cinta Presiden Soeharto dan Hartinah (Ibu Tien)
Mengutip di dalam sebuah buku karya Ira Tri Onggo yang berjudul, “Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto’’, Soeharto sempat ragu ketika akan menikah dengan Hartinah yang keturunan ningrat.
Ayah Hartinah adalah pegawai Mangkunegaraan, sedangkan Soeharto hanya lahir dari kalangan rakyat biasa. Soeharto ragu apakah keluarga Hartinah akan menerimanya lamarannya.
Keraguan Soeharto juga ditambah dengan karirnya yang sedang naik di dunia militer. Soeharto takut dengan adanya pernikahan akan menghalangi karir militernya.
Meskipun sempat mengalami keraguan, nampaknya keluarga Hartinah tak memandang latar belakang Soeharto waktu itu. Lamaran dari perwira muda itu langsung diterima oleh kedua orang tuanya. Bahkan dikisahkan hanya Soeharto, satu-satunya laki-laki yang berhasil memikat hati Hartinah.
Baca Juga: Kisah Sukarno dengan Gadis Belanda, Cinta Ditolak Berbuah Merdeka
Pernikahan Soeharto dan Hartinah berlangsung pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Pernikahan keduanya memang dilangsungkan ketika Indonesia sedang mengalami periode revolusi fisik. Bahkan resepsi pernikahannya pun hanya bisa diterangi oleh lampu dan lilin karena takut akan serangan Belanda.
Pembangunan TMII dan Bukti Cinta Soeharto
Meskipun menikah dari hasil perjodohan, namun cinta Soeharto kepada Hartinah sangatlah besar. Bahkan dalam beberapa kasus kebijakan-kebijakan Soeharto seringkali mempertinbangkan keinginan dari istrinya.
Salah satu bentuk kecintaan Soeharto adalah ketika dibangunnya TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Sebuah proyek kawasan wisata yang menampilkan keragaman budaya Indonesia.
Proyek pembangunan TMII ini pada awalnya dianggap sebagai proyek yang tidak penting dan dianggap menghambur-hamburkan keuangan negara.
Meskipun mendapatkan berbagai kritik publik, faktanya pembangunan itu pun terus dilakukan.hingga diresmikan tepat pada tanggal 20 April 1975.
Banyak yang menganggap bahwa pembangunan Taman Mini Indonesia Indah ini merupakan bukti cinta Soeharto kepada istrinya yang sering disapa Bu Tien.
Namun, ada juga yang menganggap juga bahwa ide pembangunan TMII ini merupakan salah satu fakta bahwa Ibu Tien memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan oleh Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Indonesia yang kedua.
Soeharto Hampir Jadi Sopir Taksi
Peran Hartinah atau Ibu Tien dalam kehidupan Presiden Soeharto sangatlah penting. Beberapa tindakan yang dianggap mendapatkan pengaruh dari Ibu Tien salah satunya adalah ketika Soeharto sempat ingin mengundurkan diri dari militer ketika hampir dipecat oleh Letjen A.H. Nasution pada tahun 1959.
Waktu itu Soeharto berniat mengundurkan diri dari militer dan memilih menjadi sopir taksi setelah ketahuan terlibat dalam kasus impor ilegal.
Mendengar keputusan suaminya ini, Ibu Tien merespon dengan mengatakan, “Saya tidak pernah menikah dengan sopir taksi, karena saya menikah dengan seorang prajurit, seorang tentara.”
Kutipan ini dapat ditemukan dalam buku karya Abdul Gafur yang berjudul, “Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia”.
Pengaruh lain yang diberikan oleh Ibu Tien salah satunya adalah dengan dicetuskannya PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Menurut, Presiden Soeharto Ibu Tien adalah tipe seorang perempuan yang pencemburu, Sehingga dicetuskan PP Perkawinan ini yang berisi tentang aturan ketat bagi seorang PNS untuk berpoligami.
Baca Juga: Sejarah Kerusuhan Anti Cina di Indonesia yang Jarang Terungkap
Turut ikut sertanya Ibu Tien dalam urusan pemerintahan membuktikan betapa kuatnya peran dari Ibu Tien. Bahkan sempat beredar guyonan ketika Presiden Soeharto dilarang mencalonkan diri lagi sebagai presiden oleh putrinya.
Sambil tertawa Presiden Soeharto menjawab. “Lha wong saya baru dua tahun jadi presiden, sebelumnya kan yang menjabat ibumu!”
Wafatnya Hartinah dan Kesedihan yang Mendalam
Kisah cinta Presiden Soeharto dan Ibu Tien (Hartinah) mungkin adalah salah satu kisah cinta yang unik bagian sebagian besar orang.
Bagi Presiden Soeharto yang waktu itu hanya rakyat biasa, sangat tidak mungkin bisa menikahi seorang anak ningrat. Suatu kondisi yang agak kurang lazim di zaman tersebut.
Meskipun, pada akhirnya Hartinah juga memendam rasa kepada Soeharto yang waktu itu masih berkarir di militer.
Terlepas dari segala kebijakan positif maupun yang negatif, kesetiaan Hartinah dalam mendampingi Soeharto patut dijadikan sebuah monumen yang istimewa.
Tepat pada 28 April 1996 Ibu Tien menghembuskan nafas terakhirnya setelah terkena serangan jantung dan dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto.
Setelah Ibu Tien wafat, dua tahun kemudian Presiden Soeharto turun dari jabatannya setelah 32 tahun menjabat sebagai presiden.
Mengutip dalam buku Pak Harto: The Untold Stories, setelah wafatnya Ibu Tien, Presiden Soeharto lebih banyak menghabiskan waktu di rumahnya yang ada di Jalan Cendana.
Bagi Soeharto kehilangan Ibu Tien merupakan kesedihan yang mendalam, mengingat Ibu Tien lah yang menemaninya baik dalam keadaan senang maupun sedih.
Menurut penuturan Bambang Sutanto, mantan pimpinan TMII, sejak Ibu Tien meninggal Presiden Soeharto sering mengunjungi TMII. Bagi Presiden Soeharto TMII menjadi obat kerinduannya setelah istri tercintanya wafat. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)