Sikep dan Sentana merupakan golongan kelas sosial elit di tanah Sunda. Golongan ini berasal dari para pedagang sukses.
Pada pertengahan abad ke-16, Priangan merupakan wilayah dengan pembagian kelas sosial berdasarkan pada aturan feodalisme aristokrat Sunda.
Mereka (aristokrat Sunda) menggolongkan pembagian kelas sosial masyarakatnya berdasarkan dua golongan besar. Kedua golongan tersebut adalah golongan menak (ningrat), dan golongan jalma leutik (pribumi biasa).
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, terutama ketika kekuasaan kerajaan di Priangan mulai terampas oleh Mataram, kelas sosial masyarakat di Priangan bertambah menjadi tiga.
Kelas sosial tersebut yaitu golongan sikep dan sentana. Golongan masyarakat di Priangan ini masuk dalam kategori priyayi bukan dari keturunan raja (ningrat/menak) melainkan dari golongan pedagang yang sukses dan kelompok tuan tanah di pedesaan.
Baca Juga: Sejarah Penamaan Kota Bandung, Ternyata Berasal dari Nama Tumbuhan
Tumbuhnya golongan ini karena anggapan bahwa kelas sosial dalam tradisi masyarakat pedesaan Priangan tidak begitu kuat seperti di wilayah Jawa Tengah.
Bahkan kedudukan menak atau ningrat keturunan raja (jika di Mataram) akan terdominasi oleh golongan masyarakat menengah yang kuat ilmu agama Islamnya.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam buku karya Breman berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerjapaksa: Sistem Priangan dari Tanampaksa Kopi di Djawa (1720-1870)”, (Breman, 2014: 35).
Sejarah Awal Kemunculan Golongan Sikep dan Sentana
Sejarah awal kemunculan elit baru pedesaan di Priangan bernama sikep dan sentana belum pasti bisa kita telusuri sejak kapan terbentuk.
Akan tetapi laporan kolonial yang ada di Arsip Nasional menyebut jika golongan pedagang sukses Priangan ini sudah ada sejak abad ke-16 masehi.
Sejak abad ke-16 seorang sikep dan sentana lahir dari golongan keluarga tuan tanah. Biasanya salah satu keluarga mereka merupakan penguasa tanah di pedesaan Sunda.
Tidak jarang orang tua mereka memiliki ratusan surat tanah atas kepemilikan tanah sendiri. Sebagian masyarakat menengah pedesaan menganggap ini adalah bentuk penindasan dari rakyat sendiri.
Banyak orang-orang kecil (jalma leutik) dari pribumi yang kerap menentang para sikep dan sentana. Hal ini karena mereka sering menimbulkan kerugian bagi kehidupan orang-orang kecil.
Oleh sebab itu pada pertengahan tahun 1600-an simbol sikep dan sentana, serta kejayaan feodalisme di tatar Sunda mulai rapuh. Sampai akhirnya tergantikan oleh kekuasaan Mataram.
Tugas dan Kewajiban Siken dan Setana
Sebelum hancurnya sistem feodalisme di tatar Sunda, orang-orang dari golongan sikep dan sentana adalah kelompok yang pandai melakukan transaksi perdagangan.
Baca Juga: Sejarah Buruh Wanita di Perkebunan Teh Priangan Zaman Kolonial
Mereka terkenal sebagai pedagang rempah pada Belanda. Barang-barang dagangan yang mereka jajakan berupa gerabah, hasil panen perkebunan, dan kebutuhan pokok sehari-hari termasuk hasil ternak.
Namun selain sukses menjadi seorang pedagang, golongan sikep dan sentana juga memiliki tugas yang lain. Salah satunya tugas untuk memayungi hubungan baik mereka dengan pemerintah kolonial.
Tugas dan kewajiban sikep/sentana guna mempererat tali persaudaraannya dengan Belanda. Tugas tersebut termasuk tugas mengontrol tanah, mengurus tanah secara administrasi, dan menguasai perbudakan untuk kepentingan pertanian.
Akan tetapi beberapa pendapat mengatakan bahwa seorang sikep dan sentana juga bertanggung jawab atas tugasnya yaitu, mengontrol modal perdagangan.
Mobilisasi kontrol modal ini bertujuan untuk menghindari adanya monopoli dari orang-orang Asing diluar kepentingan antara sikep/sentana dan orang Belanda (VOC).
Pemerintah VOC menilai kerja sikep dan sentana baik. Mereka totalitas dan mengabdikan dirinya kepada orang Belanda, padahal secara administratif keperluan duniawinya sudah tercukupi.
Karena loyalitasnya yang tinggi, pemerintah VOC menginisiasi golongan sikep dan sentana dari elit perdesaan baru ini untuk membangun sebuah lembaga simpan pinjam seperti bank.
Terutama badan pinjaman dalam bentuk kredit produktif untuk usaha pribumi. Tujuannya untuk meraup keuntungan yang banyak karena bunga kredit sangat tinggi dan tak masuk akal.
Baca Juga: Saudagar Bandoeng dari Pasar Baru, Komunitas Pedagang Sukses Tahun 1906
Dampak Lahirnya Elit Pedesaan
Keberadaan elit pedesaan baru yang lahir dari keluarga tuan tanah ini menimbulkan dampak yang negatif bagi kehidupan pribumi.
Banyak golongan pribumi yang setiap hari bekerja sebagai petani merasa tertindas dengan aturan kredit bank milik seorang sikep dan sentana.
Hal ini terjadi karena para petani yang belum bisa membayar bunga pinjaman satu hari, terpaksa harus merelakan ladang sawahnya untuk diambil kemudian diakuisisi oleh para sikep dan sentana.
Kehidupan petani pedesaan semakin terpinggirkan dari kehidupan ekonomi yang layak. Sementara kehidupan yang bergelimang harta sangat akrab dengan lingkungan keluarga sikep dan sentana.
Masalah semakin meluas tatkala pada pertengahan abad ke 16 penduduk Priangan mengalami peningkatan yang begitu drastis.
Kepadatan penduduk menjadi masalah yang paling berarti karena jumlah tanah orang-orang pribumi menyempit akibat dominasi politik simpan pinjam bank sikep dan sentana yang licik.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip Sri Ana Handayani dalam Jurnal Lembaran Sejarah UGM berjudul “Geliat Ekonomi Masyarakat Priangan Era Pemerintahan Hindia Belanda 1900-1942”, (Handayani, 2017: 230). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)