Sejarah PGRI sangat menarik kita bahas cukup mendalam. Apalagi dalam sejarah Indonesia organisasi ini sempat pecah akibat ulah PKI.
Perlu Anda ketahui, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan sebuah organisasi nasional yang mewadahi profesi Guru di seluruh Indonesia.
Perpecahan di tubuh PGRI saat itu akibat ulah PKI yang menyebabkan pertentangan antara dua kubu.
Sebelum Pemilihan Umum tahun 1955 berlangsung, seluruh anggota PGRI beranggotakan Guru yang taat pada perintah Pancasila.
Namun setelah Pemilihan Umum berlangsung kurang dari enam bulan mendadak sebagian anggotanya ada di pihak PKI.
Ternyata setelah diusut lebih dalam, motif berpindahnya sebagian anggota PGRI ke PKI karena saat itu partai berlambang palu dan arit tersebut mempengaruhi PGRI melalui atensi politik.
Sebagaimana diketahui oleh banyak pihak, pasca Pemilu 1955 atensi politik masyarakat meningkat.
Tak heran beberapa organisasi nasional lain pun juga terpecah menjadi organisasi simpatisan partai tertentu. Hal ini pernah terjadi pada PGRI di tahun 1950-an.
Saat itu sebagian anggota PGRI yang terpengaruh oleh PKI, salah satu kubu mendirikan organisasi persatuan Guru tandingan. Namanya saat itu Persatuan Guru Republik Indonesia Non-Vaksentral.
PGRI Non-Vaksentral ini kebanyakan sebagai anggota pecahan dari PGRI sebelumnya, mereka memilih bergabung dengan PKI karena partai tersebut mewakili aspirasi Guru-Guru di pedesaan.
Baca juga: Mahmilub Pasca Peristiwa G30S/PKI, Rahasia Partai Komunis Terbongkar
Fakta Sejarah PGRI yang Terlibat Konflik dengan PKI
Persatuan Guru Republik Indonesia bukanlah organisasi Guru yang baru. Sebab, organisasi ini sudah ada sejak jaman pemerintah Hindia Belanda.
Awal mula terbentuknya PGRI berasal dari keinginan para pekerja yang berprofesi sebagai Guru akan kesejahteraannya. Mereka membentuk Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1894.
Saat itu, profesi Guru masih identik dengan para pekerja layaknya buruh. Oleh sebab itu sebuah organisasi yang bertujuan membangun dan mendorong kesejahteraan Guru harus berdiri.
Hingga pada era kemerdekaan tahun 1945, PGHB ini berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Namun seiring penyempurnaan Negara, PGI kembali diubah namanya menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
PGRI akhirnya tumbuh menjadi organisasi dengan skala nasional, ranting-ranting di setiap daerah berdiri.
Dalam hal ini, PGRI yang ada di daerah menjadi sumber persatuan Guru untuk menciptakan kesejahteraan nasib para pengajar.
Masih soal sejarah PGRI, menjelang Pemilihan Umum 1955, PGRI mulai menjadi organisasi yang kehilangan orientasi. Penyebabnya karena atensi politik masyarakat saat itu sangatlah kuat.
Berbagai lapisan masyarakat dengan ragam profesi, termasuk Guru, berupaya menjadi anggota, atau simpatisan salah satu partai yang saat itu mendaftar Pemilu.
Salah satu partai yang paling kuat dalam Pemilu 1955 yakni PKI. Sebagian anggota PGRI ada yang bergabung dengan partai tersebut, sehingga suasana dalam organisasi PGRI memanas.
Akibatnya PGRI menjadi organisasi Guru yang terpecah menjadi dua kubu. Ada kubu PGRI dan kubu PGRI Non-Vaksentral yang berafiliasi dengan PKI.
Baca juga: Ideologi Komunis di Indonesia: Menyusup ke Sekolah, Berkembang Lewat Jalur Kereta
Atensi Politik Anggota PGRI Daerah Tinggi
Menurut Angga Prasetyo, dkk dalam Jurnal Istoria berjudul “Dinamika Konflik Antara Persatuan Guru Republik Indonesia dan Partai Komunis Indonesia”, (Angga Prasetyo, 2020: 9), perpecahan PGRI menjadi dua kubu akibat atensi politik anggota yang tinggi.
Melihat hal tersebut membuat PKI langsung berusaha memanfaatkan situasi.
Partai pimpinan DN. Aidit ini pun mendekati PGRI dan membujuknya supaya menjadi Guru yang revolusioner dengan cara bergabung bersama PKI.
Usaha PKI ini berhasil. Sebagian anggota PGRI ingin bergabung dengan PKI.
Akhirnya partai kiri ini menginfiltrasi PGRI dengan cara membuat organisasi tandingan, yaitu PGRI Non-Vaksentral. Organisasi tandingan tersebut berdiri sejak tahun 1963.
Menurut Angga Prasetyo yang juga mengulas sejarah PKI menyebut bahwa PGRI Non-Vaksentral diinisiasi oleh Subandri dan Muljono.
Agenda kerja organisasi ini pun tidak jelas arahnya. Sebab, PGRI Non-Vaksentral ini hanya alat PKI untuk menghambat kemajuan organisasi lain.
Dalam sejarah PGRI, salah satu contoh tak bergunanya antara lain, ketika PGRI Non-Vaksentral ini memiliki agenda mengganggu rapat kerja mantan organisasinya dulu, PGRI.
Agenda kerja tersebut dibuat oleh Subandri dan Muljono yang kala itu orang PKI berperan dalam pembentukan PGRI Non-Vaksentral.
Beberapa bentuk gangguannya yaitu, melakukan sabotase rapat, seperti mematikan aliran listrik, mengempesi ban kendaraan dan lain sebagainya.
Tujuannya yaitu menggagalkan rapat penting dari PGRI yang asli, dan menghasut anggota PGRI lain agar bergabung dengan PGRI Non-Vaksentral (PKI).
Anggota PGRI Asli Terhasut PKI karena Minim Biaya
Menurut Rakhmat Hidayat dalam penelitiannya berjudul “Dinamika Sosial Gerakan Guru di Indonesia”, (Hidayat, 2011: 24) terhasutnya anggota PGRI “Asli” oleh PKI karena mini biaya organisasi.
Kendati begitu, saat itu PGRI telah menetapkan iuran yang lumayan mencukupi dan wajib dibayarkan setiap bulan yaitu sebanyak Rp. 150.
Namun pembiayaan organisasi selalu kurang karena banyak yang menghutang alias tidak membayarnya.
Macetnya pembayaran tersebut terutama berasal dari anggota wilayah PGRI Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada kemungkinan ini terjadi karena sejak awal sudah terpengaruh tipu daya PKI.
Sementara PGRI di daerah Jawa Barat, Sumatera, dan sekitarnya tidak banyak dikabarkan terhasut oleh PKI.
Hanya saja ada beberapa informasi yang mengatakan bahwa PGRI Non-Vaksentral sering menghasut paksa kawan-kawan lamanya yang memilih setia dengan PGRI “Asli”.
Masih menurut Rakhmat Hidayat soal Sejarah PGRI, banyaknya anggota PGRI Non-Vaksentral di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan oleh agitasi PKI yang kuat.
PKI mempropagandakan tujuan memperjuangkan nasib Guru diseluruh Indonesia sebagai nasib yang sama layaknya seorang buruh yang revolusioner.
Oleh sebab itu, di tangan PKI PGRI Non-Vaksentral akan terus dikawal layaknya perkumpulan buruh, dan petani yang setiap hari memperjuangkan kesejahteraan nasib hidupnya.
Akan tetapi propaganda dan tujuan PKI tersebut hanya tipu muslihat. Sebab pada kenyataannya PGRI Non-Vaksentral menjadi organisasi Guru yang mandeg dan hanya dijadikan sebagai alat politik PKI dalam memperoleh dukungan massa untuk Pemilu mendatang.
Macam-macam Organisasi Guru yang Berpolitik
Selain PGRI Non-Vaksentral, ternyata organisasi Guru yang berpolitik sesuai dengan ideologi masing-masing partai juga menjadi penyebab PGRI terpecah belah.
Sebagaimana penjelasan di atas, ini semua terjadi karena atensi politik dari kaum Guru saat itu cenderung tinggi, dan apabila para Guru tidak berpolitik tampaknya ‘ketinggalan jaman’. Tentu ini sebagai model sosial yang baru saat itu.
Adapun beberapa organisasi Guru yang berdiri sesuai dengan ideologi partai yang mewakili perjuangannya antara lain, Ikatan Guru Marhaenis, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama, dan Persatuan Guru Islam Indonesia.
Artinya PGRI No-Vaksentral juga berdiri karena minat Guru berpolitik sangat tinggi. Perjuangan Guru mempetahankan kesejahteraan melalui jalur politik adalah tren yang populer.
Jika seorang Guru nasionalis, maka akan gabung dalam Ikatan Guru Marhaenis, jika Guru itu religius biasanya gabung ke Persatuan Guru NU, dan Persatuan Guru Islam Indonesia.
Begitupun jika Guru itu revolusioner kiri, maka PGRI Non-Vaksentral sebagai wadahnya.
Baca juga: Pengkhianatan PKI dan Fakta-faktanya Sejak Tahun 1924
Banyak Guru Tertangkap Akibat Terlibat G30S/PKI 1965
Masih menurut Angga Prasetyo soal sejarah PGRI, pasca meletusnya peristiwa G30S/ PKI (1965), banyak Guru yang dipenjara karena berafiliasi dengan PKI.
Tak heran dalam arsip-arsip yang berisi daftar nama tahanan G30S/PKI 1965 di berbagai daerah, terutama Jawa Tengah, dan Jawa Timur kebanyakan berprofesi sebagai Guru.
Maka jangan merasa terkejut mengapa Guru terlibat G30S/PKI, karena ternyata sebelum peristiwa kelam tersebut banyak Guru yang bergabung dengan PKI melalui organisasi PGRI Non-Vaksentral.
Dari peristiwa tersebut menyadarkan seluruh organisasi Guru agar meleburkan keanggotannya hanya dalam satu organisasi yaitu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Mereka juga mendukung pemurnian PGRI dengan cara menyusun peraturan yang salah satunya melarang tiap-tiap anggota PGRI untuk berpolitik.
Tentu dengan kebijakan ini PGRI juga secara tidak langsung telah melarang para Guru memiliki ideologi lain selain Pancasila.
Hingga pada akhirnya PGRI memiliki sikap untuk menjauhi segala bentuk kerjasama dengan organisasi massa yang bertujuan politis.
Begitulah sejarah PGRI sebelum pemilihan umum tahun 1955. Sejarah Indonesia ini perlu ingat agar ke depan organisasi Guru menjadi lebih baik lagi. (Erik/R6/HR-Online)