Dalam catatan sejarah kolonial Belanda ternyata Rumah Sakit pada zaman VOC berdiri pertama kali pada tahun 1626. Lokasinya di pesisir pantai Batavia.
Namun perkembangan sejarah, Rumah Sakit pada zaman itu hanya jadi simbol kesehatan dan sumber pendapatan kolonial yang hanya menindas rakyat kecil dari pribumi.
Pembangunan Rumah Sakit itu juga mereka lakukan seiring dengan terjadinya wabah penyakit yang sedang menyerang penduduk Nusantara.
Sebagian pendapat juga menyebut bahwa pembangunan Rumah Sakit pada zaman kolonial terdorong oleh program pemberantasan wabah penyakit yang menular cepat, terutama Pes dan Malaria.
Pembangunan Rumah Sakit tersebut juga bertujuan untuk menjaga orang-orang Belanda. Terutama agar terhindar dari wabah penyakit yang berasal dari tubuh kering orang-orang pribumi yang miskin.
Oleh sebab itu pembangunan Rumah Sakit pada hakikatnya hanya dibangun untuk kepentingan kolonial, bukan untuk orang-orang pribumi.
Namun sebagian pribumi ada yang bisa dirawat di rumah sakit tersebut, akan tetapi bayarannya mahal dan biasanya hanya dilakukan pada keluarga ningrat yang kaya.
Baca Juga: Sejarah Buruh Wanita di Perkebunan Teh Priangan Zaman Kolonial
Adapun dalam artikel ini penulis bermaksud untuk membahas bagaimana sejarah pelayanan kesehatan terutama rumah sakit yang pernah ada pada zaman kolonial Belanda terutama pada zaman kejayaan VOC.
Sejarah Rumah Sakit Pertama Zaman VOC, Kebijakan Kolonial yang Memaksa
Ide awal pembangunan Rumah Sakit di negeri jajahan berasal dari kebijakan kolonial yang tiba-tiba datang dari negeri induk. Saat itu ada imbauan kepada VOC untuk menyelesaikan wabah epidemi di Nusantara terutama wabah Pes, Kolera, dan Malaria.
Hal ini karena tiga jenis wabah tersebut menjadi penyakit menular di Belanda yang menyebabkan kematian singkat bagi para penderitanya.
Rumah Sakit pertama yang berdiri pada zaman kolonial berada di pesisir pantai Batavia. Lokasinya dekat dengan pelabuhan atau pintu gerbang pertama orang Belanda tatkala mendarat di Nusantara.
Rumah Sakit itu berdiri pada tahun 1926 dan beroperasi enam bulan setelah diresmikan oleh VOC. Tujuannya saat itu sebagai tempat penampung orang sakit karena Kolera.
Seiring dengan pembangunan Rumah Sakit di Batavia yang dinilai berhasil mencegah wabah secara drastis dari pada sebelumnya, maka pada tahun 1927-1928 pembangunan Rumah Sakit terus meluas ke beberapa wilayah di Nusantara.
Awalnya hanya untuk orang-orang Belanda, namun seiring dengan kebijakan yang mengatur kesehatan Pribumi. Rumah Sakit tersebut juga boleh digunakan Pribumi namun dengan beberapa ketentuan seperti biaya yang mahal.
VOC Mendirikan Dua Lembaga Kesehatan di Nusantara
Salah satu bukti pendirian Rumah Sakit yang meluas hingga ke beberapa daerah di Nusantara dapat kita lihat ketika dua lembaga kesehatan milik VOC berdiri dengan megah di pulau Jawa.
Pertama yaitu, Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD), yaitu Rumah Sakit khusus untuk merawat orang-orang sipil Belanda yang bekerja bersama VOC di pulau Jawa, seperti Batavia dan Priangan.
Baca Juga: Wabah Beri-Beri di Belitung Zaman Kolonial, Dibawa Kuli Timah dari Cina
Sementara yang kedua bernama, Dienst der Volksgezondheid (DVG), yakni Rumah Sakit khusus untuk Pelayanan umum, seperti Pribumi dan golongan Timur Asing.
Akan tetapi yang kedua terkenal dengan fasilitas pelayanannya yang buruk. Banyak orang Pribumi yang tidak dirawat meskipun terkena wabah, begitupun orang-orang Timur Asing di Nusantara.
Belakangan Kedua Rumah Sakit ini hanya menjadi Laboratorium penelitian wabah Pes, Kolera, dan Malaria di Nusantara. Sebab para pengurus Rumah Sakit ini kemudian menerbitkan publikasi ilmiah yang berisi laporan penelitian kesehatan.
Laporan penelitian kesehatan ini juga kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku pedoman kesehatan bagi orang-orang Belanda yang akan datang ke Nusantara.
Dalam hasil laporan kesehatan yang kemudian diterbitkan menjadi buku pedoman orang-orang Belanda itu kemudian orang Pribumi kerap distigmatisasi buruk oleh Belanda.
Kaum Pribumi sering dijadikan sebagai sasaran penyebar penyakit. Oleh sebab itu orang Belanda diimbau agar tidak terlalu dekat dengan pribumi.
Perbaikan Fasilitas Kesehatan Tahun 1930
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda, fasilitas kesehatan baru mengalami perbaikan sejak tahun 1930. Kala itu seiring dengan perubahan tatanan kolonial dari VOC ke Hindia Belanda.
Baca Juga: Belanda Hitam yang Malang, Kisah Orang Afrika jadi Serdadu di Jawa
Pada tahun 1930 perbaikan yang berkaitan dengan sarana prasarana kesehatan di Hindia Belanda mulai mendapat perhatian.
Tidak saja perbaikan bangunan, akan tetapi perbaikan alat-alat kesehatan seperti laboratorium dan ruangan khusus untuk menempatkan pasien yang terkena wabah (tempat karantina).
Selain pembangunan terhadap alat-alat kesehatan, Pemerintah Hindia Belanda juga memperbaiki sistem lingkungan penyebab tumbuhnya dan berkembangnya wabah malaria.
Mereka melakukan perbaikan irigasi dan menimbun lubang-lubang bekas galian yang tidak terpakai agar tidak ada jentik nyamuk penyebab Malaria.
Seiring dengan perbaikan irigasi, mereka juga memperbaiki sistem persawahan. Terutama dalam mencegah hama tikus. Caranya dengan memberikan obat-obatan untuk padi agar terhindar dari gigitan tikus yang bisa menimbulkan penyakit Pes.
Pemberian Subsidi pada Rumah Sakit di Hindia Belanda
Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial telah memberi subsidi untuk layanan kesehatan masyarakat umum di Hindia Belanda.
Hal ini bertujuan agar tidak terjadi lagi ketimpangan sosial, seperti fasilitas kesehatan yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang Belanda saja, sementara orang pribumi tidak diizinkan.
Subsidi bagi Rumah Sakit di Hindia Belanda ini biasanya berasal dari pendanaan para penguasa lokal yang diambil dari sistem pajak. Selain itu juga kerap disisihkan dari dana hasil pembayaran pasien yang berasal dari keluarga ningrat.
Dengan demikian dana subsidi ini tidak hanya bisa menolong orang-orang kolonial yang kritis terkena wabah, melainkan juga orang-orang Pribumi yang miskin dan menderita.
Sementara pembangunan Rumah Sakit yang dibiayai oleh pengusaha Swasta tidak bisa mendapatkan subsidi.
Seperti rumah sakit swasta yang dibangun oleh perusahaan perkebunan, ataupun lembaga organisasi sosial dan keagamaan layaknya Rumah Sakit Muhammadiyah.
Baca Juga: Haji Muhammad Sudjak, Ditertawakan saat Ingin Bangun RS PKU Muhammadiyah
Subsidi Kesehatan yang Berasal dari Pajak Bumi
Subsidi kesehatan sebagian ada yang berasal dari dana penguasa lokal atas setoran pajak dan dana pasien keluarga ningrat yang berobat. Namun pokoknya berasal dari dana hasil pajak bumi.
Artinya kaum pribumi tetap bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri ketika akan berobat ke Rumah Sakit. Sehingga pasti biayanya membengkak meskipun sudah disubsidi.
Oleh sebab itu sebagian pendapat tetap tidak setuju jika Rumah Sakit pada era kolonial itu membebaskan dana yang murah bagi pasien pribumi.
Pernyataan berikut sebagaimana yang diungkapkan oleh Ririn Darini, dkk, dalam Jurnal Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Berjudul “Pelayanan dan Sarana Kesehatan di Jawa Abad XX”, (Ririn Darini, 2015: 4).
Sebab Rumah Sakit bersubsidi khusus untuk para pegawai pemerintah seperti, militer, dan pegawai perusahaan milik pemerintah.
Sementara pribumi tidak ada yang bisa menopang biayanya ketika berobat ke Rumah Sakit. Artinya meskipun pemerintah kolonial memberikan subsidi dana kesehatan, tetap saja itu merupakan penindasan bagi rakyat kecil berkedok “pembaharuan fasilitas kesehatan”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)