Profil Iding Soemita tidak banyak yang mengenalnya. Padahal ia adalah sosok yang inspiratif. Catatan sejarah Indonesia menunjukkan, Iding merupakan buruh kontrak asal Tasikmalaya yang kemudian berpolitik di Suriname.
Suriname sendiri adalah salah satu wilayah di dunia yang berada di tepi pantai lautan Atlantik di Benua Amerika Selatan. Luas total wilayah Suriname yaitu, 163. 265 Km2.
Dahulu Suriname merupakan wilayah yang diperebutkan oleh Belanda dan Inggris. Peristiwa ini berkaitan dengan sumber daya alam di Suriname yang berlimpah dan menguntungkan Negara-negara Barat.
Karena kekuatan Belanda cukup mendominasi daerah Suriname, akhirnya wilayah emas yang berada di lautan Atlantik Benua Amerika Selatan ini dikuasai oleh Negara tersebut.
Ditengah kekuasaan Belanda di Suriname, Negara kolonial tersebut bingung karena tiba-tiba muncul masalah karena kesulitan Sumber Daya Manusia.
Hal ini mendorong Belanda yang mengurusi wilayah Suriname mendatangkan budak-budak dari Afrika. Namun karena politik perbudakan dilarang dan dihapuskan pada kemudian hari Belanda mendatangkan para pekerja kontrak yang berasal dari negeri jajahannya.
Baca Juga: Profil Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur yang Anti Korupsi
Salah satu pekerja kontrak yang didatangkan dari negeri jajahan Belanda antara lain yakni dari Hindia Belanda.
Mereka terdiri dari Suku Jawa dan Sumatera. Sementara Sunda menjadi minoritas namun salah satu orang asli sana pernah menjadi tokoh politik di Suriname tahun 1940.
Ia adalah Iding Soemita, pemuda asal Tasikmalaya Jawa Barat yang menginisiasi politik pemulangan para tenaga kerja orang Jawa ke Tanah Air.
Profil Iding Soemita, Tenaga Kerja Kontrak di Suriname yang Menggalang Aksi Progresif
Banyaknya orang-orang Jawa pindah ke Suriname pada awal abad ke-20 akibat keinginan memperbaiki taraf hidup dan lepas dari sengsara kemiskinan.
Tidak hanya orang Jawa akan tetapi ada juga orang Sumatera, dan Jawa Barat. Salah satunya di Tasikmalaya banyak orang yang mendaftar ingin ke Suriname tak terkecuali dengan Iding Soemita.
Iding yang berasal dari daerah Bengkok Tasikmalaya Jawa Barat berhasil pergi ke Suriname sekitar tahun 1925-an. Awalnya Iding hanya menjadi tenaga kerja kontrak yang menuruti setiap ucapan majikannya.
Akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman, Iding Soemita mendadak berubah menjadi tokoh politis dari tenaga kerja kontrak orang Jawa di Suriname.
Ketokohan Iding Soemita berawal dari mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk memulang-kan orang-orang Jawa yang ada di Suriname ke tempat asalnya. Desakan ini seiring dengan sistem pengupahan kolonial yang tidak sesuai janji alias tak dibayar.
Peristiwa ini merugikan orang-orang Jawa yang menjadi tenaga kerja di Suriname. Mereka menjadi gelandangan yang tidak berbeda halnya ketika mengalami kesengsaraan di negeri asalnya.
Sementara menurut Peter Mel, gerakan Iding Soemita dalam politik mendorong timbulnya sikap yang progresif dari orang-orang Jawa yang ingin pulang ke daerah asalnya.
Tak segan-segan para pengikut Iding bertindak apatis terhadap Belanda di Suriname. Hal ini karena sudah menganggap Belanda sebagai musuh yang licik dan munafik.
Selain Iding Soemita, gerakan progresif orang-orang Jawa di Suriname ini juga dipelopori oleh beberapa tokoh politik Moelih Njowo yang terdiri dari, Willy Soemita, Paul Salam, dan Somohardjo.
Baca Juga: Maestro Seni Abstrak, Sejarah Affandi Pelukis yang tak Membutuhkan Kuas
Pendapat di atas sebagaimana yang dikatakan oleh Peter Mel dalam Jurnal West Indian Guide berjudul “Anton De Kom and The Formative Phase of Suriname Decolonization”, (Mel, 2009: 263).
Banyak Kasus Penculikan ke Suriname oleh Belanda
Faktor pendorong Iding Soemita berubah menjadi sosok yang politis di Suriname juga karena banyaknya kasus penculikan tenaga kerja kontrak dari Jawa. Tenaga kerja kontrak ini pergi ke Suriname dengan terpaksa karena kebohongan Belanda.
Penculikan tenaga kerja untuk Suriname dari orang-orang Jawa ini juga berawal dari iming-iming upah yang banyak yakni 60 sen per hari.
Mereka pun tertarik untuk ikut ke Suriname. Akan tetapi beberapa yang lainnya juga terpaksa ke Suriname dengan alasan yang beragam.
Salah satunya dilakukan dengan cara membohongi mereka dengan memberikan informasi jika di Suriname terdapat salah seorang keluarganya yang ingin bertemu.
Ketika si korban bersedia untuk ikut ke Suriname, di tengah menyelesaikan perlengkapan dokumen pada kantor ketenagakerjaan Belanda tersebut, salah seorang pelaku culik membiusnya.
Saat sadar dari biusnya, mereka kemudian berada di tengah laut dengan menumpangi kapal besar yang berisi orang-orang Jawa untuk dipekerjakan di Suriname.
Para pelaku penculik itu merupakan orang suruhan Belanda dan biasa disebut dengan werk. Sebagai upah keberhasilan menculik, para werk diberikan uang sebesar 80 sen per hari.
Pernyataan di atas sebagaimana mengutip Susanti dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha berjudul “Nasionalisme dan Gerakan Mulih Njowo 1947-1954”, (Susanti, 2016: 111).
Mendirikan Persatoean Indonesia (PI)
Kegeraman atas isu-isu penculikan paksa para tenaga kerja Jawa untuk Suriname mendorong Iding Soemita mendirikan organisasi politik bernama Persatoean Indonesia.
Isinya terdiri dari orang-orang Jawa dan Sumatera yang ingin pulang dan meninggalkan Suriname secepat mungkin. Karena mereka tidak betah dengan Suriname yang ternyata banyak menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah dari sebelumnya.
Melalui Persatoean Indonesia, Iding Soemita memimpin gerakan para pekerja yang progresif di Suriname.
Salah satu puncak prestasi Iding Soemita dan kawan-kawannya yang mengelola Persatoean Indonesia (PI) yaitu, membentuk gerakan Moelih Njowo.
Catatan sejarah menyebut jika perjuangan Iding Soemita pemuda asal Tasikmalaya ini bertentangan dengan Belanda.
Baca Juga: Sejarah Raden Saleh, Pelukis Pribumi Pertama Penerima Beasiswa ke Eropa
Perjuangan Iding Soemita dan orang-orang Jawa yang ingin pulang ke tanah air berada pada puncaknya ketika PI berubah nama menjadi (KTPI) Kaoem Tani Persatoean Indonesia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa dengan adanya KTP, upaya-upaya yang menuntut kepulangan orang-orang Jawa ke Tanah Airnya semakin mendekati keberhasilan.
Berjanji Mengabdi Sepenuhnya pada Tanah Air
Pasca kepulangan orang-orang Jawa ke Suriname pada tahun 1948, sebagian orang Jawa yang menuntut Moelih Njowo berjanji untuk mengabdi pada tanah air sepenuhnya.
Hal ini disambut baik oleh Presiden Soekarno yang saat itu sibuk mempersiapkan diplomasi kedaulatan Republik Indonesia dengan Belanda.
Menurut Soekarno orang-orang Jawa di Suriname memiliki semangat perlawanan yang kuat dan sikap nasionalisme yang hebat.
Sikap nasionalisme yang hebat itu tercermin dari semboyan-semboyan orang Jawa di Suriname. Salah satunya, “seenak-enak e di negoro wong, sih enak di Negara dewe”.
Sementara Iding Soemita sendiri mengatakan “Dari pada hujan emas di Negara orang, lebih baik hujan batu di Negara sendiri”.
Menjadi Kelompok Transmigran ke Sumatera
Profil Iding Soemita telah mendidik para pengikutnya untuk berjanji ketika mereka bisa pulang ke Tanah Air, apapun yang menjadi kehendak pemerintah RI harus ditepati.
Akhirnya para orang Jawa yang pulang ke Tanah Airnya menepati semua janji itu dengan bersedira menjadi kelompok transmigran ke Sumatera.
Alasan pemerintah RI yang diwakili oleh badan Transmigrasi Pusat Indonesia mengatakan orang-orang Jawa yang berasal dari Suriname tidak diperbolehkan kembali ke Jawa. Karena pengembalian mereka ke Jawa sama dengan menambah kepadatan penduduk.
Seiring dengan pembukaan program pengembangan wilayah terpencil oleh pemerintah bernama program transmigrasi, akhirnya orang-orang Suriname dari Jawa ini bersedia mengikutinya.
Awalnya pemerintah RI menempatkan mereka di Lampung. Akan tetapi karena situasi lampung yang sudah berkembang menjadi daerah perkotaan, membuat mereka dikirim ke Sumatera Barat.
Dengan demikian kebanyakan orang Jawa yang dulunya menjadi tenaga kerja kontrak di Suriname, belakangan bisa kita temui sebagiannya di Sumatera Barat.
Begitulah catatan sejarah mengenai kehidupan orang Jawa, terutama profil Iding Soemita tokoh politik di Suriname yang berasal dari Tasikmalaya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)