Sejarah Indonesia mencatat, sebelum terjadinya peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September atau G30S/PKI 1965, Aidit sempat melakukan lawatan perjalanan ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk bertemu dengan Mao Zedong. Pembicaraan mereka berdua berkaitan dengan keadaan politik di Indonesia.
Aidit sendiri mengatakan pada Mao, politik di Indonesia sedang mengalami carut marut. Hal ini karena keadaan Presiden Soekarno yang sedang sakit. Dokter juga mendiagnosa Soekarno akan meninggal dalam waktu dekat.
Saat berbicara pada Mao, Aidit mengatakan, urusan politik di Indonesia ada kekhawatiran akan jatuh pada kelompok sayap kanan. Aidit merujuk pada golongan pro Amerika Serikat seperti A.H. Nasution dan kawan-kawan.
Baca Juga: Syu’bah Asa, Wartawan Pemeran DN Aidit dalam Film G30S/PKI
Oleh sebab itu Aidit dan PKI sudah menyusun rancangan untuk menghadapi musuh-musuh mereka (sayap kanan). Apabila kekuasaan Presiden Sukarno terjatuh sewaktu-waktu. Aidit dengan Partai Komunis Indonesia akan mendahului pemerintahan sebelum sayap kanan bertindak.
Kendatipun keadaan politik di Indonesia sedang kacau, Mao Zedong tidak menyarankan PKI bertindak gegabah dalam mengambil keputusan.
Dari hal ini kita bisa melihat, bagaimana Mao Zedong justru menahan Aidit (PKI) untuk tidak bertindak lebih dulu.
Dengan kata lain, Mao menyarankan PKI melalui DN Aidit menunggu musuh mereka yang menyerang. Meskipun demikian Aidit tetap bertekad untuk menghabisi sayap kanan dengan menculik beberapa anggota yang dicurigai pro Amerika-Serikat.
Lantas apakah kedekatan Aidit dengan Mao Zedong hanya sebatas ideologi, atau Mao mempengaruhi tindakan PKI dalam peristiwa G30S/PKI 1965?
Perjumpaan DN Aidit dan Mao Zedong di RRT, Bahas Pengkhianatan G30S/PKI 1965?
Perjalanan PKI ke RRT tidak diketahui pasti tanggal berapa. Hanya saja pada saat itu Aidit pergi menemui Mao Zedong untuk perhelatan politik kiri pada Maret tahun 1958. Ini berarti sebelum meletusnya peristiwa yang kita kenal sebagai pengkhianatan G30S/PKI 1965.
Dalam perjalanannya ke Tiongkok, Aidit menggunakan pesawat mewah kenegaraan dari Jakarta. Aidit pergi bersama rekan sesama partai. Selain itu, Aidit juga membawa istrinya yang seorang dokter ahli akupuntur pertama di Indonesia bernama dr. Soetanti.
Perhelatan ke RRT waktu itu merupakan perjalanan politik pertama kali yang dilakukan Aidit pasca menjabat sebagai Ketua MPRS Tahun 1960-an.
Selain itu, lawatan ke RRT juga merupakan kali pertama Aidit bertemu dengan Mao Zedong. Mao adalah seorang pemimpin komunis Cina yang sejak lama Aidit idolakan.
Pertama kali datang dan menemui Mao Zedong di Istana Kenegaraan RRT, Aidit membahas beberapa keadaan politik yang sedang memanas di Indonesia.
Mao Zedong pun mendengarkan keluh kesah Aidit yang khawatir akan kekuatan pro Barat yang semakin tinggi di kalangan Militer.
Baca Juga: Kebangkitan PKI setelah Musso Tewas dan Kudeta DN Aidit
Mao pun hanya mendengarkan, sesekali dia menjawab dan memberikan saran agar Aidit memikirkan jalan keluarnya dengan pikiran, dan tindakan yang matang.
Tidak seperti kebanyakan yang orang katakan bahwa Mao terlibat rencana kudeta dalam peristiwa pengkhianatan G30S/PKI 1965, perhelatan pertama Aidit dengan Mao di RRT justru membuat ketua PKI ini bingung.
Sebab Mao tidak sama sekali menyarankan untuk membakar semangat perlawanan sebagaimana tergambar dalam berbagai berita dan surat kabar yang menginformasikan Mao sebagai bapak Komunis di Tiongkok yang revolusioner.
RRT Tuan Rumah Revolusi Asia
Kedekatan DN Aidit dengan Mao Zedong di RRT bukan merupakan suatu kebetulan, akan tetapi Mao mendekati Aidit untuk melancarkan tujuannya sebagai negara komunis yang menjadi tuan rumah bagi revolusi Asia.
Selain Indonesia, negara-negara yang dirangkul oleh RRT yaitu, Laos, dan Vietnam. Kedekatan Mao Zedong dengan negara-negara komunis Asia bertujuan untuk menghimpun massa yang nantinya akan digunakan sebagai arsitek.
Pembangunan sistem negara baru yang menghapus unsur imperialisme dan kolonialisme sebagaimana yang negara-negara barat lakukan.
RRT menjadi tuan rumah bagi negara-negara komunis yang sedang merencanakan revolusi. Terutama bagi negara yang memiliki nasib yang sama sebagai bangsa yang tertindas oleh kultur imperial-kolonial Barat.
Kedekatan Mao dengan menjadikan RRT sebagai poros kekuatan komunis dunia adalah langkah bangsa-bangsa dari golongan tertindas itu untuk bangkit. Termasuk juga untuk membalaskan dendam pada negara-negara imperial dengan cara menunjukan kemandirian secara sosial, ekonomi, dan budaya yang diorientasikan pada sistem komunisme.
PKI dan Angkatan Kelima
Kedekatan PKI dan RRT berdampak buruk terhadap hubungan orang-orang Tionghoa dengan Pribumi di Indonesia pasca peristiwa pengkhianatan G30S/PKI 1965.
Baca Juga: Kisah DN Aidit, Remaja Agamis yang Jadi Tokoh PKI
Orang-orang Tionghoa dituduh sebagai antek komunis yang mendukung pembunuhan para pahlawan revolusi yang menjadi korban pengkhianatan G30S/PKI.
Tuduhan menjadi antek komunis Cina itu akibat adanya dugaan RRT memasok senjata pada PKI untuk melengkapi kebutuhan Angkatan Kelima.
Angkatan Kelima ini merupakan pecahan anggota PKI yang terdiri dari buruh, petani, dan nelayan. PKI membekali mereka dengan senjata sebagaimana militer.
Dari adanya isu pembentukan Angkatan Kelima dalam sistem militer era Orde Lama telah membentuk kecurigaan dari berbagai kalangan. Salah satu kecurigaan tersebut adalah penculikan Pahlawan Revolusi dan juga pembunuhan massal di Lubang Buaya, senjatanya berasal dari RRT.
Sementara yang lebih mengejutkan yakni isu apabila PKI gagal dalam mengambil skenario kudeta dari Soekarno dan Militer, maka tak segan-segan RRT akan mentransfer teknologi nuklir ke Indonesia.
Pernyataan tersebut sebagaimana mengutip pendapat Satriono Priyo Utomo dalam Jurnal Indonesia Perspective berjudul, “Indonesia, Tiongkok, dan Komunisme 1949-1965“, (Utomo, 2017: 73). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)