Sejarah kolonial Belanda mencatat pada tahun 1830-an Raja di seluruh pulau Jawa tak terkecuali di Surakarta harus menandatangani Korte Verklaring atau surat perjanjian pendek dengan Belanda.
Banyak raja Jawa yang protes akan kebijakan yang tertuang dalam surat tersebut. Akan tetapi berbeda dengan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta, ia cenderung setuju dan menyikapi Korte Verklaring dengan cara yang santai.
Adapun bentuk yang merugikan tertuang dalam Korte Verklaring yaitu “Belanda diizinkan untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan kerajaan”.
Intervensi secara sosial, ekonomi, budaya, bahkan diizinkan untuk melakukan intervensi secara politik. Artinya Belanda juga memiliki hak untuk mengatur kerajaan di Jawa secara langsung tanpa diwakilkan menjadi simbol.
Baca Juga: Borneo Barat Shinbun, Surat Kabar Nippon Gratiskan Belajar Bahasa Jepang
Dengan intervensi Belanda melalui surat perjanjian pendek Korte Verklaring maka kedudukan raja dalam hal ini harus patuh terhadap orang-orang Belanda.
Menurut beberapa sejarawan, peristiwa ini dinilai sebagai cara cerdik kolonial untuk menundukan raykat pribumi melalui perintah penguasa lokal.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, dalam menghadapi hal ini Pakubuwono X justru menjadi pribadi yang terkesan santai. Pakubuwono X seolah-olah menjadi pemimpin yang oportunis.
Surat Perjanjian Pendek Korte Verklaring
Menurut Banyu Aryoningprang, dkk, dalam jurnal Istoria berjudul “Pakubuwono X: Politik Oportunisme Raja Jawa (1893-1939)”, (Banyu Aryoningprang, 2021: 2), menyebut pembentukan wilayah Vorstenlanden telah merugikan kekuasaan raja Jawa.
Dengan pembagian wilayah Solo dan Yogyakarta, membuat dua daerah tersebut memiliki empat kerajaan yang berhak mengatur wilayahnya masing-masing.
Solo memiliki Kraton Kasusnanan Surakarta, dan Kraton Mangkunegaran, dan Yogyakarta memiliki Kraton Pakualaman, dan Kraton Kasultanan.
Belanda dengan sengaja melakukan pemecahan dari satu kerajaan yang dahulu sama yaitu, Mataram atas dasar hak dia untuk mencampuri urusan politik kerajaan yang ada di Jawa.
Tak jarang Belanda juga sering melakukan adu domba antar kerajaan, sehingga menimbulkan permusuhan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini justru memperlemah kedaulatan raja dan memperkuat kekuasaan Belanda dalam hal “memerintah rakyat Jawa”.
Raja-raja Jawa juga dipaksa untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial, seperti mewajibkan bayar pajak tinggi, hingga menyetujui stratifikasi sosial yang menempatkan Inlanders (pribumi) lebih rendah dari Timur Asing.
Penekanan ini membuat raja mengalami depresi, sebab disisi lain raja ingin rakyatnya makmur dan sejahtera, akan tetapi dirinya juga terbelenggu oleh perjanjian Korte Verklaring.
Hanya ada satu raja yang menikmati kebijakan intervensi kolonial dengan tenang, ia adalah Pakubuwono X yang kemudian dianggap sebagai figur raja yang oportunis.
Belanda Menjadi Raja Bayangan
Raja Jawa hanya menjadi simbol sebab kekuasaannya terbatas pada perintah kolonial Belanda. Orang-orang Belanda lah yang berhak mengeluarkan kebijaka, sementara kerajaan adalah lembaga yang merealisasikan kebijakan tersebut.
Kebanyakan raja Jawa hanya bisa menghabiskan waktu untuk menulis karya sastra dan melakukan pembangunan bagi daerah disekelilingnya. Mereka terbelenggu, tak ada kekuasaan yang lebih.
Pernyataan ini sebagaimana dikutip dalam buku Joko Darmawan berjudul “Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa” (Darmawan, 2017: 41).
Karena digambarkan sebagai raja yang menghabiskan waktu untuk kesenangan sendiri, maka beberapa golongan radikal mencap raja Jawa dengan cerminan yang buruk.
Sosok raja yang oportunis ini sering dikategorikan sebagai pemimpin yang gagal membela rakyatnya. Mereka hanya patuh pada perkataan orang-orang Belanda agar legitimasi kekuasaan mereka utuh tak terganggu.
Selain itu raja juga kerap dilukiskan sebagai tokoh “orang kaya” yang hobi menghambur-hamburkan uang layaknya kaum hedonisme yang sebentar lagi tenggelam oleh sumpahnya sendiri.
Pada akhirnya, sering sekali lahir tokoh-tokoh radikalisme yang menentang eksistensi raja. Salah satu dari tokoh tersebut yaitu, dr, Tjipto Mangoenkoesoemo.
Pakubuwono X, Oportunisme yang Pandai
Kendati figur raja Jawa sering identik dengan sosok oportunisme yang serakah, berbeda dengan sosok Pakubuwono X (raja Surakarta) yang juga seorang oportunisme tetapi “pandai”.
Perjanjian pendek dalam Korte Verklaring telah membebaskan politik bagi masyarakat pribumi yang berjiwa nasionalis. Pakubuwono X mendukung semua itu dengan cara berkamuflase dari Belanda sebagai sosok yang oportunis.
Politik oportunisme ini dilakukan untuk membuat pemerintah kolonial tidak mencurigai Pakubuwono X, jika pergerakannya ternyata dekat dengan organisasi nasionalis.
Seharusnya dalam perjanjian Korte Verklaring tidak boleh satu raja mencampuri urusan politik pribuminya. Akan tetapi Pakubuwono X justru berperan dengan mendukung pergerakan nasionalis di Solo dalam berbagai kesempatan tersembunyi.
Kebanyakan bantuan yang datang dari Pakubuwono X untuk kelompok nasionalis kala itu antara lain, Boedi Oetomo (BU), dan Syarikat Islam (SI).
Raja Kasunanan Surakarta kesepuluh yang terkenal kaya ini kerap memberi bantuan dana, dan dukungan moral kepada dua organisasi di atas demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Baca Juga: Askar Perang Sabil, Laskar Perang Ulama Muhammadiyah Hasil Itikaf di Masjid
Akhirnya Pakubuwono X terkenal sebagai pemimpin kerajaan di Jawa yang cerdas sebab sering memberikan keuntungan bagi rakyat, dan orang-orang kerajaan didekatnya.
Belanda Sindir Pakubuwono
Karena sikapnya yang pandai memanfaatkan situasi itu kian lama semakin terendus oleh pemerintah kolonial. Bahkan Pakubuwono X pernah kena sindiran salah seorang residen di Surakarta tentang sikapnya yang “pura-pura bodoh”.
Menurut Larson dalam buku berjudul “Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942”, (Larson, 1990: 43-49), seorang residen di Surakarta bernama G.F. Van Wijk tidak terima dengan prestasi dan kecerdasan Pakubowono X.
G.F. Van Wijk justru menyebut Pakubuwono X sebagai raja yang penurut, takut dalam mengambil keputusan, sering melakukan hedonisme, dan seseorang yang bodoh.
Ujaran kebencian itu terjadi karena Pakubuwono tidak pernah ditegur oleh Belanda, meskipun dukungan Pakubuwono X terhadap kelompok nasionalis semakin transparan.
G.F. Van Wijk dengan kritiknya ini berupaya menyadarkan Belanda untuk segera menindak Pakubuwono X dengan cara memberhentikannya menjadi raja, akan tetapi tidak ada perintah yang tembus menindak perilaku Pakubowono X dari pemerintah kolonial.
Kritikan pedas Van Wijk dianggap sebagai keberuntungan oleh Pakubuwono X, karena dengan semakin banyak orang mengira ia lamban, dan bodoh. Dengan begitu maka pemerintah kolonial akan tenang menempatkan Pakubuwono X sebagai raja.
Sebab tidak mungkin raja bodoh bisa memimpin rakyatnya dengan baik, atau memimpin rakyatnya melakukan perlawanan.
Oleh sebab itu, setelah kritik G.F. Van Wijk itu tersebar dalam berbagai surat kabar berbahasa Belanda, Pakubuwono X semakin senang. Alasannya karena ia bisa leluasa memanfaatkan Belanda.
Baca Juga: Dari Surau ke Sekolah Kolonial, Beginilah Sejarah Pendidikan Formal di Indonesia
Perjanjian Pendek atau Korte Verklaring dalam kamus hidup Pakubuwono X sebagai simbol kamuflase. Karena sebetulnya tidak ada satu pun yang bisa mengatur Raja Jawa kecuali Tuhan.
Pakubuwono X telah menjadi figur yang mewakili perjuangan raja-raja Jawa lainnya bebas dari belenggu Belanda berbentuk kebijakan yang “berat sebelah”.
Politik Oportunisme Pakubuwono X Mengilhami Politik Diplomasi
Peristiwa di atas mengajarkan pada kita bahwa tidak selamanya politik oportunisme itu buruk. Sebab sebagaimana yang dilakukan oleh Pakubuwono X, politik oportunisme justru menjadi media kamuflase seorang pemimpin dalam mendukung perjuangan rakyatnya.
Seiring dengan berputarnya waktu, politik oportunisme ini mengilhami lahirnya politik diplomasi golongan nasionalis dengan Belanda pada tahun 1945-1949.
Masa Revolusi Fisik yang menyebabkan peperangan hanya bisa dipadamkan dengan jalur diplomasi. Hal ini tentu saja berawal dari pengalaman para pemimpin pendahulu seperti Pakubuwono X ini.
Beberapa tokoh nasional seperti Sutan Sjahrir menganggap bahwa politik diplomasi merupakan cara para pahlawan memperjuangkan rakyatnya dengan minim resiko. Cara itu juga dinilai lebih terlihat intelektuil.
Oleh sebab itu selain mengilhami lahirnya politik diplomasi, sejarah Indonesia juga mencatat sifat oportunisme yang pernah diemban oleh Pakubuwono X juga mengajarkan generasinya tentang mencintai perdamaian. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)