Golongan orang yang saat ini menilai sejarah PKI sebagai kisah yang penuh dengan kesesatan, nampaknya akan tercerahkan apabila membaca sepotong kisah mengenai Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit sewaktu remaja.
Kebanyakan orang menentang PKI karena ideologi partai kiri ini tidak pernah mempercayai Tuhan. Namun apa jadinya ketika PKI ini yang memimpin adalah Aidit?
Menurut catatan sejarah, keluarga DN Aidit menyebut jika anak kelahiran Belitung ini semenjak kecil hingga menjadi remaja sangat patuh pada ajaran agama Islam.
Aidit sendiri merupakan cucu dari seorang Kyai Haji Abdul Rachman, seorang pengusaha kaya yang religius asal Belitung.
Tak heran kemudian apabila Aidit kecil hingga remaja kerap diberikan ilmu-ilmu agama dari sang Kakek Abdul Rachman.
Baca Juga: Kudeta PKI 1965, Kisah D.N. Aidit yang Ingin Mempersenjatai Buruh, Petani dan Nelayan
Sebelum terlalu jauh membahas mengenai masa kecil hingga remaja mantan Ketua Comite Central PKI tersebut, alangkah baiknya kita lihat sejarah masa kecil Aidit di bawah ini.
Kisah DN Aidit Bermula dari Belitung
Menurut Rowland dalam buku berjudul “Aidit dua Wajah Dipa Nusantara” (Rowland, 2010: 9), daerah Belitung merupakan tempat kelahiran Aidit.
Masyarakat Belitung lebih mengenal nama lengkap Aidit dengan Achmad Aidit. Hal ini merupakan nama asli pemberian sang ayah Abdullah Aidit.
Achmad Aidit lahir pada tanggal 30 Juli tahun 1923 di jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Sejak kecil orang tuanya mengharapkan ia menjadi orang yang beriman dan taat pada agama.
Harapan Abdullah dan istri nampaknya terkabul karena Achmad Aidit menjadi anak yang taat pada ajaran agama dan sering bermain di masjid.
Kisah DN Aidit selanjutnya, selain bersosialisasi bersama golongan religius, ternyata ia juga kerap bergaul dengan kelompok asing di Belitung, seperti remaja Tionghoa dan orang dewasa Belanda.
Tak jarang teman sepermainan Aidit menemukan sahabatnya sedang mengobrol menggunakan bahasa Belanda dengan petugas tambang timah milik pemerintah kolonial bernama Schapelijk Mijnbouw Billiton.
Baca Juga: Kisah Bung Karno Pernah Satu Kos dengan Pendiri PKI
Peristiwa ini mengundang Aidit menjadi sosok yang disegani oleh masyarakat luas Belitung. Karena Aidit pandai menggunakan bahasa Belanda yang fasih akhirnya pemerintah kolonial memperbolehkan Aidit belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Aidzin Si Tukang Adzan, Suaranya Keras dan Lantang
Kisah DN Aidit remaja, selain fasih berbahasa Belanda ternyata ia sudah gemar mengumandangkan Adzan di masjid dekat rumahya.
Tetangganya yang ada di Jalan Belantu 3 mengenal Aidit sebagai “Remaja Si Tukang Adzan”. Belakangan orang mengetahui Aidit cocok sebagai tukang Adzan karena suaranya yang keras nan lantang.
Tidak ada sama sekali getaran yang ragu-ragu tatkala Aidit sedang Adzan. Suaranya yang keras membantu setiap orang Islam berhenti sejenak dari pekerjaan dan segera menunaikan sholat.
Tokoh PKI yang berpengaruh ini sering diejek oleh temannya, “Hei masjid tak perlu pengeras suara, sebab si Aidit yang kencang suaranya khendak adzan Dzuhur”. Aidit hanya tersenyum.
Rupanya suara kencang yang lantang Aidit ini tidak saja bermanfaat untuk kepentingan religius, karena dengan suara yang lantang Aidit bisa melindungi adik-adiknya dari ancaman “Geng”.
Dalam kisah DN Aidit tercatat, kala itu adik Aidit bernama Sobron sedang berjalan di kegelapan lorong, tiba-tiba sekelompok anak muda menghadang dan melakukan pemalakan.
Mereka tidak mengetahui jika di belakang Sobron ada Aidit pulang dari masjid, seketika itu ia berteriak dengan nada kencangnya “Woi kau apakan adikku?”
Karena suaranya yang lantang membuat Geng itu lari terbirit-birit, selain itu karena Aidit juga terkenal sebagai remaja yang gemar berkelahi.
Aidit Remaja yang Bertanggungjawab Sebagai Abang
Peristiwa Aidit menghadang Geng yang memalak Sobron merupakan salah satu bentuk tanggung jawab seorang Abang terhadap Adiknya.
Aidit berusaha untuk melindungi setiap anggota keluarganya dengan sekuat kemampuan. Hal ini tak terlepas dari ajaran agama yang telah diperolehnya semenjak kecil bersama sang Kakek.
Baca Juga: Sejarah Biro Chusus PKI, Mata-Mata Komunis Kontroversial yang Masih Teka-teki
Dengan membela adiknya dari kepungan Geng bukan berarti Aidit melatih Sobron menjadi lemah dan manja. Justru itu ia mengajarkan hak dan kewajiban seorang Abang.
Dalam kisah DN Aidit, suatu ketika ia melihat Sobron menangis karena berkelahi dengan temannya di sekolah. Lalu ia mengadu pada Aidit soal kekerasan yang dialaminya tersebut.
Aidit tidak langsung membalas perilaku teman Sobron melainkan melakukan penelusuran siapa pelaku yang memukul adik berbadan gempalnya itu.
Ternyata badan si pemukul Sobron itu sebanding, mulai dari tinggi hingga beratnya. Aidit pun mengurungkan niatnya untuk membalas balik dengan memukulnya.
Aidit kembali ke rumah dan menyuruh adiknya membalas pukulan yang sama karena ternyata lawannya itu sebanding dengannya.
Sebagai Abang, Achmad Aidit juga pernah membela adik-adiknya dari kemarahan Abdullah Aidit. Kala itu adik-adiknya melepaskan anak itik dari kandang yang terkunci.
Saat ayahnya itu menanyakan kejadian tersebut dan mencari siapa pelakunya, Aidit dengan sigap mengacungkan tangan ke atas, dan tamparan keras dari Abdullah pun dengan cepat mendarat di pipi kanan Aidit.
Cepat Bergaul dan Akrab dengan Kelompok Buruh
Kisah DN Aidit juga mencatat, tokoh PKI ini juga bergaul dengan kelompok buruh. Schapelijk Mijnbouw Billiton di Belitung merupakan tempat pertama Aidit bergaul dan akrab dengan kehidupan buruh.
Perusahaan Tambang Timah di Belitung itu telah mengajarkan sikap simpati yang tinggi terhadap Aidit akan penderitaan hidup yang sering menimpa keluarga buruh.
Aidit terkenal sebagai remaja yang egaliter terhadap kelompok buruh. Bahasanya mudah dipahami meskipun ia sekolah lebih tinggi dari pada buruh.
Ia juga kerap mengajak diskusi kaum buruh Timah di Belitung itu dengan materi yang mencerah kan. Pernah suatu ketika buruh di sana menolak pekerjaan yang lebih dari waktu kerja karena materi diskusi yang diberikan oleh Aidit.
Semenjak ia diterima dengan baik oleh kelompok buruh inilah, akhirnya Aidit dengan tekad yang bulat mulai berani terjun dan mendalami pemikiran-pemikiran revolusioner untuk mengubah kehidupan buruh.
Baca Juga: Mahmilub Pasca Peristiwa G30S/PKI, Rahasia Partai Komunis Terbongkar
Barangkali dari kebulatan tekad inilah yang membuat Aidit bertemu dengan ideologi Komunisme. Sebab pada abad ke-20 awal, komunisme kerap menjadi pegangan hidup kaum buruh dunia.
Merantau ke Batavia dan Menjadi Komunis Tulen
Kisah DN Aidit berlanjut kala ia lulus dari Hollandsch Inlandsche School (HIS) saat usianya 13 tahun. Aidit pun memberanikan diri untuk merantau ke Batavia.
Ia pamit pada Abdullah ayahnya untuk melanjutkan pendidikan dasar yang lebih luas di lembaga sekolah kolonial bernama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Aidit pun mendapat izin dari Abdullah sebab di Belitung terkenal filsafat keluarga yang mengatur kebebasan seorang anak untuk merantau apabila sudah bisa memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri, disunat (laki-laki), dan Khatam mengaji.
Namun setibanya di Batavia pendaftaran MULO sudah tutup, dengan situasi yang memaksa Aidit pun mendaftar ke Middestand Handel School (MHS) sekolah dagang yang terletak di Jakarta Pusat.
Ketika sekolah di MHS jiwa revolusi Aidit yang membandel terus berkembang. Ia mengajak teman-temannya untuk membolos dan melakukan aksi demonstrasi siswa kepada guru yang ‘galak’.
Selain itu Aidit juga mulai bergaul dengan para aktivis di Menteng yang terkenal anarkis dan revolusioner. Mereka sering mengadakan diskusi tentang ajaran komunisme dari Rusia.
Hal inilah yang membuat Aidit menjadi seorang remaja yang memiliki sikap komunis tulen. Aidit tumbuh menjadi dewasa yang fasih mengajarkan komunis pada setiap orang yang baru dikenalnya.
Itulah kisah DN Aidit, seorang remaja religius yang kemudian terkenal sebagai tokoh PKI pada masanya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)