Sejarah pendidikan formal di Indonesia pertama kali berdiri dari sebuah tradisi pesantren bernama Surau. Dalam sejarah Indonesia, surau memiliki peran begitu penting.
Surau merupakan tempat semacam masjid yang sebagian besarnya berdiri di daerah Sumatera Barat, yakni Bukittinggi.
Berdasarkan keterangan Bung Hatta, penduduk sekitar Sumatera Barat hampir sebagian lapisannya mengerti huruf Arab.
Hal ini sebagai tanda jika Surau waktu itu merupakan sistem pendidikan yang populer dalam kebudayaan masyarakat Bukittinggi.
Namun seiring dengan datangnya Belanda ke Sumatera Barat, pergeseran Surau menjadi sekolah kolonial sempat membawa masalah dalam tradisi masyarakat adat.
Mereka tidak memperbolehkan anak, cucunya untuk sekolah ke tempat tersebut. Pada masa awal, sekolah kolonial itu hanya terisi oleh sebagian keluarga elit modern.
Baca juga: Pesantren Batuhampar, Pusat Pendidikan Islam se-Sumatera Sejak Zaman Kolonial
Dinamika dan Pertentangan dalam Sejarah Pendidikan Formal di Indonesia
Pertentangan yang terjadi karena perbedaan kebudayaan soal pendidikan. Para pemangku Surau menganggap yang sekolah kolonial sebagai produk orang kafir.
Sekolah tersebut mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ada dalam ajaran agama. Dengan kata lain, kurikulum yang terkandung dalam sekolah tidak mementingkan agama.
Inilah tanggapan awal saat para Kiai Surau menelaah sejarah pendidikan formal di Indonesia. Akan tetapi hal ini terus mengalami dinamika dan perkembangan yang pesat.
Kelompok masyarakat yang pro terhadap Surau, menganggap jika sistem pendidikan kolonial ini tercipta untuk menarik tenaga kerja murah dari orang-orang pribumi.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, mereka yang merupakan alumni sekolah orang bule ini tidak jauh akan menjadi profesi rendahan semacam juru ketik.
Sementara teman-temannya yang berasal dari ras kulit putih, meskipun satu angkatan sekolah, mereka akan memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi darinya.
Para Kiai Surau juga mengatakan bahwa mereka yang akan sekolah ke lembaga kolonial, siap-siaplah akan menyakiti perasaan orang tuanya.
Sebab, sebagian orang yang berasal dari pribumi dan lulus dari sekolah ini kebanyakan bersifat pembangkang.
Baca juga: Pemuda Zaman Orba, Hidup Manja dan Gemar Menghisap Ganja?
Sekolah Formal menjadi Populer
Masih soal sejarah Indonesia seputar pendidikan, menurut Moh. Hatta dalam bukunya berjudul Bukittinggi – Rotterdam lewat Betawi mengungkapkan tentang kemajuan sekolah formal Belanda, (Hatta, 2011: 31-32).
Sudut pandang para Kiai Surau akhirnya berubah setelah sekolah formal Belanda berdiri lima sampai enam tahun lamanya.
Perubahan sikap ini, kemudian menciptakan kemajuan yang begitu signifikan terhadap sejarah pendidikan formal di Indonesia.
Sumber daya manusia bangsa Indonesia saat itu semakin maju, seiring dengan kebijakan pemerintah kolonial yang mengatur sistem pendidikan (politik etis) berjalan.
Alhasil terbentuklah beberapa organisasi sosial yang mengarah pada pandangan berpolitik seperti Syarikat Islam.
Meskipun pulau Jawa adalah basis perkembangan organisasi ini, Sumatera Barat mengalami dampak penyebaran yang begitu kuat.
Seperti halnya H. Agus Salim yang lahir di Kota Gadang, adalah anggota paling aktif dalam organisasi Syarikat Islam.
Ia bahkan pernah menghadiri rapat nasional Sarekat Islam yang ada di pulau Jawa. Peristiwa ini menunjukkan sikap loyalitas putra terbaik Sumatera Barat dalam bidang politik.
Lulusan sekolah formal Belanda juga akan membentuk sebuah pergaulan yang lebih luas dari sebelumnya.
Perasaan egaliter dengan bangsa Barat, dan berseragam layaknya manusia modern adalah salah satu yang menyebabkan para orang tua untuk mengubah sikap.
Meskipun pada kenyataannya, sistem kelas dalam interaksi sosial mereka masih cukup kentara, setidaknya mereka melangkah satu kali lebih maju dari sebelumnya.
Melahirkan Kelas Saudagar
Meskipun kemajuan secara pengetahuan, dan teknologi semakin berkembang, pendidikan kolonial juga melahirkan sistem kapitalisme yang kuat.
Lahir Saudagar-saudagar yang memperkaya diri sendiri, memeras keringat rakyat kecil yang ada di sekitarnya.
Mereka tidak sadar bahwa para kapitalis itu merupakan dampak yang terjadi karena memberlakukan sistem kurikulum kolonial.
Sejarah pendidikan formal di Indonesia mencatat, sejak sekolah kolonial terisi oleh kaum pribumi, sebagian profesi seperti bertani semakin menyusut.
Penyebab dari keadaan ini karena laju perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) semakin tinggi.
Merantau merupakan salah satu bukti bahwa suatu kelompok masyarakat maju. Sebab pemikiran untuk menjadi petani, dan buruh perkebunan merupakan profesi yang terbelakang.
Secara tidak langsung hal ini menciptakan mental buruh industrial yang semakin memuncak dari zaman ke zaman.
Kultur urban membuat kebudayaan suatu masyarakat menjadi rakus. Mereka serakah dan berubah menjadi robot pabrik kolonial yang haus darah petani.
Baca juga: Lembaga Pendidikan Era Kolonial Ternyata Lahir karena Tanam Paksa
Investasi Pemerintah Kolonial
Sejarah pendidikan formal di Indonesia juga mencatat, jika pemerintah kolonial menciptakan sistem investasi tenaga yang berasal dari keringat pribumi.
Pemerintah membuka kesempatan beasiswa bernama Studiefonds untuk para pribumi yang berprestasi.
Beasiswa ini akan menjadi bagian dari orang-orang pribumi yang loyal terhadap pemerintah, seperti anak pejabat lokal dan pekerja pabrik yang setia.
Apabila mereka sudah lulus dari sekolah ini, maka pemerintah akan mempekerjakan mereka pada industri ideal yang ada di perkotaan.
Hal ini berlaku untuk mengontrol setiap pekerjaan pribumi dengan cara yang relatif mudah, murah dan tidak terlalu menguras tenaga.
Dengan menciptakan mental pekerja seperti ini, maka pergerakan buruh yang saat itu rentan tersusupi oleh gerakan ekstrimis, akan mudah termobilisasi.
Begitulah sekilas mengenai sejarah pendidikan formal di Indonesia. Semoga melalui sejarah Indonesia dan dengan adanya zaman baru ini, sumber daya manusia Ibu Pertiwi semakin beregenerasi. (Erik/R6/HR-Online)