Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat menjadi contoh toleransi di lingkungan pendidikan. Apalagi kelas multikultural itu menjadi salah satu program unggulan.
Kepala SMK Bakti Karya Parigi Athif Roihan Natsir menjelaskan, sekolah yang berada di Kecamatan Parigi itu terdiri dari 71 siswa, 15 Guru dan karyawan serta beberapa relawan yang aktif dalam pengelolaan sekolah, bahkan warga pun terlibat.
Ia mengungkapkan, para siswa yang belajar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Sultra, Sumatera, Jambi, Aceh, dan Jawa Barat.
Athif menyebut, saat ini yang mendominasi berasal dari luar Jawa. Namun ke depan pihaknya akan fokus memperbanyak juga dari Jabar.
“Kita menggunakan sistem pembelajaran terpadu, yakni Guru tidak hanya mengajar satu mata pelajaran, namun antara satu dengan lainnya saling terintegrasi,” paparnya.
Sesuai dengan visi dan misi SMK Bakti Karya Parigi, maka dari itu di sekolahnya terdapat kelas ekologi, humaniora dan multimedia yang mana masing-masing memiliki pengampu.
Baca Juga: Dukung Sekolah Keberagaman, Pemkab Pangandaran Akan Bangun Sarpras di SMK Bakti Karya
Awal Mula Gagasan Kelas Multikultural
Athif menuturkan, SMK Bakti Karya Parigi atau biasa dikenal SBK ini di tahun 2016 terancam tutup. Sehingga banyak pihak yang khawatir bila itu benar terjadi.
Ketika momentum hari jadi komunitas Sabalad ke-5, lahirlah gagasan untuk mengantarkan siswa dari berbagai daerah di Indonesia untuk bertemu dan belajar bersama.
“Nah ini juga sesuai dengan visi dan misi Sabalad, yakni mencari ilmu selamanya dan mencari kawan sebanyak-banyaknya,” kata Athif.
Kelas multikultural itu, lanjutnya, merupakan gerakan publik untuk mengakui, memberi ruang, menghargai, mengapresiasi, dan melindungi keberagaman, seperti keanekaragaman hayati, budaya, lingkungan, latar belakang hingga cara pandang.
Sehingga, dengan konsep itu bisa menghadirkan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Apalagi antar siswa bisa saling bertukar pengalaman dan cerita.
“Tak hanya itu, kita juga melibatkan publik untuk berpartisipasi di sini untuk pengembangan sekolah, baik secara finansial maupun ide. Kami sangat terbuka sekali,” ucapnya.
Dengan konsep keterlibatan publik, kata Athif, menjadi salah satu solusi bagi publik untuk mengimplementasikan gagasannya yang mana akan sangat sulit ketika diterapkan di sekolah lain.
Mereka yang Terlibat di SBK
Sementara itu, orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan SBK adalah mereka yang memiliki ketertarikan dalam isu keberagaman dan perdamaian.
Sebagian besar, lanjut Athif, mereka adalah anak-anak muda dan menjadi kakak asuh, baru lulus pendidikan, baru dapat kerja dan mereka menyisihkan untuk SBK.
“Beberapa waktu lalu ada alumni ITB tahun 80-an ke sini, dan masih banyak lagi yang berdonasi dalam berbagai hal,” tuturnya.
Selain bentuk donasi, siapa saja bisa menjadi bagian dalam proses menyeleksi siswa maupun mengantarkan, menjadi Guru maupun menetap dalam jangka panjang.
Baca Juga: Pendapat Wabup Pangandaran Soal Pendidikan Keberagaman di SMK Bakti Karya
Tantangan Menerapkan Konsep Kelas Multikultural
Athif menilai, keberagaman hadir di sebuah lokasi akan sangat mustahil meniadakan konflik.
Meski lelah karena banyak masalah, tetapi pihaknya menenkankan dari konflik itu justru menjadi pembelajaran inti dalam keberagaman.
Menurutnya, akan sangat mahal jika harus ada konflik dulu baru belajar, tapi harus mulai belajar dari perbedaan kecil.
Sehingga nilai-nilai toleransi itu bisa tumbuh dari hal-hal kecil dan ke depan bisa makin berkembang.
“Kita harap di internal bisa terus merawat semangat untuk bereksplorasi dalam pembelajaran, sekolah agar terus dirawat, terus berkontribusi terus menerus,” katanya.
Karena SBK sangat terbuka dengan siapapun, bahkan laporan keuangan bisa diakses oleh publik, sehingga bisa saling mengawasi.
Menurutnya, publik harus terlibat dalam proses pembelajaran. Pasalnya, Guru-guru sangat kerepotan dalam mengajar siswa. Sehingga dengan keterlibatan publik bisa sangat membantu.
“Kelas multikultural ini menjadi contoh bagaimana keberagaman itu harus dirawat agar nilai-nilai toleransi di Indonesia terus tumbuh,” pungkasnya.
Guru adalah Teman
Ida Yesnath salah satu siswa asal Sorong, Papua Barat, mengaku senang karena bisa belajar dan bertemu teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia.
Dari kelas multikultural ini ia bisa tahu makanan khas, rumah adat, bahasa, budaya dan belajar banyak tentang Indonesia.
“Gurunya ramah. Mereka tidak seperti Guru, mereka seperti teman. Guru jadi teman, teman jadi guru tidak seperti umumnya,” katanya.
Bahkan, katanya, Guru mau diajak belajar di manapun dan kapanpun sesuai keinginan mereka. Sehingga pembelajaran seperti ini sangat menyenangkan.
“Sangat bagus sekali pembelajaran seperti ini dan menyenangkan,” ucapnya.
Sementara itu, Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata mendukung adanya SMK Bakti Karya Parigi yang mengembangkan kelas multikultural.
Bahkan, pihaknya bakal membangun sarana maupun prasarana dengan anggaran sekitar Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar.
“Kita dukung karena mereka mampu berusaha menyatukan keberagaman siswa-siswinya yang mana berasal dari berbagai daerah di Indonesia,” ujarnya.
Meskipun kewenangan SMK ada di provinsi, namun karena gagasan yang luar biasa itu pihaknya bertekad membangunnya.
“Awalnya saya takut karena berpotensi ada gesekan, tapi ternyata kelas multikultural ini sangat bagus. Kami sangat mendukungnya,” pungkas Jeje. (Muhafid/R6/HR-Online)