Berita Banjar, (harapanrakyat.com),- Keberadaan kesenian tradisional di Kota Banjar menjadi perhatian di tengah derasnya arus budaya barat yang masuk ke Indonesia, salah satunya seni pertunjukan Sintren yang saat ini keberadaannya semakin langka.
Seperti yang diungkapkan Hendry Sugara, salah seorang doktor Faktultas Bahasa dan Seni Univesitas Negeri Yogyakarta yang meneliti nilai-nilai kearifan lokal mantra seni pertunjukan Sintren Banyumasan di Kota Banjar.
Menurutnya, perlu adanya penelitian tentang keberadaan seni pertunjukan Sintren di Kota Banjar. Terutama dari sisi mantranya agar kesenian tersebut tetap lestari. Apalagi di tengah gempuran budaya asing.
Ia menyebutkan bahwa seni pertunjukan Sintren sebenarnya berasal dari wilayah Utara Jawa yang tersebar di sejumlah daerah, seperti Cirebon, Brebes, Pekalongan, Tegal.
Meski begitu, di wilayah Selatan juga ada seni pertunjukan Sintren, seperti di wilayah Banyumas. Namun perbedaannya pada sisi format dan kreasi yang baru.
“Jadi seni pertunjukan Sintren di wilayah Selatan cara penyajiannya berbeda dengan yang ada di wilayah Utara,” jelasnya, Sabtu (28/5/22).
baca juga: Tergerus Zaman, Kesenian Wayang di Kota Banjar Hampir Punah
Keberadaan Seni Pertunjukan Sintren di Kota Banjar
Sementara itu, pemuda yang berasal dari Desa Sinartanjung ini menilai keberadaan seni tersebut saat ini peminatnya semakin berkurang, terutama di tingkat generasi muda.
Bahkan, di Kota Banjar sendiri terdapat 90 kelompok kesenian yang terdata di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak ada kelompok yang mengusung nama seni itu. Namun, disatukan dengan kesenian kuda lumping.
“Hanya sekira 50 persenan kelompok yang mengusung kesenian kuda lumping dan hanya beberapa kelompok kuda lumping tersebut yang ada seni pertunjukan Sintrennya,” imbuhnya.
Saat pertama kali ia melihat seni pertunjukan Sintren, para pelakunya kebanyakan sudah berumur, baik pemain musik, pawang, hingga penontonnya.
“Nah, yang jadi pertanyaan saya adalah ketika mereka sakit atau sudah tidak ada, siapa yang akan meneruskan kesenian tradisonal ini? Inilah tantangan kita semua,” ujarnya.
Melalui penelitian yang ia lakukan, harapannya bisa menjadi referensi dan membuktikan bahwa Kota Banjar memiliki kesenian yang memiliki banyak nilai positif, salah satunya adalah seni pertunjukan Sintren.
Hendry mencontohkan, salah satu pawang sintren di Kota Banjar bernama Mbah Suyem. Hingga saat ini ia belum menurunkan ilmunya ke anak atau ke siapapun.
Pasalnya, kata Hendry, tidak sembarang orang bisa mendapatkan ilmu di bidang itu, karena ada ritual dan syarat tertentu.
Lestarikan Kesenian Tradisional
Maka dari itu, anak dari pasangan Sugaryo dan Tetty Andaryanti ini mengupayakan agar kesenian tradisional di Kota Banjar terus dikenalkan ke generasi penerus.
Pemerintah pada tingkat kota maupun desa harapannya mendukung keberlangsungan eksistensi budaya warisan leluhur, terutama di Kota Banjar.
Salah satunya, dengan cara selalu menampilkan kesenian tradisional di berbagai kegiatan yang menjadi pusat perhatian masyarakat.
“Perlu kita ketahui, banyak makna atau pesan dalam sebuah kebudayaan warisan leluhur. Contohnya, Sintren mengajarkan cara berpakaian (menutupi seluruh badan, red) yang sesuai dengan budaya Timur. Berbeda dengan budaya-budaya Barat yang bertolak belakang dengan budaya kita,” ucapnya.
Selain itu, ia berharap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banjar merekomendasikan kesenian-kesenian yang ada di Kota Banjar, khususnya seni pertunjukan Sintren ini menjadi ekstrakurikuler di sekolah.
“Semoga saja keberadaan kesenian kita semakin mendapatkan perhatian generasi penerus agar kita tidak lupa dengan warisan para leluhur,” pungkasnya. (Muhafid)