Berikut sejarah Gelar Erucakra yang merupakan sebuah penghormatan masyarakat Jawa terhadap seorang keturunan raja yang memiliki kesaktian dan berbudi pekerti luhur.
Babad Diponegoro membeberkan gelar penghargaan ini pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Diponegoro.
Sosok lelaki dengan kepala berbalut kain putih ini memunculkan sebuah gelar kehormatan untuk membuat rakyat percaya terhadap perjuangan para leluhur.
Namun seiring dengan berjalannya waktu para raja setelah Diponegoro memanfaatkan gelar erucakra ini sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka.
Baca Juga: Biografi Pangeran Diponegoro dan Sejarah Perang Diponegoro
Adapun dalam proses penganugerahan gelar tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebab tidak sembarang orang bisa memenuhi keseluruhan syarat yang berlaku.
Sejarah Gelar Erucakra dan Bagaimana Cara Mendapatkannnya
Peter Carey dalam bukunya berjudul “Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, (2014:34) mengatakan, pejabat gelar ini perlu pandai mengayomi sanak keluarga.
Selain menjadi figur yang terampil mengayomi, seseorang yang akan mengajukan diri untuk mendapatkan gelar tersebut perlu menyandang title pertapa yang kuat.
Setelah mengantongi bakat ini, mereka juga harus bersikap yang baik sebagai orang tua. Mereka harus bisa menjadi ayah (sudarma), serta raja (ratu) yang baik untuk keluarga.
Sejarah juga mencatat, yang lebih penting untuk seorang calon mendapatkan gelar erucakra harus terampil mengajarkan anak lelakinya ilmu tasawuf Islam.
Ajaran Islam merupakan strategi Diponegoro untuk menyebarluaskan agama Islam di seluruh kaum pengikutnya.
Baca Juga: Gundik Era Kolonial: Punya Suami, Jual Diri pada Serdadu di Tangsi Militer
Dengan mempelajari filsafat Islam, Diponegoro mempercayai jika suatu ketika rombongan jihadnya akan mengalahkan pasukan kolonial Belanda di seluruh pulau Jawa.
Pangeran yang Adil Selalu Bermusyawarah
Kebiasaan musyawarah dalam keseharian seseorang yang mendapat gelar erucakra adalah sesuatu yang wajib.
Sebab kebiasaan ini akan mengantarkan seorang pangeran kepada sebuah gelar yang paling berharga menurut tradisi dan kepercayaan orang Jawa.
Pangeran Diponegoro menampilkan langsung kebiasaan tersebut. Dalam catatan sejarah selalu menyebutkan musyawarah adalah kebiasaan sang raja yang pandai berkuda, begitu juga dalam penganugerahaan gelar erucakra.
Dalam proses musyawarah juga seseorang seakan membuka kotak pandora bagi yang hadir untuk memperoleh gelar erucakra.
Pemilihan ini sesuai dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh Diponegoro saat berjuang dalam perang gerilya melawan kolonial Belanda.
Berdasarkan musyawarah dengan para penasehat keagamaan, akhirnya Pangeran Diponegoro memutuskan bulan sura dalam tahun wawu adalah waktu yang tepat untuk mengangkat seseorang sebagai erucakra.
Diangkatnya Diponegoro Sebagai Erucakra Beriringan dengan Peperangan
Masih menurut Peter Carey (2014:35), catatan sejarah tentang Diponegoro, ternyata Diponegoro memperoleh gelar erucakra saat bulan suro. Beriringan pula dengan peristiwa peperangan yang dahsyat.
Baca Juga: Belanda Hitam yang Malang, Kisah Orang Afrika jadi Serdadu di Jawa
Penjajah Belanda menjadi kekuatan yang menentukan dari peristiwa perang mencari Diponegoro. Kendati pun demikian gelar pengangkatan tetap berjalan dengan khidmat.
Peperangan untuk memburu Diponegoro bukan sesuatu yang tiba-tiba. Berdasarkan keterangan Peter Carey, peristiwa ini justru sudah dipersiapkan karena sang Pangeran semakin memberontak.
Gelar Ratu Adil pun menjadi sebuah peluang bagi Diponegoro untuk memperoleh massa yang banyak dalam melawan serangan mendadak dari Belanda.
Dengan adanya pemberian gelar ini membuktikan Diponegoro yang menyandang penghormatan erucakra bukan sebagai alat memperlanggeng kekuasaan.
Melainkan menjadi sebuah strategi baru untuk memperoleh massa yang banyak untuk berperang di jalan Allah SWT.
Masyarakat Jawa mempercayai pada setiap langkah Diponegoro banyak keberkahan, kesalehan, dan terdapat unsur jihadisme.
Erucakra menjadi Gelar yang Membekas Hingga Tahun 1900 an
Selain menjadi media untuk memperoleh pasukan yang banyak, rupanya anugerah kehormatan ini membekas hingga tahun 1900-an.
Dalam berbagai buku sejarah, orang banyak mengenal sosok H.O.S. Cokroaminoto sebagai sang erucakra.
Hal inilah yang menjadi fakta jika jabatan ideologis ini tetap eksis hingga awal abad ke-20 masehi.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok ini yang suatu saat nanti akan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan.
Mengutip pernyataan Dr. Anhar Gonggong; kerinduan terhadap sosok erucakra ternyata masih ada hingga saat ini.
Menurut Anhar fenomena hadirnya Sunda Empire adalah akibat dari perasaan masyarakat Indonesia yang masih merindukan kehadiran sang pemimpin bergelar erucakra. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)