Berita Pangandaran (harapanrakyat.com),- Kejadian pengendara motor gede (moge) yang tabrak bocah kembar di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (12/3/2022) mendapat tanggapan dari masyarakat.
Pasalnya, kejadian tewasnya 2 bocah tersebut, pihak pengendara moge dan keluarga korban sudah berdamai. Mereka sepakat akan menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan.
Masyarakat pun mempertanyakan apakah proses hukum tidak akan berlanjut, ketika si penabrak tersebut sudah berdamai dengan keluarga korban.
Menanggapi pertanyaan tersebut, praktisi hukum asal Kabupaten Pangandaran, Didik Puguh Indarto menjelaskan, bahwa proses hukum tetap berjalan. Meskipun memang sudah ada jalan perdamaian atau kekeluargaan.
Ia menilai setelah membaca surat kesepakatan bersama antara kedua belah pihak, proses islah dan damai itu baru dari sisi kemanusiaannya saja. Sementara dari sisi hukum tidak begitu saja selesai meski telah damai dan ada uang santunan.
“Perdamaian itu nantinya hanya untuk memperingan hukuman saat vonis di persidangan. Karena adanya itikad baik dari pengendara moge yang tabrak bocah kembar tersebut,” jelasnya kepada HR Online, Senin (14/3/2022).
Kasus Moge Tabrak Bocah di Pangandaran Bukan Delik Perdata
Lebih lanjut ia menambahkan, bahwa kasus kecelakaan yang terjadi di jalan raya Tunggilis, Kecamatan Kalipucang itu bukan delik perdata. Pasalnya, kejadian tersebut sampai mengakibatkan orang meninggal dunia.
Selain itu, hukum pidana tidak bisa diwakilkan atau dikesampingkan oleh para pihak. Karena menurutnya, kasus moge tabrak bocah kembar ini bukan delik aduan.
“Namun, jelas dalam UU Lalu lintas apabila adanya kelalaian menyebabkan meninggal dunia proses hukumnya terus berjalan. Jadi, kesepakatan damai itu bukan menghapus pidananya, tapi untuk meringankan vonis nanti di persidangan,” jelasnya.
Menurutnya, adanya proses damai dan memberikan sejumlah uang, merupakan kewajiban bagi pengendara moge yang tabrak bocah kembar itu.
“Tidak karena gara-gara sudah memberi santunan uang, masalahnya langsung beres. Tanpa ada perdamaian pun sudah kewajiban harus memberikan santunan,” tegasnya.
“Proses hukum tetap dikedepankan, sampai adanya putusan vonis nanti di persidangan,” imbuhnya.
Didik mengatakan, sesuai dengan UU LLAJ Pasal 235 Ayat 1, dalam kecelakaan menyebabkan meninggalnya korban, pengemudi dapat dituntut pidana. Meskipun selanjutnya ada perdamaian antara pengemudi dan ahli waris korban.
Lanjutnya, saat ini yang berkembang diskresi ke keluarga korban sudah selesai dengan adanya perdamaian. Akan tetapi masyarakat tidak begitu melihatnya.
Sebab menurutnya, tidak sama yang meninggal dunia karena ditabrak dengan meninggal menabrakkan diri.
“Putusannya akan berbeda setelah ada olah TKP terlebih dulu tentunya,” katanya.
Surat Kesepakatan Damai
Lebih lanjut ia menambahkan, masalah damai harusnya setelah proses hukum berjalan. Sambil orang tua korban bisa berpikir jernih, tenang dan tidak terganggu psikologisnya.
Ia pun mempertanyakan kesepakatan perdamaian. Sebab, menurutnya surat kesepakatan sudah salah mulai dari kronologis.
Baca Juga : Sambangi Keluarga Hasan Husen, Bupati Pangandaran Janjikan ini
Selain itu, Didik merasa perdamaian antara pengendara moge yang tabrak bocah dengan keluarga korban merupakan hal yang aneh.
“Kejadiannya siang, sorenya sudah damai kan aneh. Padahal keluarga korban lagi berduka,” ucapnya.
“Walaupun diwakilkan sama kakak ipar korban, apakah ada surat kuasa dari orang tua korban tidak? Jika tidak ada, artinya surat kesepakatan tersebut bisa dibatalkan,” jelasnya.
Menurutnya, jika yang menandatangani langsung kesepakatan damai itu kedua orang tua korban akan menjadi hal yang wajar dan sah. “Dalam arti damai secara kemanusiaannya,” katanya.
Hal itu, sambungnya, untuk menghindari prasangka publik terhadap pihak kepolisian yang dianggap kurang maksimal dalam penanganan hukum.
“Jika sudah ada status, maka masyarakat akan tenang. Proses hukum harus jalan terus. Nanti masalah hukumnya ringan atau tidak, tergantung di persidangan,” pungkasnya. (Madlani/R5/HR-Online/Editor-Adi)