Berita Tasikmalaya, (harapanrakyat.com),– Sejumlah karyawan PT BKL mengadukan nasibnya ke Pemerintah Kota Tasikmalaya, dengan melakukan aksi long march dari tempatnya bekerja menuju Kantor Pemkot Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (30/12/2021).
Para karyawan tersebut memprotes upah dengan sistem borongan yang dinilai akan merugikan buruh dengan penurunan penghasilan hingga 50 persen. Ini berarti upah yang mereka terima di bawah UMK.
Tatan Sutriantono Sugiarto, salah seorang karyawan PT BKL mengatakan, para karyawan menolak pengupahan dengan sistem borongan.
“Jadi kami menolak upah yang diterapkan PT BKL dengan sistem borongan yang akan merugikan buruh. Penghasilan buruh menurun hingga 50 persen atau di bawah UMK,” katanya.
Baca Juga: Hujan Es Disertai Angin Tumbangkan Baliho Raksasa di Tasikmalaya
Tatan juga menuturkan banyak permasalahan yang terjadi dalam perusahaan, salah satunya terkait iuran kepesertaan BPJS.
“Masalahnya banyak, dari iuran kepesertaan BPJS saja kita sudah banyak dibohongi dan beberapa bulan ke belakang kita sering dibohongi. Laporan mereka ke dinas sesuai UMK yang berlaku tiap tahun, ternyata kenyataan yang terjadi di lapangan dua tahun kami tidak mengalami kenaikan,” katanya.
Pihaknya meminta Pemerintah Kota Tasikmalaya membantu permasalahan yang dihadapi karyawan BKL dengan perusahaan.
“Kami meminta kepada jajaran yang berwenang, khususnya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya, agar dapat membantu seluruh karyawan BKL dan dapat menuntaskan segera penyelesaian masalah di tempat kami bekerja,” katanya.
Karyawan PT BKL Tasikmalaya Teken Perjanjian Bersama
Sementara itu, Direktur Utama PT BKL Tasikmalaya, Haryadi Sobun mengatakan, perusahaan sudah membuat kesepakatan dengan karyawan. Isi kesepakatan tersebut menyebutkan pengupahan mengacu pada Pasal 19 PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Perjanjian bersama bahkan sudah diteken karyawan yang isinya, perusahaan memberikan uang senilai Rp 15 juta. Selanjutnya karyawan setuju sistem pengupahan berubah dari upah bulanan menjadi upah borongan sesuai hasil kerja karyawan.
“Perusahaan sudah membuat perjanjian dengan karyawan, diberikan nominal uang senilai Rp 15 juta kepada mereka. Mereka menyepakati perjanjian bersama dan menandatangani poin-poin pasalnya. Sudah jelas perubahan pengupahan kita pakai PP 36 pasal 19, itu sudah jelas ada,” katanya.
Haryadi mengklaim, perusahaannya tidak melanggar aturan. Lantaran masih mengacu pada UMK yang ditetapkan.
“Ini surat acuan kita, jelas ditandatangani bersama antara HRD dengan yang bersangkutan (Karyawan),” katanya sambil menunjukkan perjanjian bersama yang ditandatangani karyawan di atas materai.
99 Persen Karyawan Menerima Aturan Pengupahan Baru
Menurut Haryadi, dari total 1.200 karyawan, hampir 99 persen menandatangani perjanjian bersama tersebut.
“Jadi ini isi surat mereka bersedia dengan peraturan baru, karena itu muncul nominal, untuk pemutusan dulu. Terus muncul perjanjian kerja di poin-poin, dan poinnya pun sudah jelas di sini, jadi perusahaan akan memberlakukan dari satuan waktu ke satuan hasil, maka karyawan yang sudah menandatangani ini bersedia melaksanakan peraturan perusahaan tersebut,” jelasnya.
Dengan menandatangani surat perjanjian tersebut, karyawan dianggap setuju perusahaan mengubah pengupahan dari per bulan menjadi borongan sesuai dengan hasil kerja per satuan produksi.
“Komplit semuanya dalam surat, di atas materai, poin-poinnya sudah jelas dan ditandatangani sama mereka. Apalagi? Kalaupun memang tidak sepakat kenapa mau diambil uangnya dan ditandatangani?” katanya.
Haryadi menambahkan, perusahaan mengambil kebijakan tersebut lantaran kondisi pandemi Covid-19.
“Banyak perusahaan yang gulung tikar, jadi kita juga harus hemat dari berbagai segi. Intinya bukan kita sekarang mengurangi upah hak-hak mereka, ini diberlakukan supaya kinerjanya meningkat, dan tanggung jawab dari setiap karyawan di sini juga meningkat. Serta merasa memiliki perusahaan ini adalah tempat mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya,” pungkasnya. (Apip/R7/HR-Online/Editor-Ndu)