Bahasa Bagongan digunakan dalam lingkungan kerajaan oleh para Priyayi dan Abdi Dalem. Dalam lingkungan kerajaan, struktur berbahasa sangat diatur.
Tidak boleh ada yang sembarang berbicara dengan bahasa yang seenaknya, sebab di sana terdapat tingkatan untuk mengobrol.
Bagongan adalah salah satu media berbahasa yang bisa digunakan untuk menumbuhkan rasa persatuan di antara para priyayi Jawa.
Baca Juga: Djohan Sjahroezah, Inlander Kaya yang Dihujat Teman Eropa
Sebab dengan bahasa ini, para Abdi Dalem bisa memiliki perasaan yang sama dengan para priyayi di Keraton. Setidaknya mereka bisa mengobrol dengan bahasa yang sedikit agak santai.
Bahasa Bagongan, Kedudukan Priyayi Setara Oleh Bahasa
Sebetulnya konsep linguistik ini digunakan oleh para Priyayi dan Abdi Dalem (pembantu rumah tangga raja) di Keraton.
Bahasa ini tidak mengenal tingkatan-tingkatan seperti pada tiga bahasa Jawa lainnya yaitu: krama inggil, krama madya, dan ngoko.
Salah satu priyayi Keraton Yogyakarta, KPH. Brotodiningrat menegaskan bahasa bagongan atau bahasa kedaton merupakan bahasa Jawa krama yang terdiri dari sebelas kata.
Sebelas kata yang sering digunakan dalam bahasa bagongan antara lain seperti, henggeh= iya= ya, mboya= mboten= tidak, menira= kula= saya, dan seterusnya.
Bahasa ini digunakan dengan tujuan untuk memberikan sebuah kesetaraan antara pejabat pamong dengan para abdi dalem.
Hanya saja, bahasa bagongan tidak dipergunakan untuk raja atau anak mahkota. Sebab bagi kedua itu diperlukan bahasa yang khusus dan tentunya halus.
Bagongan Digunakan Sejak Zaman Sultan Agung Sampai dengan Sri Sultan HB IX (1950)
Bahasa yang menunjukan kesetaraan sebagai manusia ini diketahui pertama kali digunakan sejak zaman Sultan Agung.
Ia merupakan pemimpin kerajaan terbesar di Jawa bernama Mataram. Seiring dengan berkembang nya waktu kerajaan tersebut kini terpecah belah, salah satu peninggalannya yaitu Kesultanan Jogja.
Baca Juga: Sejarah Perempuan Muhammadiyah, Pernah Menerbitkan Majalah dan Berideologi Universal
Sedangkan menurut Djoko Dwiyanto, Keraton Yogyakarta: Sejarah Nasionalisme, dan Teladan Perjuangan (2009: 363), bagongan berakhir pada era kepemimpinan Hamengkubuwono ke IX.
Pada masa kejayaan linguistik setara ini sering digunakan oleh semua lapisan masyarakat di Jogja. Hal ini menandakan jika struktur dalam bahasanya cenderung lunak dan mudah dipahami.
Jika tadi bahasa ini tidak digunakan pada Sultan, dan Putera Mahkota, maka bahasa yang digunakan untuk kedua pemimpin itu disebut dengan bahasa krama inggil.
Hal ini dilakukan karena Sultan dan Anaknya merupakan figur pemimpin yang absolut. Dengan demikian, sudah selayaknya para abdi dan rakyat menghormatinya dalam berbagai aspek.
Meskipun bahasa ini sudah diakhiri pada tahun 1950, akan tetapi hingga saat ini bahasa bagongan masih kerap kita jumpai dalam tradisi omongan bahasa Jogja dalam berbagai kesempatan.
Pertunjukan seni yang biasa menggunakan bahasa bagongan yaitu kethoprak, wayang orang, dan figur Punakawan.
Selain itu, Djoko Dwiyanto (2009: 364) juga mengatakan jika para abdi dalem yang mengenakan bahasa bagongan bisa digolongkan ke dalam pembantu raja yang berasal dari golongan tua.
Atau masyarakat dalam lingkungan keraton biasa mengenalnya dengan istilah para serat dhawuh dalem di tepas-tepas Keraton.
Tidak Hanya dalam Bahasa, Ternyata untuk Menghadap Raja Dibutuhkan Pakaian Tertentu
Jika tadi membahas bahasa bagongan yang bisa digunakan oleh abdi dalem dengan priyayi keraton, namun tidak bisa digunakan dengan raja dan putra mahkota, kini kita bahas hal lainnya selain itu.
Nah salah satu yang menarik dan unik yaitu aturan harus mengenakan pakaian tertentu untuk bertemu dengan sang pemimpin kerajaan.
Jika berasal dari kalangan keraton, mereka hanya diperkenankan mengenakan pakaian yang bersih dan serba rapi.
Akan tetapi jika dari golongan rakyat biasa, mereka haru mengenakan pakaian selain serba bersih dan rapi, mereka juga perlu mengenakan tutup kepala yang berwarna putih.
Hal ini melambangkan supaya bertemu raja pikiran mereka bersih, tidak ada niatan jahat, dan merugikan bagi pihak kerajaan.
Selain itu, pakaian yang serba putih juga sering digunakan untuk para pelanggar aturan kerajaan saat akan diadili diantara dua beringin kembar alun-alun.
Raja akan menetapkan sebuah hukuman, atas dasar pertimbangan dari berbagai ahli hukum kerajaan yang mumpuni dan berilmu tinggi.
Kesetaraan Raja dengan Rakyatnya tidak Akan Pernah Terpenuhi
Konsep kesetaraan seorang raja dengan rakyat tidak akan pernah diperoleh sampai kapanpun. Hal ini disebabkan oleh kapasitas raja sebagai jelmaan dewa (pandhita raja).
Baca Juga: Asal-Usul Masyarakat Jawa, Sejarawan Kolonial Menyebut Berasal dari Laut Merah
Unsur kosmogonis seperti ini digunakan supaya rakyat bisa memahami kedudukannya masing-masing. Sebab kerajaan mempercayai jika dunia akan baik jika pemimpin dan rakyat saling dukung.
Berbagai wacana kesaktian raja juga sering dijumpai dalam berbagai acara, salah satunya ada pada pertunjukan wayang.
Menurut peneliti barat bernama Groeneman (1899) mengatakan bahwa raja tidak segan-segan menghabiskan hartanya untuk sebuah pertunjukan wayang yang megah.
Hal ini dilakukan untuk menaruh simpati rakyat sekaligus memberikan pengajaran pada mereka bahwa raja adalah utusan Tuhan.
Ia dipercaya sebagai pemimpin dunia yang akan membawa rakyatnya pada jalan kebenaran. Lakon yang menggambarkan karakter seperti ini biasa disampaikan oleh para dalang kondang di Keraton.
Pada intinya, seorang raja harus dihormati oleh rakyatnya. Mereka harus patuh supaya dunia akan berjalan dengan baik. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)