Babad Paliyan Negari merupakan sastra Jawa Kuno yang mengisahkan kelalaian Pakubuwono II. Dalam tradisi kerajaan Jawa khususnya Mataram, Babad merupakan satu benda kebudayaan yang bernilai tinggi.
Selain dianggap sebagai pusaka kerajaan, secara ilmiah Babad juga bisa berarti sebuah catatan bersejarah yang memuat kisah menarik dari para raja di istana.
Sementara para ilmuwan budaya biasanya menggunakan babad sebagai resource penelitian guna mengetahui silsilah dan pembentukan suatu kerajaan dan kebudayaannya.
Baca Juga: Sejarah Kesultanan Cirebon, Kerajaan Tersohor di Bumi Nusantara
Babad Paliyan Negari dianggap sebagai cerita menarik dari para raja Mataram. Sebab tulisan tersebut sedikit banyak berkisah tentang kelalaian raja Pakubuwono II saat bertahta.
Artikel ini bermaksud untuk memuat kisah-kisah kegagalan Pakubuwono II saat memerintah kerajaan Mataram. Bagaimana saja ceritanya? Simak uraian berikut ini.
Babad Paliyan Negari Memuat 111 Kali Perjanjian Kompeni dan Kerajaan Mataram
Babad Paliyan Negari dipercaya memuat 111 kali perjanjian penting antara Belanda dan Kerajaan Mataram. Antara lain perjanjian tersebut berisi kontrak bisnis yang saling menguntungkan.
Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang dikatakan oleh Purwadi dalam bukunya berjudul “Babad Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta” (2009: 02).
Persoalan politik belum begitu kuat dibahas dalam perjanjian tersebut. Menurut Purwadi, dahulu Belanda mengikuti kebijakan hukum orang Jawa, oleh sebab itu unsur politik masih terdominasi.
Baca Juga: Modernisasi Islam di Jawa, Berawal dari Para Haji yang Reformis
Akan tetapi seiring dengan perkembangan waktu, dan bersamanya diangkat Pakubuwono II menjadi raja Mataram Belanda semakin berani mencampuri urusan politik di kerajaan.
Belanda Melihat Peluang Berpolitik pada Masa Kepemimpinan Pakubuwono II
Dalam Babad Paliyan Negari disebutkan pula jika awal mula Belanda melihat peluang untuk berpolitik di Mataram, antara lain terjadi saat era kepemimpinan Pakubuwono II.
Satu hal yang paling berpengaruh dari timbulnya masalah di atas karena Belanda menyadari jika Pakubuwono II sangat lemah dalam hal politik.
Saat itu pula Belanda mulai mencari celah untuk melancarkan bisnisnya di pulau Jawa dengan cara yang licik dan merugikan kerajaan Mataram.
Salah satu kerugian yang dialami kerajaan yaitu, saat Belanda sudah berani mendirikan lembaga pengadilan yang ada di Semarang tahun 1733.
Artinya rakyat Mataram harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh Belanda. Sebab kompeni tersebut memiliki aturan yang sama layaknya titah raja.
Dengan demikian Pakubuwono II merupakan figur kelas dua, sementara Belanda adalah ras yang dihormati dan disegani seantero Jawa.
Berkisah Rendahnya Harga Diri Pakubuwono II
Babad Paliyan Negari juga sering dianggap oleh masyarakat tradisional sebagai karya sastra klasik Jawa yang mengisahkan kerendahan harga diri seorang raja Mataram yaitu, Pakubuwono II.
Hal ini bisa dilacak dari peristiwa geger pecinan yang terjadi sekitar tahun 1743 di Surakarta. Peristiwa ini merupakan pemberontakan orang Tionghoa dalam upaya menaklukan Pakubuwono II.
Baca Juga: Sejarah Jemparingan, Alat Olahraga Tradisional Khas Kerajaan Mataram
Dalam posisi tersudut, raja Mataram yang masih berada di Surakarta ini akhirnya mengungsi ke wilayah Ponorogo sekarang.
Ia kemudian meminta bantuan dari pihak kolonial Belanda agar bisa mengatasi pemberontakan tersebut secara cepat.
Belanda dengan tentaranya pun menyanggupi permintaan Pakubuwono II, akan tetapi mereka meminta imbalan yang setara.
Kelompok kompeni ini meminta kekuasaan tertentu dalam tubuh Keraton, mereka ingin menjadi bagian dari kerajaan yang memegang kekuasaan politik.
Karena dalam keadaan yang begitu terdesak, akhirnya Pakubuwono II menyanggupi apa yang diminta oleh Belanda.
Fenomena ini menurut Purwadi (2009: 03) tidak menambah sifat keluhuran Mataram, melainkan kemunduran integritas kerajaan dan mempermudah laju penguasaan asing di negeri kita.
PB II Rela Melawan Saudaranya Sendiri, dan Lebih Memilih Bersekutu dengan Belanda
Setelah Belanda berhasil menumpas pemberontakan orang-orang Tionghoa pada 1742, akhirnya Pakubuwono II kembali ke istana di Surakarta.
Menurut Babad Paliyan Negari, sekitar tahun 1745-1750 pernah ada sosok penyelamat kerajaan Mataram bernama Raden Mas Said.
Beliau adalah trah Pakubuwono II (masih bersaudara), akan tetapi karena Belanda lebih mendominasi hati raja Mataram ini, Raden Mas Said dianggap sebagai pemberontak.
Akhirnya pasukan di Surakarta bergegas untuk menumpas habis pengikut Raden Mas Said, sementara Belanda dan Pakubuwono II memantaunya dari istana.
Baca juga: Kumpulan Artikel Sejarah Indonesia
Di sisi lain penyerangan terhadap Raden Mas Said ini dilakukan karena Pakubuwono merasa khawatir posisi jabatannya sebagai raja akan tergeser. Maka dari itu ia terlibat persekutuan bersama dengan Belanda untuk melawan siapapun yang mengganggu kedaulatannya di istana. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)