Tak banyak orang paham mengenai sejarah perempuan Muhammadiyah, padahal kiprah dan peranannya dalam pembentukan karakter perempuan Indonesia sejak tahun 1917 begitu berarti.
Salah satu hal yang tak terlupakan dalam catatan sejarahnya, ternyata perempuan Muhammadiyah yang menamai diri Aisyiyah pernah punya majalah dan berideologi universal (terkemuka).
Organisasi perempuan Muhammadiyah ini juga terkenal sebagai pelopor pergerakan putri Islami yang ada lahir di Yogyakarta.
Baca juga: Sejarah Muhammadiyah, Organisasi Islam yang Gemar Membangun Sekolah
Beberapa Fakta Menarik dari Sejarah Perempuan Muhammadiyah
Adapun pembahasan dalam artikel ini bermaksud untuk menjelaskan fakta baru dan menarik dari sejarah putri Muhammadiyah yang belum terungkap.
Pembahasan artikel ini antara lain bersumber dari seminar sejarah Muhammadiyah berjudul “Perkembangan Wacana Perempuan dalam Majalah Suara Aisyiyah 1930-1985”.
Acara tersebut pada Senin (13/09/2021) lalu. Sementara yang menjadi keynote speaker adalah sejarawan Muhammadiyah bernama Ichsan Budi Prabowo, S.S.
Baca juga: Mengenal KH Ahmad Dahlan, Penggagas Lahirnya Muhammadiyah
Nasyiatul Aisyiyah, Gerakan Perempuan Muhammadiyah yang Universal
Wacana yang paling menarik dari sejarah perempuan Muhammadiyah yaitu terletak pada garis pemikirannya yang universal.
Hal ini sebagaimana ungkapan Ichsan Budi Prabowo, S.S. dalam acara diskusi sejarah melalui aplikasi Zoom Meeting.
Pemikirannya yang universal ini juga bisa kita lihat dari kiprahnya yang pernah mendirikan Majalah Suara Aisyiyah sejak tahun 1926.
Awal dari gerakannya menulis, para perempuan Muhammadiyah lebih intens membahas bidang pendidikan, dan mengembangkan wacana intelektual bagi kaum hawa.
Selain aktif mengutamakan pendidikan sebagai garis perjuangannya, para perempuan Muhammadiyah juga turut bergabung dan mempelopori gerakan kepanduan dan aktivitas politik.
Baca juga: Sejarah Berdirinya PMI: Dipelopori Perempuan, Didanai Eks Napi
Membangun Taman Pustaka
Sejarah perempuan Muhammadiyah juga mencatat bahwa perannya kaum hawa Nyai Ahmad Dahlan ini juga bisa terlihat saat adanya proyek pembangunan Taman Pustaka di kauman DIY.
Tujuan mulia dari para ibu-ibu Muhammadiyah saat itu antara lain ingin ikut memajukan dan melestarikan literasi berbasis Islami.
Adapun kisah di balik terbentuknya majalah Suara Aisyiyah berawal dari pembentukan organisasi putri Muhammadiyah itu sendiri, yaitu tahun 1917.
Sejak terbentuknya Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan sebagai pelopor organisasi dan beberapa perempuan lainnya menyarankan supaya kaum hawa memiliki media penerangan berupa majalah.
Akhirnya, selang beberapa waktu kemudian, diumumkan ke seluruh ranting kepengurusan Aisyiyah di Hindia Belanda bahwa mereka akan mendirikan majalah bernama Suara Aisyiyah.
Suara Aisyiyah pun terbentuk seiring dengan eksistensi dan loyalitas kaum perempuan Muhammadiyah semakin kuat berorganisasi.
Awalnya Menggunakan Bahasa Jawa
Sejarah perempuan Muhammadiyah juga mengungkapkan, untuk pertama kalinya Suara Aisyiyah menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar berita dalam majalahnya.
Ichsan Budi Prabowo, S.S. menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi karena majalah tersebut pada tahun-tahun awal berdirinya belum merata dan ada dalam lingkup lokal.
Meskipun menggunakan bahasa Jawa, tetapi isi dari tulisan majalah Suara Aisyiyah begitu lugas dan banyak memuat materi yang bertujuan untuk membentuk jati diri perempuan berdasarkan Islam.
Selain itu, para perempuan Aisyiyah juga sering menggunakan istilah-istilah yang bisa membakar semangat perempuan supaya tidak terlalu luluh pada hukum-hukum kolonial yang menindas.
Berdasarkan sumber lain, juga menyebut bahwa penggunaan bahasa Jawa awalnya bertujuan untuk membangun loyalitas perempuan berdasarkan daerah.
Kader-kader Aisyiyah Merupakan Intelektual yang Matang
Ternyata gerakan para anggota perempuan Muhammadiyah begitu cerdas dalam menulis. Hal ini menunjukkan kader-kader Aisyiyah yang berasal dari intelektual yang matang.
Sejarah perempuan Muhammadiyah juga mencatat bahwa kader Aisyiyah juga dikenal sebagai figur kelompok yang melonggarkan kebebasan untuk menulis dalam majalah Suara Muhammadiyah.
Bahkan, redaktur mereka sering menyuruh anggotanya untuk menulis apa saja yang bisa membantu para perempuan memiliki pemikiran yang terkemuka.
Sementara yang paling menarik lainnya, yaitu redaktur Suara Aisyiyah juga sering membolehkan kelompok organisasi perempuan lain untuk menerbitkan tulisannya dalam majalah Aisyiyah.
Hal ini tentu sangat demokratis dan secara tidak langsung telah membentuk suatu identitas karakter perempuan muslim yang cerdas dan lugas.
Karakter Pemberaninya Terbentuk Oleh Tekanan Kolonial Belanda
Ichsan Budi Prabowo, S.S. juga menyebutkan bahwa perempuan Muhammadiyah yang cerdas dan pemberani itu terbentuk oleh tekanan kolonial Belanda.
Dari keadaan itulah banyak di antara para anggota Aisyiyah memiliki pandangan untuk merdeka, dan bebas dari belenggu kolonial.
Hingga pada tahun 1945 kebiasaan lugas dan berani mengkritik kemunduran pemerintah terus terjadi dalam organisasi Aisyiyah.
Bahkan, sekitar tahun 1950-1960, gabungan para perempuan Muhammadiyah ini pernah mengkritik wacana poligami yang sering dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Terakhir dari catatan sejarah perempuan Muhammadiyah menyebut bahwa gerakan mereka selalu berorientasi pada wacana kesetaraan, dalam arti tidak mau dipoligami, tersakiti, dan harus dihargai. (Erik/R6/HR-Online)