Sejarah modernisasi di Jawa merupakan satu fenomena baru dalam masyarakat tradisional, menuju satu kehidupan yang lebih maju dan rasional.
Menurut catatan masa lampau, modernisasi di pulau Jawa sudah terjadi sekitar abad kedelapan belas Masehi hingga abad akhir dua puluh.
Perjalanannya begitu panjang dan menarik untuk dibahas. Sebab, beberapa sejarawan seperti Dr. Wasino menyebut bahwa pelopor modernisasi itu adalah Raja Mangkunegaran IV dari Surakarta.
Baca juga: Pengaruh Barat Terhadap Birokrasi Kerajaan di Jawa, Semakin Maju dan Rasional
Fakta Menarik Sejarah Modernisasi di Jawa
Adapun dalam penelitian ini, kami akan mengajak Anda untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya modernisasi di pulau Jawa, khususnya di Istana Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah.
Peranan Elite Pembaru
Menurut catatan sejarah modernisasi di Jawa, fenomena pembaharuan kehidupan di pulau Jawa ini terjadi karena adanya eksistensi elite yang berpengaruh.
Sementara menurut Wasino dalam bukunya yang berjudul “Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944”, (2014: 47) menyebut peristiwa ini terjadi pertama kali tahun 1800 M.
Selain itu, ia juga menjelaskan peranan pelopor modernisasi tersebut berasal dari elite-elite kerajaan yang ada di lingkungan Istana Kerajaan Mangkunegaran, Jawa Tengah.
Sedangkan menurut pendapat lainnya, hal ini terjadi karena didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, antara lain faktor dalam dan luar.
Kedua faktor tersebut, yaitu faktor dalam merupakan dorongan terjadinya modernisasi yang muncul dari kemampuan elite istana. Sementara faktor luar adalah dukungan dari pengaruh barat.
Baca juga: Misionaris Kristen di Jawa Tahun 1920 dan Upaya PKO Membendungnya
Pelopor Modernisasi di Istana Mangkunegaran
Masih menurut Wasino, ternyata pelopor modernisasi yang terjadi di pulau Jawa yaitu Adipati Mangkunegaran.
Adipati tersebut menyebarkan modernisasi melalui beberapa cara, antara lain yang mencolok yaitu dengan cara mencontohkan nilai-nilai tradisi Jawa dalam aktifitas sehari-hari di keraton.
Sedangkan menurut versi sejarah modernisasi di Jawa yang lain menyebutkan,sesungguhnya modernisasi di Jawa sudah sejak Sri Mangkunegaran IV bertahta, yaitu (1861-1881).
Raja Mangkunegaran ke IV tersebut membangun nilai-nilai modernisasi dalam bidang ekonomi, seperti pengembangan sejumlah badan usaha terutama pada industri gula.
Pada zaman itu pabrik-pabrik gula di sekitar Surakarta menjadi satu badan penting yang bisa membantu perekonomian istana.
Pembangunan pabrik gula tentu tidak terlepas dari peran modernisasi yang terjadi di istana Mangkunegaran sejak pertengahan abad ke- 19.
Baca juga: Asal-Usul Masyarakat Jawa, Sejarawan Kolonial Menyebut Berasal dari Laut Merah
Badan Usaha Milik Mangkunegaran Bangkrut
Satu hal yang paling memilukan dari pasca bertahtanya Mangkunegaran ke IV, yaitu semua badan usaha milik istana, termasuk pabrik gula tadi, mengalami kebangkrutan.
Belakangan hal ini terjadi karena kurang mumpuninya penerus tahta, yaitu Mangkunegaran ke V dalam mengelola bisnis dan perusahaan negara.
Namun, sejak sepeninggalnya Mangkunegaran ke V dan diteruskan oleh Mangkunegaran ke VI yang bertahta pada tahun 1896-1916, keadaan ekonomi di istana semakin membaik dan stabil kembali.
Peristiwa ini menandakan bahwa ajaran Mangkunegaran ke IV terkait penanaman nilai-nilai modernisasi di dalam pemerintahan masih bisa diselamatkan, kendati pernah macet pada raja ke V.
Mangkunegaran VI Terkenal Sebagai Figur Pembongkar Tradisi
Masih soal sejarah modernisasi di Jawa, jika kita menyoroti lebih dalam dari sosok Mangkunegaran ke VI, maka beberapa buku sejarah menyebutnya sebagai figur pembongkar tradisi Jawa yang kolot.
Sebab, peranannya menumbangkan beberapa nilai dan tradisi yang sudah lapur serta tidak relevan lagi dengan kehidupan di masa kini. Ia menjadi terkenal karena aksi heroisnya menyelamatkan istana.
Lebih tepatnya ia menyelamatkan istana dari kebodohan dan ancaman kegelapan yang mungkin akan terjadi jika tradisi kolot tersebut masih berkembang pada generasi Mangkunegaran.
Adapun cara beliau menghindari diri dan generasi penerusnya dari nilai-nilai Jawa yang sudah lapur antara lain dengan cara menyeimbangkan dua subkultur yang berbeda, yakni antara Jawa dan Eropa.
Meskipun demikian, tetap saja ia mengutamakan nilai-nilai Jawa untuk menjadi sumber ajaran modern yang harus dimiliki oleh setiap keluarga, kerabat jauh, dan rakyatnya.
Memperkuat Aspek Spiritual Kebatinan Jawa Modern
Mangkunegaran ke VI juga membiasakan anaknya dengan cara memperkuat aspek spiritual kebatinan khas orang Jawa Modern.
“Jawa Modern” di sini adalah sekelompok orang Jawa yang masih memegang teguh ajaran spiritual leluhur. Namun juga pernah mengenyam pendidikan formal dalam lembaga studi orang kulit putih.
Hal ini bertujuan untuk mengawasi dan menjaga pengaruh barat masuk pada diri seorang Jawa secara berlebihan. Sebab, tradisi unggah-ungguh leluhur harus tetap paling utama.
Pada akhirnya, Mangkunegaran ke VI menciptakan satu perbuatan yang patut kita banggakan. Sebab telah melakukan modernisasi yang tidak sepenuhnya terpengaruh oleh pemikiran Eropa.
Itulah sejarah modernisasi di Jawa yang bisa menjadi cermin perjalanan kehidupan lebih berkembang dan maju. Satu hal yang patut kita ingat dari peristiwa ini, yaitu tidak melupakan tradisi. (Erik/R6/HR-Online)