Sejarah berdirinya PMI (Palang Merah Indonesia) tak lepas dari peran perempuan pada masanya. Ada dua orang perempuan yang menjadi pelopor dalam organisasi ini, salah satunya adalah Surastri Karma Trimurti atau lebih terkenal dengan nama S.K Trimurti.
Perempuan kedua yang menjadi pelopor dalam berdirinya PMI adalah Sutarni. Menurut catatan sejarah, kedua wanita itu kerap menciptakan gerakan keorganisasian yang bertentangan dan tidak takut dengan hukuman kolonial.
Bahkan beberapa pendapat lainnya menyebut mereka sebagai “perempuan pemberani, penghalau pemerintah kolonial yang biadab”.
PMI yang dipelopori oleh dua perempuan pemberani ini merupakan embrio awal dari PMI yang dibentuk Muhammad Hatta sebulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Para perempuan yang aktif di PMI pada tahun 1930-an tidak hanya membantu korban perang, tetapi juga melakukan spionase, yakni memata-matai pergerakan pemerintah kolonial Belanda.
Fakta Seputar Sejarah Berdirinya PMI
Salah satu yang paling unik, menarik, dan tersembunyi dari sejarah PMI, yaitu isu mengenai pimpinan organisasi penolong perang ini, yang ternyata pelopornya adalah dua orang perempuan.
Dari kisah heroik dua perempuan tersebut, terdapat juga cerita-cerita unik yang bisa kita teladani hingga saat ini.
PMI Didominasi oleh Kaum Perempuan
Catatan historiography tentang sejarah berdirinya PMI, menyebut sebagian besar anggota dan kepengurusannya adalah perempuan.
Hal ini menarik banyak peneliti tak terkecuali dengan Ipong Jazimah. Ipong meneliti seorang pelopor PMI yang juga menjadi wartawati pertama di Indonesia bernama S.K. Trimurti.
Menurut beberapa penelitian lain tentang sejarah PMI, kepengurusan suatu organisasi yang sering didominasi perempuan merupakan sebuah strategi untuk melancarkan aksi spionase.
Kebanyakan perempuan akan dipercaya sebagai makhluk yang lemah oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka tidak curiga dengan perbuatannya yang justru radikal dan melawan.
Baca Juga: Sejarah Palang Merah Indonesia, Lahir Sebulan Setelah Proklamasi
Fenomena ini sebenarnya menguntungkan para republieken yang sedang berjuang mengusir Belanda sekitar tahun 1930-1942.
Bahkan fenomena menganggap perempuan sebagai makhluk lemah terjadi sampai dengan kedatangan pendudukan Jepang di Indonesia.
Kekuatan PMI Didulang dari Dana Tahanan Wanita
Masih menurut Ipong Jazimah dalam bukunya berjudul “S.K Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia”, (2016: 52-53), dana PMI awalnya berasal dari eks napi wanita di Semarang.
Mantan tahanan perempuan itu tidak lain adalah S.K Trimurti sendiri. Peristiwa ini bermula saat Ia bergabung dengan organisasi pergerakan kebangsaan yang radikal.
S.K. Trimurti merupakan seorang perempuan yang pemberani membuat pamflet-pamflet sindiran pada Belanda. Sehingga perbuatan tersebut menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan penjara.
Nah selama Ia berada di penjara, S.K. Trimurti bertugas untuk membantu para petugas administrasi tata usaha di sana.
Selama bekerja di lapas, upah yang ia terima hampir 15 Gulden di akhir waktu bekerja. Upah tersebut baru bisa diambil pada saat S.K. Trimurti bebas dari vonis penjara.
Baca Juga: Pengkhianatan PKI dan Fakta-faktanya Sejak Tahun 1924
Uang hasil bekerja di penjara itu kemudian didulang untuk membangun kembali kejayaan PMI yang sebelumnya sempat melemah.
S.K. Trimurti dan temannya Sutarni melakukan perjalanan keliling Jawa Tengah hingga Jawa Timur dengan hasil uang tersebut.
Hal ini semata-mata untuk membangun dan merekatkan kembali kekuatan PMI supaya menjadi organisasi pertolongan bangsa yang mendunia.
PMI Pernah Kehabisan Dana Perjuangan
Sepulangnya safari PMI dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, organisasi kesehatan ini bangkit kembali dengan pimpinan dua wanita pemberani yaitu, Sutarni dan S.K Trimurti.
Sejarah berdirinya PMI pernah mencatat organisasi ini pernah kehabisan dana. Akhirnya secara terpaksa salah satu di antara mereka ada yang bekerja dan menghasilkan uang.
S.K Trimurti memilih bekerja dalam bisnis percetakan. Ia memanfaatkan prosesnya selama bekerja untuk dijadikan sebagai pijakan dalam PMI.
Sebab ketika bekerja di bidang percetakan, Ia banyak belajar caranya menulis dan menyebarkan satu isu pergerakan dengan respon yang cepat dari masyarakat.
Kepiawaiannya dalam menulis itu Ia manfaatkan dalam PMI ketika organisasi ini mencoba melebarkan sayapnya dan berusaha memperoleh anggota.
Baca Juga: Penjara Wanita Zaman Belanda, Tahanan Disiksa Sampai Gangguan Jiwa
Dengan menerbitkan selebaran-selebaran berisikan propaganda masuk PMI, akhirnya organisasi ini bisa bangkit kembali dari keterpurukan yang terjadi untuk kedua kalinya.
Terbantu Hasil Penjualan Majalah
Menurut catatan sejarah sebagaimana Ipong Jazimah ungkapkan dalam bukunya, PMI ternyata pernah dibantu dana dari hasil penjualan majalah terkemuka di Jawa Tengah.
Hal ini bermula saat Sutarni dan S.K Trimurti menjadi relawan PMI dalam hal pengumpulan dana. Selain bekerja di percetakan, mereka juga pernah menjual majalah dari kantornya.
Uang hasil penjualan majalah itu separuhnya untuk keperluan sehari-hari, dan separuhnya lagi mereka sumbangkan untuk keperluan organisasi.
Dari terjadinya peristiwa ini juga, S.K. Trimurti menjadi piawai menulis, sebab ketika menjual majalah, Ia juga ikut membaca dan memahami banyak tulisan dari tokoh terkemuka.
Hingga suatu saat S.K. Trimurti sudah pandai menulis, banyak orang yang mencarinya untuk dijadikan wartawan kantor berita.
Seperti halnya pemimpin redaksi Sinar Selatan yang secara langsung menghampiri S.K Trimurti dan memintanya untuk menjadi pekerja di sana.
Akhirnya selain menjadi pelopor organisasi PMI, S.K Trimurti juga menjadi wartawan pertama yang berasal dari perempuan di Indonesia.
Nah itulah fakta-fakta menarik dari sejarah berdirinya PMI yang dipelopori oleh dua orang wanita pemberani. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)